KONSEP
RASIONALITAS EKONOMI MODERN
Sebelum
menjelaskan term rasionalitas, terlebih dahulu dijelaskan maksud dari ekonomi
modern. Ekonomi modern merupakan prilaku ekonomi yang digunakan oleh masyarakat
dewasa ini dengan sistem dan implikasi-implikasi yang ditimbulkannya. Ekonomi
yang berkembang sekarang ini adalah sistem ekonomi kapitalis, sehingga dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud ekonomi modern adalah ekonomi kapitalis. Dengan
bahasa lain, sebuah sistem yang berkembang dan masih digunakan hingga kini secara
mayoritas dapat disebut sistem konvensional (mainstreem). Oleh karena itu,
dalam kajian ini apa yang dimaksud dengan sistem ekonomi modern adalah identik
dengan sistem ekonomi konvensional, karena di dalamnya dihuni oleh sistem
ekonomi kapitalis dan. Penegasan ini tidak berarti mengabaikan sistem ekonomi
sosialis atau sistem ekonomi lainya. Namun, dari sudut pandang kekuatan
pengaruh dan establishment, sistem kapitalis lebih umum dipahami sebagai sistem
konvensional.
Pemahaman
tentang rasionalitas ekonomi sesungguhnya tidak bisa dilepaskan begitu saja
dari pengertian ilmu ekonomi itu sendiri. Ilmu ekonomi didefinisikan secara
beragam, paling populer diantaranya adalah “ilmu yang mempelajari segala
aktivitas yang berkaitan dengan produksi dan distribusi di antara orang-orang”.
Definisi ini dianggap masih kurang representatif sehingga para ahli ekonomi
neo-klasik, seperti Lionel Robbins, mengajukan pengertian lain bahwa inti
kegiatan ekonomi adalah aspek “pilihan dalam penggunaan sumberdaya”. Dalam pemilihan
ini, lanjutnya, manusia menjumpai masalah kelangkaan (scarcity). Dengan
demikian, sasaran ilmu ekonomi adalah bagaimana mengatasi kelangkaan itu. Dari
situ muncul definisi ilmu ekonomi yang dipegang hingga kini, yaitu “sebuah
kajian tentang prilaku manusia sebagai hubungan antara tujuan-tujuan dan
alat-alat pemuas yang terbatas, yang mengundang pilihan dalam penggunaannya”.
Ada
beberapa titik tekan dari pengertian di atas, prilaku manusia, pilihan dan alat
pemuas yang terbatas. Unsur “prilaku manusia” muncul sebagai bagian dari
aplikasi naluriah manusia untuk mencari kesejahteraan hidup. Sehingga itu harus
diwujudkan melalui aktivitas. Prilaku ini tentu merupakan cerminan dari apa
yang ada dalam diri pelakunya, yang berupa kepercayaan, kecenderungan berpikir,
tata nilai, pola pikir dan juga ideologi. Term “pilihan” merupakan hal yang
wajar pula, sebab manusia punya rasa, idealisme, dan
kecenderungan-kecenderungan serta ukuran-ukuran tertentu yang menjadi standar
dalam membentuk hidupnya. Pilihan ini juga tergantung pada yang ada dibalik
pelakunya. Sedangkan term “alat pemuas yang terbatas” atau kelangkaan
sumberdaya, mengandung makna ambigu, bisa ya bisa tidak. Relativity is an
attribute of scarcity, menurut Zubair Hasan. Namun dalam konteks bahwa tujuan manusia
mencari kekayaan, term tersebut dapat menjadi spirit untuk mendorong manusia
mencapai kekayaan dengan secepatnya. Pendek kata term terakhir ini,
mengimplikasikan adanya target tertentu yang harus dikejar pelaku ekonomi.
