kantongtangan.com: February 2018
  • Home
  • Tentang kantongtangan.com
  • Kumpulan Puisi
  • PERAN BANK INDONESIA DALAM STABILITAS KEUANGAN

    PERAN BANK INDONESIA DALAM STABILITAS KEUANGAN
    Sebagai otoritas moneter, perbankan dan sistem pembayaran, tugas utama Bank Indonesia tidak saja menjaga stabilitas moneter, namun juga stabilitas sistem keuangan (perbankan dan sistem pembayaran). Keberhasilan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas moneter tanpa diikuti oleh stabilitas sistem keuangan, tidak akan banyak artinya dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Stabilitas moneter dan stabilitas keuangan ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Kebijakan moneter memiliki dampak yang signifikan terhadap stabilitas keuangan begitu pula sebaliknya, stabilitas keuangan merupakan pilar yang mendasari efektivitas kebijakan moneter. Sistem keuangan merupakan salah satu alur transmisi kebijakan moneter, sehingga bila terjadi ketidakstabilan sistem keuangan maka transmisi kebijakan moneter tidak dapat berjalan secara normal. Sebaliknya, ketidakstabilan moneter secara fundamental akan mempengaruhi stabilitas sistem keuangan akibat tidak efektifnya fungsi sistem keuangan. Inilah yang menjadi latar belakang mengapa stabilitas sistem keuangan juga masih merupakan  tugas dan tanggung jawab Bank Indonesia.
    Pertanyaannya, bagaimana peranan Bank Indonesia dalam memelihara stabilitas sistem keuangan? Sebagai bank sentral, Bank Indonesia memiliki lima peran utama dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Kelima peran utama yang mencakup kebijakan dan instrumen dalam menjaga stabilitas sistem keuangan itu adalah:
    Pertama, Bank Indonesia memiliki tugas untuk menjaga stabilitas moneter antara lain melalui instrumen suku bunga dalam operasi pasar terbuka. Bank Indonesia dituntut untuk mampu menetapkan kebijakan moneter secara tepat dan berimbang. Hal ini mengingat gangguan stabilitas moneter memiliki dampak langsung terhadap berbagai aspek ekonomi.  Kebijakan moneter melalui penerapan suku bunga yang terlalu ketat, akan cenderung bersifat mematikan kegiatan ekonomi. Begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, untuk menciptakan stabilitas moneter, Bank Indonesia telah menerapkan suatu kebijakan yang disebut inflation targeting framework.
    Kedua, Bank Indonesia memiliki peran vital dalam menciptakan kinerja lembaga keuangan yang sehat, khususnya perbankan. Penciptaan kinerja lembaga perbankan seperti itu dilakukan melalui mekanisme pengawasan dan regulasi. Seperti halnya di negara-negara lain, sektor perbankan memiliki pangsa yang dominan dalam sistem keuangan. Oleh sebab itu, kegagalan di sektor ini dapat menimbulkan ketidakstabilan keuangan dan mengganggu perekonomian. Untuk mencegah terjadinya kegagalan tersebut, sistem pengawasan dan kebijakan perbankan yang efektif haruslah ditegakkan. Selain itu, disiplin pasar melalui kewenangan dalam pengawasan dan pembuat kebijakan serta penegakan hukum (law enforcement) harus dijalankan. Bukti yang ada menunjukkan bahwa negara-negara yang menerapkan disiplin pasar, memiliki stabilitas sistem keuangan yang kokoh. Sementara itu, upaya penegakan hukum (law enforcement) dimaksudkan untuk melindungi perbankan dan stakeholder serta sekaligus mendorong kepercayaan terhadap sistem keuangan. Untuk menciptakan stabilitas di sektor perbankan secara berkelanjutan, Bank Indonesia telah menyusun Arsitektur Perbankan Indonesia dan rencana implementasi Basel II.
    Ketiga, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Bila terjadi gagal bayar (failure to settle) pada salah satu peserta dalam sistem sistem pembayaran, maka akan timbul risiko potensial yang cukup serius dan mengganggu kelancaran sistem pembayaran. Kegagalan tersebut dapat menimbulkan risiko yang bersifat menular (contagion risk) sehingga menimbulkan gangguan yang bersifat sistemik. Bank Indonesia mengembangkan mekanisme dan pengaturan untuk mengurangi risiko dalam sistem pembayaran yang cenderung semakin meningkat. Antara lain dengan menerapkan sistem pembayaran yang  bersifat real time atau dikenal dengan nama sistem RTGS (Real Time Gross Settlement) yang dapat lebih meningkatkan keamanan dan kecepatan sistem pembayaran. Sebagai otoritas dalam sistem pembayaran, Bank Indonesia memiliki informasi dan keahlian untuk mengidentifikasi risiko potensial dalam sistem pembayaran.
    Keempat, melalui fungsinya dalam riset dan pemantauan, Bank Indonesia dapat mengakses informasi-informasi yang dinilai mengancam stabilitas keuangan. Melalui pemantauan secara macroprudential, Bank Indonesia dapat memonitor kerentanan sektor keuangan dan mendeteksi potensi kejutan (potential shock) yang berdampak pada stabilitas sistem keuangan. Melalui riset, Bank Indonesia dapat mengembangkan instrumen dan indikator macroprudential untuk mendeteksi kerentanan sektor keuangan. Hasil riset dan pemantauan tersebut, selanjutnya akan menjadi rekomendasi bagi otoritas terkait dalam mengambil langkah-langkah yang tepat untuk meredam gangguan dalam sektor keuangan.
    Kelima, Bank Indonesia memiliki fungsi sebagai jaring pengaman sistim keuangan  melalui fungsi bank sentral sebagailender of the last resort (LoLR). Fungsi LoLR merupakan peran tradisional Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam mengelola krisis guna menghindari terjadinya ketidakstabilan sistem keuangan. Fungsi sebagai LoLR mencakup penyediaan likuiditas pada kondisi normal maupun krisis. Fungsi ini hanya diberikan kepada bank yang menghadapi masalah likuiditas dan berpotensi memicu terjadinya krisis yang bersifat sistemik. Pada kondisi normal, fungsi LoLR dapat diterapkan pada bank yang mengalami kesulitan likuiditas temporer namun masih memiliki kemampuan untuk membayar kembali. Dalam menjalankan fungsinya sebagai LoLR,  Bank Indonesia harus menghindari terjadinya moral hazard. Oleh karena itu, pertimbangan risiko sistemik dan persyaratan yang ketat harus diterapkan dalam penyediaan likuiditas tersebut.


