kantongtangan.com: KONSEP RASIONALITAS EKONOMI MODERN
  • Home
  • Tentang kantongtangan.com
  • Kumpulan Puisi
  • KONSEP RASIONALITAS EKONOMI MODERN

    KONSEP RASIONALITAS EKONOMI MODERN
    Sebelum menjelaskan term rasionalitas, terlebih dahulu dijelaskan maksud dari ekonomi modern. Ekonomi modern merupakan prilaku ekonomi yang digunakan oleh masyarakat dewasa ini dengan sistem dan implikasi-implikasi yang ditimbulkannya. Ekonomi yang berkembang sekarang ini adalah sistem ekonomi kapitalis, sehingga dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud ekonomi modern adalah ekonomi kapitalis. Dengan bahasa lain, sebuah sistem yang berkembang dan masih digunakan hingga kini secara mayoritas dapat disebut sistem konvensional (mainstreem). Oleh karena itu, dalam kajian ini apa yang dimaksud dengan sistem ekonomi modern adalah identik dengan sistem ekonomi konvensional, karena di dalamnya dihuni oleh sistem ekonomi kapitalis dan. Penegasan ini tidak berarti mengabaikan sistem ekonomi sosialis atau sistem ekonomi lainya. Namun, dari sudut pandang kekuatan pengaruh dan establishment, sistem kapitalis lebih umum dipahami sebagai sistem konvensional.
    Pemahaman tentang rasionalitas ekonomi sesungguhnya tidak bisa dilepaskan begitu saja dari pengertian ilmu ekonomi itu sendiri. Ilmu ekonomi didefinisikan secara beragam, paling populer diantaranya adalah “ilmu yang mempelajari segala aktivitas yang berkaitan dengan produksi dan distribusi di antara orang-orang”. Definisi ini dianggap masih kurang representatif sehingga para ahli ekonomi neo-klasik, seperti Lionel Robbins, mengajukan pengertian lain bahwa inti kegiatan ekonomi adalah aspek “pilihan dalam penggunaan sumberdaya”. Dalam pemilihan ini, lanjutnya, manusia menjumpai masalah kelangkaan (scarcity). Dengan demikian, sasaran ilmu ekonomi adalah bagaimana mengatasi kelangkaan itu. Dari situ muncul definisi ilmu ekonomi yang dipegang hingga kini, yaitu “sebuah kajian tentang prilaku manusia sebagai hubungan antara tujuan-tujuan dan alat-alat pemuas yang terbatas, yang mengundang pilihan dalam penggunaannya”.
    Ada beberapa titik tekan dari pengertian di atas, prilaku manusia, pilihan dan alat pemuas yang terbatas. Unsur “prilaku manusia” muncul sebagai bagian dari aplikasi naluriah manusia untuk mencari kesejahteraan hidup. Sehingga itu harus diwujudkan melalui aktivitas. Prilaku ini tentu merupakan cerminan dari apa yang ada dalam diri pelakunya, yang berupa kepercayaan, kecenderungan berpikir, tata nilai, pola pikir dan juga ideologi. Term “pilihan” merupakan hal yang wajar pula, sebab manusia punya rasa, idealisme, dan kecenderungan-kecenderungan serta ukuran-ukuran tertentu yang menjadi standar dalam membentuk hidupnya. Pilihan ini juga tergantung pada yang ada dibalik pelakunya. Sedangkan term “alat pemuas yang terbatas” atau kelangkaan sumberdaya, mengandung makna ambigu, bisa ya bisa tidak. Relativity is an attribute of scarcity, menurut Zubair Hasan. Namun dalam konteks bahwa tujuan manusia mencari kekayaan, term tersebut dapat menjadi spirit untuk mendorong manusia mencapai kekayaan dengan secepatnya. Pendek kata term terakhir ini, mengimplikasikan adanya target tertentu yang harus dikejar pelaku ekonomi.