Dalam
bangunan terminologi di atas, konsep rasionalitas ekonomi itu muncul. Setiap
orang yang dapat mencari kesejahteraan hidupnya (kekayaan material) dengan cara
melakukan pilihan-pilihan yang tepat bagi diriya, dengan prinsip jangan sampai
dia tidak kebagian mendapatkan pilihan itu karena terbatasnya ketersediaan,
maka orang tersebut dianggap melakukan tindakan rasional. Dalam lingkup yang
lebih khusus, seorang produsen dianggap rasional jika ia dapat mencapai tujuan
usahanya (keuntungan) dengan cara melakukan beberapa pilihan strategi,
meminimalisasi kapital dan mendapatkan keuntungan maksimum. Demikian juga
konsumen, ia dianggap rasional, jika ia dapat memenuhi atau melampaui batas
maksimum kepuasannya dari alat-alat pemuas yang terbatas. Oleh karena itu,
rasionalitas ekonomi dapat dipahami sebagai tindakan atas dasar kepentingan
pribadi untuk mencapai kepuasannya yang bersifat material lantaran kawatir
tidak mendapatkan kepuasan itu karena terbatasnya alat atau sumber pemuas.
Kepentingan
pribadi atau self-interest, menjadi titik tekan disini. Namun, menurut Adam
Smith, penekanan pada self-interest itu bukan berarti mengabaikan kepentingan
masyarakat. Menurutnya, dengan memaksimalkan self-interest, kepentingan
(kesejahteraan) masyarakat dengan sendirinya akan terpenuhi kesejahteraan masyarakat
itu. Oleh karena itu, dalam buku-buku ekonomi, term rasionalitas ini dijelaskan
bahwa pelaku ekonomi melakukan tindakan rasional jika ia melakukan sesuatu yang
sesuai dengan self-interest, dan pada saat yang sama konsisten dengan membuat
pilihan-pilihannya dengan tujuan dapat dikuantifikasikan (dihitung untung
ruginya) menuju kesejahteraan umum. Meskipun ada tujuan kepentingan umumnya,
tetapi itu berangkat dari kepentingan pribadi.
Metodologi
Ekonomi Konvensional
Ilmu
ekonomi konvensional telah mencanangkan dua tujuan. Salah satu tujuan ini dapat
dikategorikan positif yang berhubungan dengan realisasi ’’efisiensi’’ dan
’’pemerataan ’’ dalam alokasi dan distribusi sumber-sumber daya. Tujuan yang
lain dapat dianggap sebagai normatif dan diungkapkan dalam bentuk tujuan-tujuan
sosioekonomi yang secara universal diinginkan seperti pemenuhan kebutuhan,
keadaan kesempatan kerja penuh, laju pertumbuhan ekonomi yang optimal,
distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil (merata), stabilitas ekonomi, dan
keseimbangan lingkungan hidup, yang semuanya selain menambah keharmonisan
sosial dan menghapuskan anomi, dalam beberapa derajat, dipandang tidak dapat
dihindarkan untuk merealisasikan kebahagian manusia. Keduan tujuan ini
dimaksudkan untuk melayani kepentingan individu maupun masyarakat. Apakah
tujuan positif atau normatif konsisten satu sama lain bergantung dengan
bagaimana efisiensi dan pemerataan itu didenifisikan. Sulit rasanya utuk
mengatakan apakan ilmu ekonomi konvesional telah berhasil merealisasikan tujuan
positifnya karena sulitnya menentukan dan mengukur efisiensi dan pemerataan
dalam sebuah ekonomi yang dinamik. Namun pada umumnya telah disepakati bahwa
sekalipun negara-negara industri kaya ternyata tidak berhasil memujudkan semua
tujuan normatif mereka, padahal mereka memiliki sumber-sumber daya besar. Jika
sebagian dari tujuan ini diwujudkan, hal itu dengan cara merugikan tujuan yang
lain.
Adapun
konsep-konsep pemikiran penting dalam sistem ekonomi konvensional adalah
sebagai berikut:
a.
