Aspek operasional bank diklasifikasikan
pada manajemen operasional dan prinsip operasional.
Pada manajemen operasional, bank akan
dibagi pada bank dengan manajemen operasional bank umum (BU) dan bank
perkreditan/pembiayaan rakyat (BPR
Klasifikasi manajemen operasional secara
sederhana didasarkan pada core capital (modal inti) pada saat pertama
bank tersebut didirikan.[1]
Kategori bank umum jika suatu bank telah
memenuhi syarat core capital minimal Rp. 500.000.000,- (lima ratus miliar rupiah).
Sedangkan kategori BPR ditentukan jika core capital-nya minimal Rp. 1.000.000.000,-
(satu miliar rupiah). Ketentuan core capital bersifat tentatif dengan regulasi
dan perundang-undangan yang berlaku. Pernah core capital untuk pendirian bank
umum sebesar Rp. 1.000.000.000.000,- (satu trilyun rupiah).
Core capital merupakan modal inti atau
modal yang berasal dari para pemegang saham. Dana modal inti terdiri dari:
1.
Modal Disetor
Sumber dana ini berasal dari owner (pemilik) atau
pemegang saham individual atau kelompok yang tercantum dalam notaris dan telah
disetujui oleh Bank Indonesia. Sumber lainnya dapat melalui penjualan saham
atau penembahan dana lain dengan mengeluarkan atau menjual tambahan saham baru.
2.
Dana Cadangan
Berasal dari laba bank yang tidak dibagi untuk dana
taktis terhadap resiko kerugian.
3.
Laba Ditahan
Dividen atau keuntungan yang oleh para pemegang
saham dalam RUPS diputuskan untuk diinvestasikan kembali.
Dari ketiga unsur core capital di atas,
modal disetor merupakan bagian penting dalam proses pendirian bank untk menjadi
bank umum atau bank perkreditan.[2]
Setalah kategori bank terbentuk sebagai
bank umum atau bank perkreditan rakyat, maka bank tersebut pada awal pendirian
dapat diklasifikasikan lagi pada operasional yang berprinsip pada Bank
Konvensional (BK) atau prinsip Bank Syariah (BS).
Penekanan klasifikasi bank syariah
terletak pada prinsip operasional yang didasarkan pada spek syariah sebagaimana
yang telah diatur dalam undang-undang perbankan dan peraturan lainnya seperti Peraturan
Bank Indonesia (PBI) dan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
(DSN-MUI).
Prinsip operasional syariah yang lahir
dari pendiriannya, terdapat bank syariah dengan satu atap dari pusat sampai
cabang yang disebut Bank Umum Syariah (BUS).
Terdapat pula bank dengan prinsip
operasional syariah yang dikembangkan dari atap konvensional disebut Unit Usaha
Syari’ah (UUS), bank syariah yang merupakan dampak dari kebijakan double
windows system of banking dalam UU No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan.
Untuk
memperoleh izin usaha Bnak Syariah harus memenuhi persayatan sekurang-kurangnya
tentang:
a. Susunan organisasi dan kepengurusan;
b. Permodalan;
c. Kepemilikan;
d. Keahlian di bidang Perbankan Syariah; dan
e. Kelayakan usaha.
Bank
yang telah berjalan dengan prinsip konvemsional juga dapat dikonversi menjadi
syariah dengan syarat dan izin Bank Indonesia. Akan tetapi bank syariah tidak
boleh konversi menjadi konvensional.[3]
Setelah
lahir UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah maka secara alamiyah Unit
Usaha Syariah harus konversi atau spin-off.
Pasal
1 angka 12 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas disebutkan:
Spin-off atau pemisahan merupakan perbuatan hukum
yang dilakukan oleh perseroan untuk memisahkan usaha yang mengakibatkan seluruh
aktiva dan pasiva perseroan beralih karena hukum kepada dua perseroan atau
lebih atau sebagian aktiva dan pasiva perseroan beralih karena hukum kepada
satu perseroan atau lebih.
Untuk
memperkuat proses spin-of, beberapa pasal penting dalam UU No. 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah disebutkan:
Pasal
1 angka 32 disebutkan:
Pemisahan adalah pemisahan usaha dari satu Bank
menjadi dua usaha atau lebih, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 68 ayat 1:
Dalam hal Bank Umum Konvensional memiliki UUS yang
nilai asetnya telah mencapai paling sedikit 50% dari total ilai aset bank
induknya. Atau 15 tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini, maka Bank Umum
Konvensional dimaksud wajib melakukan pemisahan UUS tersebut menjadi Bank Umum
Syariah.[4]
Bank
indonesia juga menerbitkan peraturan yang menjelaskan tenatng pemisahan UUS
sari BUK dalam PBI No. 11/10/PBI/2009 tentang Unit Usaha Syariah, Pasal 1 angka
14 disebutkan:
Pemisahan usaha dari satu BUK (Bank Umum
Konvensional) menjadi dua badan usaha atau lebih dengan ketentuan
peundang-undangan yang berlaku.
Dalam
pasal 40 OBI No.11/10/PBI/2009 disebutkan:
UUS
wajib memisahkan UUS menjadi BUS apabila:
(a) Nilai aset UUS telah mencapai 50% dari total nilai
aset BUK induknya, atau
(b) Paling lambat 1 tahun sejak berlakunya Undang-undang
No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Setiap
kpnsekuensi bank yang menggunakan prinsip operasional syariah maka dalam
struktur organisasinya harus melibatkan Dewan Pengawas Syariah (DPS). Suatu
jabatan yang diisi oelh pakar di bidang Ekonomi Islam.
Dari
penjelasan perbankan nasional dalam aspek operasional, maka bank syariah
mempunyai kedudukan yang sama kuat dengan bank konvensional dari aspek struktur
dan syarat capital.[5]
No comments:
Post a Comment