    Dalam bangunan terminologi di atas, konsep rasionalitas ekonomi itu muncul. Setiap orang yang dapat mencari kesejahteraan hidupnya (kekayaan material) dengan cara melakukan pilihan-pilihan yang tepat bagi diriya, dengan prinsip jangan sampai dia tidak kebagian mendapatkan pilihan itu karena terbatasnya ketersediaan, maka orang tersebut dianggap melakukan tindakan rasional. Dalam lingkup yang lebih khusus, seorang produsen dianggap rasional jika ia dapat mencapai tujuan usahanya (keuntungan) dengan cara melakukan beberapa pilihan strategi, meminimalisasi kapital dan mendapatkan keuntungan maksimum. Demikian juga konsumen, ia dianggap rasional, jika ia dapat memenuhi atau melampaui batas maksimum kepuasannya dari alat-alat pemuas yang terbatas. Oleh karena itu, rasionalitas ekonomi dapat dipahami sebagai tindakan atas dasar kepentingan pribadi untuk mencapai kepuasannya yang bersifat material lantaran kawatir tidak mendapatkan kepuasan itu karena terbatasnya alat atau sumber pemuas.
    Kepentingan pribadi atau self-interest, menjadi titik tekan disini. Namun, menurut Adam Smith, penekanan pada self-interest itu bukan berarti mengabaikan kepentingan masyarakat. Menurutnya, dengan memaksimalkan self-interest, kepentingan (kesejahteraan) masyarakat dengan sendirinya akan terpenuhi kesejahteraan masyarakat itu. Oleh karena itu, dalam buku-buku ekonomi, term rasionalitas ini dijelaskan bahwa pelaku ekonomi melakukan tindakan rasional jika ia melakukan sesuatu yang sesuai dengan self-interest, dan pada saat yang sama konsisten dengan membuat pilihan-pilihannya dengan tujuan dapat dikuantifikasikan (dihitung untung ruginya) menuju kesejahteraan umum. Meskipun ada tujuan kepentingan umumnya, tetapi itu berangkat dari kepentingan pribadi.
    Metodologi Ekonomi Konvensional
    Ilmu ekonomi konvensional telah mencanangkan dua tujuan. Salah satu tujuan ini dapat dikategorikan positif yang berhubungan dengan realisasi ’’efisiensi’’ dan ’’pemerataan ’’ dalam alokasi dan distribusi sumber-sumber daya. Tujuan yang lain dapat dianggap sebagai normatif dan diungkapkan dalam bentuk tujuan-tujuan sosioekonomi yang secara universal diinginkan seperti pemenuhan kebutuhan, keadaan kesempatan kerja penuh, laju pertumbuhan ekonomi yang optimal, distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil (merata), stabilitas ekonomi, dan keseimbangan lingkungan hidup, yang semuanya selain menambah keharmonisan sosial dan menghapuskan anomi, dalam beberapa derajat, dipandang tidak dapat dihindarkan untuk merealisasikan kebahagian manusia. Keduan tujuan ini dimaksudkan untuk melayani kepentingan individu maupun masyarakat. Apakah tujuan positif atau normatif konsisten satu sama lain bergantung dengan bagaimana efisiensi dan pemerataan itu didenifisikan. Sulit rasanya utuk mengatakan apakan ilmu ekonomi konvesional telah berhasil merealisasikan tujuan positifnya karena sulitnya menentukan dan mengukur efisiensi dan pemerataan dalam sebuah ekonomi yang dinamik. Namun pada umumnya telah disepakati bahwa sekalipun negara-negara industri kaya ternyata tidak berhasil memujudkan semua tujuan normatif mereka, padahal mereka memiliki sumber-sumber daya besar. Jika sebagian dari tujuan ini diwujudkan, hal itu dengan cara merugikan tujuan yang lain.