Rational economic man
ekonomi
konvensional sangat memegang teguh asumsi bahwa tindakan individu adalah
rasional.Berdasarkan paham ini, tindakan individu dianggap rasional jika
tertumpu kepada kepentingan diri sendiri (self interest) yang menjadi satu-satunya tujuan bagi seluruh
aktivitas. Dalam implementasinya, rasionaliti ini dianggap dapat diterapkan
hanya jika individu diberikan kebebasan dalam arti yang seluas-luasnya,
sehingga dengan sendirinya di dalamnya terkandung individualisme dan
liberalisme. Adam Smith menyatakan bahwa tindakan individu yang mementingkan
kepentingan diri sendiri pada akhirnya akan membawa kebaikan masyarakat
seluruhnya karena tangan tak tampak (invisible hand) yang bekerja melalui
proses kompetisi dalam mekanisme pasar. Oleh karena itu, kapitalisme sangat menjunjung tinggi
pasar yang bebas dan menganggap tidak perlu ada campur tangan pemerintah.
b.
Positivisme
Kapitalisme
berusaha mewujudkan suatu ilmu ekonomi yang bersifat objektif, bebas dari
petimbangan moralitas dan nilai, dan karenanya berlaku universal. Ilmu ekonomi
telah dideklarasikan sebagai kenetralan yang maksimal di antara hasil akhir dan
independensi setiap kedudukan etika atau pertimbangan normatif. Untuk
mewujudkan obyektivitas ini, maka positivism telah menjadi bagian integral dari
paradigma ilmu ekonomi. Positivism menjadi sebuah keyakinan bahwa setiap
pernyataan ekonomi yang timbul harus mempunyai pembenaran dari fakta empiris.
Paham ini secara otomatis mengabaikan peran agama dalam ekonomi, sebab dalam
banyak hal, agama mengajarkan sesuatu yang bersifat normatif.
c.
Hukum Say
Terdapat
suatu keyakinan bahwa selalu terdapat keseimbangan (equilibrium) yang bersifat
alamiah, sebagaimana hukum keseimbangan alam dalam tradisi fisika Newtonian.
Jean Babtis Say menyatakan bahwasupply creates its own demand, penawaran
menciptakan permintaannya sendiri. Ini berimplikasi pada asumsi bahwa tidak
akan pernah terjadi ketidakseimbangan dalam ekonomi. Kegiatan produksi dengan
sendirinya akan menciptakan permintaannya sendiri, maka tidak akan terjadi
kelebihan produksi dan pengangguran. Implikasi selanjutnya, tidak perlu ada intervensi
pemerintah dalam kegiatan ekonomi. Intervensi pemerintah dianggap justru akan
mengganggu keseimbangan alamiah. Asumsi inilah yang menjadi piranti keyakinan
akan kehebatan pasar dalam menyelesaikan semua persoalan ekonomi. Inilah salah
satu paradigma ilmu ekonomi konvensional.
Ilmu
ekonomi konvensional sangat memegang teguh asumsi bahwa tindakan individu
adalah rasional. Ini berarti bahwa rasionaliti didefinisikan sebagai tindakan
manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya yaitu memaksimumkan kepuasan atau
keuntungan senantiasa berdasarkan pada keperluan dan keinginan-keinginan yang
digerakkan oleh akal yang sehat dan tidak akan bertindak secara sengaja membuat
keputusan yang bisa merugikan kepuasan atau keuntungan mereka.
Rasionaliti
merupakan kunci utama dalam pemikiran ekonomi modern. Ia menjadi asas aksioma
bahwa manusia adalah makhluk rasional. Konsep rasionaliti muncul karena adanya
keinginan-keinginan konsumen untuk memaksimalkan utiliti dan produsen ingin
memaksimalkan keuntungan, berasaskan pada satu setconstrain. Yang
dimaksud constrain dalam ekonomi konvensional adalah terbatasnya
sumber-sumber dan pendapatan yang dimiliki oleh manusia dan alam, akan tetapi
keinginan manusia pada dasarnya tidak terbatas. Dalam ekonomi Islam yang
dimaksud dengan constrain adalah terbatasnya kemampuan manusia baik
dari segi fisik maupun pengetahuan untuk mencapai atau mendapatkan sesuatu
sumber yang tidak terbatas yang telah disediakan oleh Allah
SWT Berdasarkan pernyataan di atas maka manusia perlu membuat suatu
pilihan yang rasional sehingga pilihan tersebut dapat memberikan kepuasan atau
keuntungan yang maksimal pada manusia.