    Adapun konsep-konsep pemikiran penting dalam sistem ekonomi konvensional adalah sebagai berikut:
    a. Rational economic man
    ekonomi konvensional sangat memegang teguh asumsi bahwa tindakan individu adalah rasional.Berdasarkan paham ini, tindakan individu dianggap rasional jika tertumpu kepada kepentingan diri sendiri (self interest) yang menjadi satu-satunya tujuan bagi seluruh aktivitas. Dalam implementasinya, rasionaliti ini dianggap dapat diterapkan hanya jika individu diberikan kebebasan dalam arti yang seluas-luasnya, sehingga dengan sendirinya di dalamnya terkandung individualisme dan liberalisme. Adam Smith menyatakan bahwa tindakan individu yang mementingkan kepentingan diri sendiri pada akhirnya akan membawa kebaikan masyarakat seluruhnya karena tangan tak tampak (invisible hand) yang bekerja melalui proses kompetisi dalam mekanisme pasar. Oleh karena itu, kapitalisme sangat menjunjung tinggi pasar yang bebas dan menganggap tidak perlu ada campur tangan pemerintah.
    b. Positivisme
    Kapitalisme berusaha mewujudkan suatu ilmu ekonomi yang bersifat objektif, bebas dari petimbangan moralitas dan nilai, dan karenanya berlaku universal. Ilmu ekonomi telah dideklarasikan sebagai kenetralan yang maksimal di antara hasil akhir dan independensi setiap kedudukan etika atau pertimbangan normatif. Untuk mewujudkan obyektivitas ini, maka positivism telah menjadi bagian integral dari paradigma ilmu ekonomi. Positivism menjadi sebuah keyakinan bahwa setiap pernyataan ekonomi yang timbul harus mempunyai pembenaran dari fakta empiris. Paham ini secara otomatis mengabaikan peran agama dalam ekonomi, sebab dalam banyak hal, agama mengajarkan sesuatu yang bersifat normatif.
    c. Hukum Say
    Terdapat suatu keyakinan bahwa selalu terdapat keseimbangan (equilibrium) yang bersifat alamiah, sebagaimana hukum keseimbangan alam dalam tradisi fisika Newtonian. Jean Babtis Say menyatakan bahwasupply creates its own demand, penawaran menciptakan permintaannya sendiri. Ini berimplikasi pada asumsi bahwa tidak akan pernah terjadi ketidakseimbangan dalam ekonomi. Kegiatan produksi dengan sendirinya akan menciptakan permintaannya sendiri, maka tidak akan terjadi kelebihan produksi dan pengangguran. Implikasi selanjutnya, tidak perlu ada intervensi pemerintah dalam kegiatan ekonomi. Intervensi pemerintah dianggap justru akan mengganggu keseimbangan alamiah. Asumsi inilah yang menjadi piranti keyakinan akan kehebatan pasar dalam menyelesaikan semua persoalan ekonomi. Inilah salah satu paradigma ilmu ekonomi konvensional.
    Ilmu ekonomi konvensional sangat memegang teguh asumsi bahwa tindakan individu adalah rasional. Ini berarti bahwa rasionaliti didefinisikan sebagai tindakan manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya yaitu memaksimumkan kepuasan atau keuntungan senantiasa berdasarkan pada keperluan dan keinginan-keinginan yang digerakkan oleh akal yang sehat dan tidak akan bertindak secara sengaja membuat keputusan yang bisa merugikan kepuasan atau keuntungan mereka.
    Rasionaliti merupakan kunci utama dalam pemikiran ekonomi modern. Ia menjadi asas aksioma bahwa manusia adalah makhluk rasional. Konsep rasionaliti muncul karena adanya keinginan-keinginan konsumen untuk memaksimalkan utiliti dan produsen ingin memaksimalkan keuntungan, berasaskan pada satu setconstrain. Yang dimaksud constrain dalam ekonomi konvensional adalah terbatasnya sumber-sumber dan pendapatan yang dimiliki oleh manusia dan alam, akan tetapi keinginan manusia pada dasarnya tidak terbatas. Dalam ekonomi Islam yang dimaksud dengan constrain adalah terbatasnya kemampuan manusia baik dari segi fisik maupun pengetahuan untuk mencapai atau mendapatkan sesuatu sumber yang tidak terbatas yang telah disediakan oleh Allah SWT  Berdasarkan pernyataan di atas maka manusia perlu membuat suatu pilihan yang rasional sehingga pilihan tersebut dapat memberikan kepuasan atau keuntungan yang maksimal pada manusia.