Menurut
ilmu ekonomi konvensional, sesuai dengan pahamnya tentang rational
economics man, tindakan individu dianggap rasional jika tertumpu kepada
kepentingan diri sendiri yang menjadi satu-satunya tujuan bagi seluruh
aktivitas. Dalam ekonomi konvensional, perilaku rasional dianggap ekuivalen
(equivalent) dengan memaksimalkan utiliti. Ekonomi konvensional mengabaikan
moral dan etika dalam pembelanjaan dan unsur waktu adalah terbatas hanya di
dunia saja tanpa memperkirakan akhirat.
ASUMSI
RASIONALITAS DALAM EKONOMI ISLAM
Bahwa
setiap analisa ekonomi selalu didasarkan atas asumsi mengenai perilaku para
pelaku ekonominya. Seperti telah dijelaskan di atas, terminologi rasionalitas
merupakan terminologi yang sangat longgar. Argumen apapun yang dibangun selama
memenuhi kaidah-kaidah logika yang ada dan dapat diterima oleh akal, maka hal
ini dianggap sebagai bagian dari ekspresi rasional. Oleh karena itu,
terminologi rasionalitas dibangun atas dasar kaidah-kaidah yang diterima secara
universal dan tidak perlu diuji kebenarannya, yang disebut sebagai aksioma. Dan
aksioma-aksioma tersebut menjadi acuan dalam pengujian rasionalitas dari suatu
argumen atau perilaku.
Aksioma
– dalam banyak hal—digali dari nilai-nilai dari suatu budaya yang bersifat
universal. Yang membedakan adalah penafsiran pada tataran operasional bergantung
dan dipengaruhi oleh cara pandang dan berfikir yang ada pada budaya tersebut,
maupun situasi dan kondisi yang melingkupinya.
Begitu
juga dengan rasionalitas dalam Ekonomi Islam, dibangun dan diderivasikan
dari nilai-nilai Islam.
Aksioma-aksioma
tersebut berlaku secara umum dan universal, beberapa di antaranya adalah:
1. Setiap
pelaku ekonomi bertujuan mendapatkan maslahah
Sebagai
contoh, dalam Islam terdapat dua cara dalam mendistribusikan harta atau
pendapatan yakni melalui zakat dan infaq. Menurut teori transitivitas seseorang
dikatakan konsisten apabila konsisten dalam menentukan pilihan-pilihannya.
Dalam kasus zakat dan infaq tindakan ini tidak memenuhi persyaratan
transitivitas. Karena tindakan ini tidak rasional. Dalam Islam persyaratan tansitivitas
tidak harus dijabarkan berdasarkan self interest rationality, melainkan
karena keputusan tersebut adalah tepat secara syariah, mengandung manfaat dan
kebaikan baik bagi dirinya maupun orang lain.
Dalam
rangka mencapai maslahah, seseorang akan selalu mencari:
- Maslahah yang lebih besar
selalu lebih disukai dari pada maslahah yang lebih kecil; artinya bahwa
kebahagiaan yang lebih besar selalu lebih disukai dari pada kebahagiaan
yang lebih kecil.
- Maslahah diupayakan terus
meningkat sepanjang waktu
Konsep
ini disebut juga dengan quasi concavity, yaitu situasi yang maslahah yang
menunjukkan pola non-decreasing. Sebagai contoh, jika seorang sakit dia akan
berusaha mengobati sakitnya. Sebab sakit tidaklah menyenangkan dan menurunkan
maslahah hidupnya. Selanjutnya dia akan melakukan olah raga, vaksinasi, dan
lain-lain agar tidak jatuh sakit lagi dan lebih sehat dimasa depan agar
maslahah hidupnya semakin meningkat dan setidaknya tetap.
Waktu
dalam pandangan Islam tidak terkait dengan masa kini dan masa yang akan datang.
Waktu menjadi sangat penting dan bernilai tergantung bagaiman seseorang
memanfaatkannya. Semakin produktif seseorang memanfaatkan waktunya semakin
banyak nilai yang diperolehnya. Ide ini adalah kebalikan dari konsep nilai
waktu berdasarkan uang ”time value of money”. Dalam Islam waktulah yang
bernilai, sementara uang tidak memiliki nilai waktu.
2.
Setiap pelaku ekonomi selalu berusaha untuk tidak melakukan kemubadziran
(non-wasting)
Aksioma
ini menjelaskan bahwa untuk mencapai suatu tujuan diperlukan suatu pengorbanan.
Tetapi apabila pengorbanan tersebut lebih besar dari hasil yang diharapkan,
maka dianggap kesia-siaan (pemubadziran) atas suatu sumber daya. Oleh karenanya
perilaku ini harus dicegah agar tidak terjadi pengurangan dari sumber daya yang
dimiliki tanpa kompensasi berupa hasil yang sebanding.
3. Setiap
pelaku ekonomi selalu berusaha meminimumkan risiko (risk aversion)
Risiko
adalah sesuatu yang tidak menyenangkan karenanya harus dihindari. Namu tidak
semua risiko dapat dihindari atau diminimalisir. Hanya risiko yang dapat
diantisipasi saja yang dapat diminimalkan. Ada juga risiko-risiko yang setiap
orang bersedia menanggungnya, karena pertimbangan maslahah yang lebih besar.
Ada 2 risiko berkaitan dengan pembahasan aksioma ini, antara lain:
- Risiko yang bernilai (worthed
risk)
Kemunculan
fenomena risiko yang bernilai tidak menyimpang dari aksioma-aksioma yang
dikemukakan di atas. Dalam konteks ini risiko dianggap sebagai
pengorbanan bagi seseorang yang memikulnya, sedangkan hasil dianggap bagian
dari maslahah sebagai kompensasi dari kesediannya memikul risiko. Jika maslahah
yang diterima lebih besar dari risiko yaitu pengorbanan maka pengorbanan
tersebut tidak dianggap sia-sia dan karenanya tidak bertentangan dengan aksioma
non-wasting.
- Risiko yang tidak bernilai
Meskipun
fenomena worthed risk telah menjadi fenomena dibanyak kegiatan ekonomi saat
ini, namun terdapat pula risiko-risiko yang unworthed, yaitu ketika nilai hasil
yang diharapkan lebih kecil dari risiko yang ditanggung ataupun ketika risiko
dan hasil tersebut tidak dapat diantisipasi dan dikalkulasi.
4. Setiap
pelaku ekonomi selalu dihadapkan pada ketidakpastian (uncertainty)
Ketidakpastian
memang dapat menurunkan maslahah yang diterima kemunculan risiko dalam banyak hal
dapat diantisipasi melalui gejala yang ada. Untuk mengantisipasi ketidakpastian
tersebut maka diperlukan langkah-langkah sebagai berikut:
- Melengkapi informasi dan
pengetahuan
- Sumber informasi sempurna
hanyalah al-qur’a n dan Sunnah
Pada
dasarnya informasi dapat diperoleh dari fenomena kehidupan dunia masa lalu,
namun kebenaran informasi sangat dibatasi oleh ruang dan waktu serta kemampuan
pelaku dalam menginterpretasikan fenomena tersebut.
Terkait
dengan aksioma ini, maka pelaku ekonomi memiliki rasionalitas Islam menghadapi
jangkauan waktu (time horizon) yang tak terbatas. Dalam pandangan Islam,
kehidupan manusia terdiri dari kehidupan dunia, kehidupan kubur, dan kehidupan
setelah mati. Oleh karena itu maslahah yang akan diterima di hari akhir merupakan
fungsi dari kehidupan di dunia atau maslahah di dunia terkait dengan maslahah
yang akan diterima di akhirat. Menurut aksioma quasi concavity, pelaku ekonomi
Islam dipastikan akan melakukan harmonisasi maslahah yang diterima di dunia dan
akhirat.