    Menurut ilmu ekonomi konvensional, sesuai dengan pahamnya tentang rational economics man, tindakan individu dianggap rasional jika tertumpu kepada kepentingan diri sendiri yang menjadi satu-satunya tujuan bagi seluruh aktivitas. Dalam ekonomi konvensional, perilaku rasional dianggap ekuivalen (equivalent) dengan memaksimalkan utiliti. Ekonomi konvensional mengabaikan moral dan etika dalam pembelanjaan dan unsur waktu adalah terbatas hanya di dunia saja tanpa memperkirakan akhirat.
    ASUMSI RASIONALITAS DALAM EKONOMI ISLAM
    Bahwa setiap analisa ekonomi selalu didasarkan atas asumsi mengenai perilaku para pelaku ekonominya. Seperti telah dijelaskan di atas, terminologi rasionalitas merupakan terminologi yang sangat longgar. Argumen apapun yang dibangun selama memenuhi kaidah-kaidah logika yang ada dan dapat diterima oleh akal, maka hal ini dianggap sebagai bagian dari ekspresi rasional. Oleh karena itu, terminologi rasionalitas dibangun atas dasar kaidah-kaidah yang diterima secara universal dan tidak perlu diuji kebenarannya, yang disebut sebagai aksioma. Dan aksioma-aksioma tersebut menjadi acuan dalam pengujian rasionalitas dari suatu argumen atau perilaku.
    Aksioma – dalam banyak hal—digali dari nilai-nilai dari suatu budaya yang bersifat universal. Yang membedakan adalah penafsiran pada tataran operasional bergantung dan dipengaruhi oleh cara pandang dan berfikir yang ada pada budaya tersebut, maupun situasi dan kondisi yang melingkupinya.
    Begitu juga dengan rasionalitas dalam  Ekonomi Islam, dibangun dan diderivasikan dari nilai-nilai  Islam.
    Aksioma-aksioma tersebut berlaku secara umum dan universal, beberapa di antaranya adalah:
    1.      Setiap pelaku ekonomi bertujuan mendapatkan maslahah
    Sebagai contoh, dalam Islam terdapat dua cara dalam mendistribusikan harta atau pendapatan yakni melalui zakat dan infaq. Menurut teori transitivitas seseorang dikatakan konsisten apabila konsisten dalam menentukan pilihan-pilihannya. Dalam kasus zakat dan infaq tindakan ini tidak memenuhi persyaratan transitivitas. Karena tindakan ini tidak rasional. Dalam Islam persyaratan tansitivitas tidak harus dijabarkan  berdasarkan self interest rationality, melainkan karena keputusan tersebut adalah tepat secara syariah, mengandung manfaat dan kebaikan baik bagi dirinya maupun orang lain.
    Dalam rangka mencapai maslahah, seseorang akan selalu mencari:
    1. Maslahah yang lebih besar selalu lebih disukai dari pada maslahah yang lebih kecil; artinya bahwa kebahagiaan yang lebih besar selalu lebih disukai dari pada kebahagiaan yang lebih kecil.
    2. Maslahah diupayakan terus meningkat sepanjang waktu
    Konsep ini disebut juga dengan quasi concavity, yaitu situasi yang maslahah yang menunjukkan pola non-decreasing. Sebagai contoh, jika seorang sakit dia akan berusaha mengobati sakitnya. Sebab sakit tidaklah menyenangkan dan menurunkan maslahah hidupnya. Selanjutnya dia akan melakukan olah raga, vaksinasi, dan lain-lain agar tidak jatuh sakit lagi dan lebih sehat dimasa depan agar maslahah hidupnya semakin meningkat dan setidaknya tetap.
    Waktu dalam pandangan Islam tidak terkait dengan masa kini dan masa yang akan datang. Waktu menjadi sangat penting dan bernilai tergantung bagaiman seseorang memanfaatkannya. Semakin produktif seseorang memanfaatkan waktunya semakin banyak nilai yang diperolehnya. Ide ini adalah kebalikan dari konsep nilai waktu berdasarkan uang ”time value of money”. Dalam Islam waktulah yang bernilai, sementara uang tidak memiliki nilai waktu.