Metodologi
Ekonomi Islam
Muhammad
Anas Zarqa, menjelaskan bahwa ekonomi Islam itu terdiri dari 3 kerangka
metodologi. Pertama adalah presumptions and ideas, atau yang disebut
dengan ide dan prinsip dasar dari ekonomi Islam. Sedangkan prinsip-prinsip
dasar ekonomi Islam menurut Umer Chapra adalah sebagai berikut:
- Prinsip Tauhid. Tauhid adalah
fondasi keimanan Islam. Ini bermakna bahwa segala apa yang di alam semesta
ini didesain dan dicipta dengan sengaja oleh Allah SWT, bukan kebetulan,
dan semuanya pasti memiliki tujuan. Tujuan inilah yang memberikan
signifikansi dan makna pada eksistensi jagat raya, termasuk manusia yang
menjadi salah satu penghuni di dalamnya.
- Prinsip khilafah. Manusia
adalah khalifah Allah SWT di muka bumi. Ia dibekali dengan perangkat baik
jasmaniah maupun rohaniah untuk dapat berperan secara efektif sebagai
khalifah-Nya. Implikasi dari prinsip ini adalah:
a.
Persaudaraan universal,
b.
Sumber daya adalah amanah,
c. Gaya hidup
sederhana,
d.
Kebebasan manusia.
- Prinsip keadilan. Keadilan adalah
salah satu misi utama ajaran Islam. Implikasi dari prinsip ini adalah:
a.
Pemenuhan kebutuhan pokok manusia,
b.
Sumber-sumber pendapatan yang halal,
c.
Distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata,
d.
Pertumbuhan dan stabilitas.
Ide
ini bersumber dari Al Qur’an, Sunnah, dan Fiqih Al Maqasid. Ide ini
nantinya harus dapat diturunkan menjadi pendekatan yang ilmiah dalam membangun
kerangka berpikir dari ekonomi Islam itu sendiri. Kedua adalah nature of
value judgement, atau pendekatan nilai dalam Islam terhadap kondisi ekonomi
yang terjadi. Pendekatan ini berkaitan dengan konsep utilitas dalam Islam.
Terakhir, yang disebut dengan positive part of economics science. Bagian
ini menjelaskan tentang realita ekonomi dan bagaimana konsep Islam bisa diturunkan
dalam kondisi nyata dan riil. Melalui tiga pendekatan metodologi tersebut, maka
ekonomi Islam dibangun.
Ahli
ekonomi Islam lainnya, Masudul Alam Choudhury, menjelaskan bahwa pendekatan
ekonomi Islam itu perlu menggunakan shuratic process, atau
pendekatan syura. Syura itu bukan demokrasi. Shuratic
process adalah metodologi individual digantikan oleh sebuah konsensus para
ahli dan pelaku pasar dalam menciptakan keseimbangan ekonomi dan perilaku
pasar. Individualisme yang merupakan ide dasar ekonomi konvensional tidak dapat
lagi bertahan, karena tidak mengindahkan adanya distribusi yang tepat, sehingga
terciptalah sebuah jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin. Pertanyaan
kemudian muncul, apakah konsep Islam dalam ekonomi bisa diterapkan di suatu
negara, misalnya di negara kita? Memang baru-baru ini muncul ide untuk
menciptakan dual economic system di negara kita, dimana ekonomi
konvensional diterapkan bersamaan dengan ekonomi Islam. Tapi mungkinkah Islam
bisa diterapkan dalam kondisi ekonomi yang nyata?
Sebelum
menjawab pertanyaan tersebut, Umar Chapra (2000) menjelaskan bahwa
terdapat dua aliran dalam ekonomi, yaitu aliran normatif dan positif. Aliran
normatif itu selalu memandang sesuatu permasalahan dari yang seharusnya
terjadi, sehingga terkesan idealis dan perfeksionis. Sedangkan aliran positif
memandang permasalahan dari realita dan fakta yang terjadi. Aliran positif ini
pun kemudian menghasilkan perilaku manusia yang rasional. Perilaku yang selalu
melihat masalah ekonomi dari sudut pandang rasio dan nalarnya. Kedua aliran ini
merupakan ekstrim diantara dua kutub yang berbeda.
Lalu
apa hubungannya kedua aliran tersebut dengan pelaksanaan ekonomi Islam?