    2.    Setiap pelaku ekonomi selalu berusaha untuk tidak melakukan kemubadziran (non-wasting)
    Aksioma ini menjelaskan bahwa untuk mencapai suatu tujuan diperlukan suatu pengorbanan. Tetapi apabila pengorbanan tersebut lebih besar dari hasil yang diharapkan, maka dianggap kesia-siaan (pemubadziran) atas suatu sumber daya. Oleh karenanya perilaku ini harus dicegah agar tidak terjadi pengurangan dari sumber daya yang dimiliki tanpa kompensasi berupa hasil yang sebanding.
    3.   Setiap pelaku ekonomi selalu berusaha meminimumkan risiko (risk aversion)
    Risiko adalah sesuatu yang tidak menyenangkan karenanya harus dihindari. Namu tidak semua risiko dapat dihindari atau diminimalisir. Hanya risiko yang dapat diantisipasi saja yang dapat diminimalkan. Ada juga risiko-risiko yang setiap orang bersedia menanggungnya, karena pertimbangan maslahah yang lebih besar. Ada 2 risiko berkaitan dengan pembahasan aksioma ini, antara lain:
    1. Risiko yang bernilai (worthed risk)
    Kemunculan fenomena risiko yang  bernilai tidak menyimpang dari aksioma-aksioma yang dikemukakan di atas. Dalam konteks  ini risiko dianggap sebagai pengorbanan bagi seseorang yang memikulnya, sedangkan hasil dianggap bagian dari maslahah sebagai kompensasi dari kesediannya memikul risiko. Jika maslahah yang diterima lebih besar dari risiko yaitu pengorbanan maka pengorbanan tersebut tidak dianggap sia-sia dan karenanya tidak bertentangan dengan aksioma non-wasting.
    1. Risiko yang tidak bernilai
    Meskipun fenomena worthed risk telah menjadi fenomena dibanyak kegiatan ekonomi saat ini, namun terdapat pula risiko-risiko yang unworthed, yaitu ketika nilai hasil yang diharapkan lebih kecil dari risiko yang ditanggung ataupun ketika risiko dan hasil tersebut tidak dapat diantisipasi dan dikalkulasi.
    4.   Setiap pelaku ekonomi selalu dihadapkan pada ketidakpastian (uncertainty)
    Ketidakpastian memang dapat menurunkan maslahah yang diterima kemunculan risiko dalam banyak hal dapat diantisipasi melalui gejala yang ada. Untuk mengantisipasi ketidakpastian tersebut maka diperlukan langkah-langkah sebagai berikut:
    1. Melengkapi informasi dan pengetahuan
    2. Sumber informasi sempurna hanyalah al-qur’a n dan Sunnah
    Pada dasarnya informasi dapat diperoleh dari fenomena kehidupan dunia masa lalu, namun kebenaran informasi sangat dibatasi oleh ruang dan waktu serta kemampuan pelaku dalam menginterpretasikan fenomena tersebut.
    Terkait dengan aksioma ini, maka pelaku ekonomi memiliki rasionalitas Islam menghadapi jangkauan waktu (time horizon) yang tak terbatas. Dalam pandangan Islam, kehidupan manusia terdiri dari kehidupan dunia, kehidupan kubur, dan kehidupan setelah mati. Oleh karena itu maslahah yang akan diterima di hari akhir merupakan fungsi dari kehidupan di dunia atau maslahah di dunia terkait dengan maslahah yang akan diterima di akhirat. Menurut aksioma quasi concavity, pelaku ekonomi Islam dipastikan akan melakukan harmonisasi maslahah yang diterima di dunia dan akhirat.
    Metodologi Ekonomi Islam
    Muhammad Anas Zarqa, menjelaskan bahwa ekonomi Islam itu terdiri dari 3 kerangka metodologi. Pertama adalah presumptions and ideas, atau yang disebut dengan ide dan prinsip dasar dari ekonomi Islam. Sedangkan prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam menurut  Umer Chapra adalah sebagai berikut:
    1. Prinsip Tauhid. Tauhid adalah fondasi keimanan Islam. Ini bermakna bahwa segala apa yang di alam semesta ini didesain dan dicipta dengan sengaja oleh Allah SWT, bukan kebetulan, dan semuanya pasti memiliki tujuan. Tujuan inilah yang memberikan signifikansi dan makna pada eksistensi jagat raya, termasuk manusia yang menjadi salah satu penghuni di dalamnya.
    2. Prinsip khilafah. Manusia adalah khalifah Allah SWT di muka bumi. Ia dibekali dengan perangkat baik jasmaniah maupun rohaniah untuk dapat berperan secara efektif sebagai khalifah-Nya. Implikasi dari prinsip ini adalah:
    a. Persaudaraan universal,
    b. Sumber daya adalah amanah,
    c. Gaya hidup sederhana,
    d. Kebebasan manusia.
    1. Prinsip keadilan. Keadilan adalah salah satu misi utama ajaran Islam. Implikasi dari prinsip ini adalah:
    a. Pemenuhan kebutuhan pokok manusia,
    b. Sumber-sumber pendapatan yang halal,
    c. Distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata,
    d. Pertumbuhan dan stabilitas.
    Ide ini bersumber dari Al Qur’an, Sunnah, dan Fiqih Al Maqasid. Ide ini nantinya harus dapat diturunkan menjadi pendekatan yang ilmiah dalam membangun kerangka berpikir dari ekonomi Islam itu sendiri. Kedua adalah nature of value judgement, atau pendekatan nilai dalam Islam terhadap kondisi ekonomi yang terjadi. Pendekatan ini berkaitan dengan konsep utilitas dalam Islam. Terakhir, yang disebut dengan positive part of economics science. Bagian ini menjelaskan tentang realita ekonomi dan bagaimana konsep Islam bisa diturunkan dalam kondisi nyata dan riil. Melalui tiga pendekatan metodologi tersebut, maka ekonomi Islam dibangun.
    Ahli ekonomi Islam lainnya, Masudul Alam Choudhury, menjelaskan bahwa pendekatan ekonomi Islam itu perlu menggunakan shuratic process, atau pendekatan syura. Syura itu bukan demokrasi. Shuratic process adalah metodologi individual digantikan oleh sebuah konsensus para ahli dan pelaku pasar dalam menciptakan keseimbangan ekonomi dan perilaku pasar. Individualisme yang merupakan ide dasar ekonomi konvensional tidak dapat lagi bertahan, karena tidak mengindahkan adanya distribusi yang tepat, sehingga terciptalah sebuah jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin. Pertanyaan kemudian muncul, apakah konsep Islam dalam ekonomi bisa diterapkan di suatu negara, misalnya di negara kita? Memang baru-baru ini muncul ide untuk menciptakan dual economic system di negara kita, dimana ekonomi konvensional diterapkan bersamaan dengan ekonomi Islam. Tapi mungkinkah Islam bisa diterapkan dalam kondisi ekonomi yang nyata?
    Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, Umar Chapra (2000) menjelaskan  bahwa terdapat dua aliran dalam ekonomi, yaitu aliran normatif dan positif. Aliran normatif itu selalu memandang sesuatu permasalahan dari yang seharusnya terjadi, sehingga terkesan idealis dan perfeksionis. Sedangkan aliran positif memandang permasalahan dari realita dan fakta yang terjadi. Aliran positif ini pun kemudian menghasilkan perilaku manusia yang rasional. Perilaku yang selalu melihat masalah ekonomi dari sudut pandang rasio dan nalarnya. Kedua aliran ini merupakan ekstrim diantara dua kutub yang berbeda.
    Lalu apa hubungannya kedua aliran tersebut dengan pelaksanaan ekonomi Islam? Ternyata hubungannya adalah akan selalu ada orang-orang yang mempunyai pikiran dan ide yang bersumber dari dua aliran tersebut. Jadi atau tidak jadi ekonomi Islam akan diterapkan, akan ada yang menentang dan mendukungnya. Oleh karena itu sebagai orang yang optimis, maka penulis akan menyatakan ‘Ya’, Islam dapat diterapkan dalam sebuah sistem ekonomi.