Ternyata hubungannya adalah akan selalu ada orang-orang yang mempunyai pikiran
dan ide yang bersumber dari dua aliran tersebut. Jadi atau tidak jadi ekonomi
Islam akan diterapkan, akan ada yang menentang dan mendukungnya. Oleh karena
itu sebagai orang yang optimis, maka penulis akan menyatakan ‘Ya’, Islam dapat
diterapkan dalam sebuah sistem ekonomi.
Tetapi
optimisme ini akan dapat terwujud manakala etika dan perilaku pasar sudah
berubah. Dalam Islam etika berperan penting dalam menciptakan utilitas atau
kepuasan. Konsep Islam menyatakan bahwa kepuasan optimal akan tercipta manakala
pihak lain sudah mencapai kepuasan atau hasil optimal yang diinginkan, yang
juga diikuti dengan kepuasan yang dialami oleh kita. Islam sebenarnya memandang
penting adanya distribusi, kemudian lahirlah zakat sebagai bentuk dari
distribusi itu sendiri.
Maka,
sesungguhnya kerangka dasar dari ekonomi Islam didasari oleh tiga metodolodi
dari Muhammad Anas Zarqa, yang kemudian dikombinasikan dengan efektivitas,
distribusi, zakat serta penerapan konsepshuratic process (konsensus
bersama) dalam setiap pelaksanaannya. Dari kerangka tersebut, insyaAllah
ekonomi Islam dapat diterapkan dalam kehidupan nyata. Dan semua itu harus
dibungkus oleh etika dari para pelakunya serta peningkatan kualitas sumber daya
manusianya.
PERBEDAAN
EKONOMI ISLAM DAN EKONOMI KONVENSIONAL
Dalam
ekonomi konvensional, motif aktifitas ekonomi mengarah kepada pemenuhan
keinginan (wants) individu manusia yang tak terbatas dengan menggunakan
factor-faktor produksi yang terbatas, akibatnya, masalah utamaekonomi
konvensional adalah kelangkaan (scarcity) dan pilihan (choices).
Dalam
ekonomi konvensional, motif aktifitas ekonomi lebih diarahkan pada pemenuhan
kebutuhan dasar (needs) yang tentu ada batasnya. Dengan demikian, ekonomi islam
adalah ilmu yang mempelajari segala perilaku manusia dalam memenuhi
kebutuhanhidupnya denngan tujuan falah (kedamaian dan kesejahteraan
dunia akhirat).
Bila
dilihat dari berbagai aspek inilah perbedaan antara ekonomi islam dengan
ekonomi konvensional :
PENUTUP
Berdasarkan
semua uraian sebelumnya, hanya asas (aqidah) ideologi Islamlah satu-satunya
yang benar, sedangkan asas ideologi sosialisme dan kapitalisme
adalah rusak. Asas ideologi Islam dibangun
berdasarkan akal, amat berbeda dengan ideologi sosialisme dan
kapitalisme yang tidak dibangun berlandaskan akal. Disamping itu, asas ideologi
Islam sesuai dengan fitrah manusia, sehingga mudah diterima oleh manusia.
Sedangkan asas ideologi sosialisme dan kapitalisme berlawanan dengan fitrah
manusia.Kritik ini adalah kritik yang berdasarkan bukti rasional-faktual (dalil
aqli). Disamping itu, kebatilan asas ideologi sosialisme dan kapitalisme
juga dapat jugadidasarkan pada dalil naqli, yakni bahwa keduanya adalah
ideologi kufur yang tidak didasarkan pada apa yang diturunkan Allah.
Segala sesuatu pemikiran tentang kehidupan yang tidak didasarkan pada apa yang
diturunkan Allah adalah kufur dan thaghut yang harus diingkari dan dihancurkan.
Allah SWT berfirman :
“Barangsiapa yang tidak memutuskan (perkara) menurut
apa yang diturunkan Allah,maka mereka itu adalah orang-orang yang
kafir.”
(TQS
Al Maaidah : 44)
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku
dirinya telahberiman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan apa yang
diturunkan sebelumkamu ? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka
telah diperintahuntuk mengingkari thaghut itu…”
:
(TQS An Nisaa` : 60)
No comments:
Post a Comment