    Tetapi optimisme ini akan dapat terwujud manakala etika dan perilaku pasar sudah berubah. Dalam Islam etika berperan penting dalam menciptakan utilitas atau kepuasan. Konsep Islam menyatakan bahwa kepuasan optimal akan tercipta manakala pihak lain sudah mencapai kepuasan atau hasil optimal yang diinginkan, yang juga diikuti dengan kepuasan yang dialami oleh kita. Islam sebenarnya memandang penting adanya distribusi, kemudian lahirlah zakat sebagai bentuk dari distribusi itu sendiri.
    Maka, sesungguhnya kerangka dasar dari ekonomi Islam didasari oleh tiga metodolodi dari Muhammad Anas Zarqa, yang kemudian dikombinasikan dengan efektivitas, distribusi, zakat serta penerapan konsepshuratic process (konsensus bersama) dalam setiap pelaksanaannya. Dari kerangka tersebut, insyaAllah ekonomi Islam dapat diterapkan dalam kehidupan nyata. Dan semua itu harus dibungkus oleh etika dari para pelakunya serta peningkatan kualitas sumber daya manusianya.
    PERBEDAAN EKONOMI ISLAM DAN EKONOMI KONVENSIONAL
    Dalam ekonomi konvensional, motif  aktifitas ekonomi mengarah kepada pemenuhan keinginan (wants) individu manusia yang tak terbatas dengan menggunakan factor-faktor produksi yang terbatas, akibatnya, masalah utamaekonomi konvensional adalah kelangkaan (scarcity) dan pilihan (choices).
    Dalam ekonomi konvensional, motif aktifitas ekonomi lebih diarahkan pada pemenuhan kebutuhan dasar (needs) yang tentu ada batasnya. Dengan demikian, ekonomi islam adalah ilmu yang mempelajari segala perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhanhidupnya denngan tujuan falah (kedamaian dan kesejahteraan dunia akhirat).
    Bila dilihat dari berbagai aspek inilah perbedaan antara ekonomi islam dengan ekonomi konvensional :


    PENUTUP
    Berdasarkan semua uraian sebelumnya, hanya asas (aqidah) ideologi Islamlah satu-satunya yang benar, sedangkan asas ideologi sosialisme dan kapitalisme adalah rusak. Asas ideologi Islam dibangun berdasarkan akal, amat berbeda dengan ideologi sosialisme dan kapitalisme yang tidak dibangun berlandaskan akal. Disamping itu, asas ideologi Islam sesuai dengan fitrah manusia, sehingga mudah diterima oleh manusia. Sedangkan asas ideologi sosialisme dan kapitalisme berlawanan dengan fitrah manusia.Kritik ini adalah kritik yang berdasarkan bukti rasional-faktual (dalil aqli). Disamping itu, kebatilan asas ideologi sosialisme dan kapitalisme juga dapat jugadidasarkan pada dalil naqli, yakni bahwa keduanya adalah ideologi kufur yang tidak didasarkan pada apa yang diturunkan Allah. Segala sesuatu pemikiran tentang kehidupan yang tidak didasarkan pada apa yang diturunkan Allah adalah kufur dan thaghut yang harus diingkari dan dihancurkan. Allah SWT berfirman :
    “Barangsiapa yang tidak memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan Allah,maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”
    (TQS Al Maaidah : 44)
    “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telahberiman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan sebelumkamu ? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahuntuk mengingkari thaghut itu…”
    : (TQS An Nisaa` : 60)


    No comments:

    Post a Comment

    Review Lengkap Notebook ASUS Vivobook S14 S433: Membawa Spirit Dare To Be You

    Review Lengkap Notebook ASUS Vivobook S14 S433: Membawa Spirit Dare To Be You Menjadi diri sendiri adalah salah satu kunci sukses menggapa...