    Landasan Hukum Asuransi

    Landasan Hukum Asuransi
                1. Landasan Hukum Islam
                Di dalam Al-Qur’an tidak ada  satu ayat pun yang menyebutkan istilah asuransi, baikistilah “al-ta’min” maupun “al-takaful”. Akan tetapi dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang menjelaskan  tentang konsep  dan  praktik  dari asuransi. Seperti pada QS. Al-Hasyr: 18, yang artinya:
    “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah  setiap  diri memperhatikan apa yang dibuat untuk  hari  esok (masa depan). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”[1]
                Ayat  diatas menjelaskan bahwa Allah menanjurkan kepada umatnya untuk memperhatikan dan mempersiapkan masa depannya. Tujuan dari persiapan masa depan ini adalah untuk memproteksi diri sehingga seseorang tersebut akan lebih siap jika menghadapi musibah yang tidak pasti datangnya.[2]
    Sumber hukum yang kedua adalah hadis. Berikut ini merupakan hadis tentang anjuran meninggalkan ahli waris yang kaya:
    Diriwayatkan dari Amir binSa’ad bin Abi Waqasy, telah bersabda Rasulullah SAW: “Lebih baik jika engkau meninggalkan anak-anak kamu (ahli waris) dalam keadaan kaya raya, daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin (kelaparan) yang meminta-minta kepada manusia lainnya.” (HR. Bukhari)[3]
                2. Landasan Hukum Asuransi Syari’ah di Indonesia
                Dari segi hukum positif di Indonesia, asuransi syari’ah didasarkan pada Undang-Undang No.40 Tahun 2014 tentang perasuransian. Undang-undang tersebut berlaku pada asuransi konvensional dan asuransi syari’ah, walaupun di dalamnya belum menyebutkan secara jelas mengenai asuransi syari’ah.
    Pedoman untuk menjalankan asuransi syari’ah terdapat pada Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syari’ah, Fatwa tersebut dikeluarkan karena regualasi yang ada tidak dapat dijadikan pedoman untuk menjalankan kegiatan Asuransi Syari’ah.
                DSN-MUI juga telah mengeluarkan fatwa lain yang berkaitan dengan Asuransi Syari’ah, yaitu Fatwa No. 39/DSN-MUI/X/2002 tentang Asuransi Haji, Fatwa No. 51/DSN-MUI/III/2006 tentang Mudharabah Musytarakah pada Asuransi Syari’ah, dan Fatwa No. 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Tabarru’ pada Asuransi Syari’ah.
                Di samping Fatwa DSN, ketentuan mengenai asuransi syari’ah secara teknis juga telah diatur dalam beberapa Keputusan Menteri Keuangan, yaitu Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransidan Perusahaan Reasuransi, Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, dan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 426/KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
    Keputusan Menteri Keuangan No. 422/KMK.06/2003 tentang Pemeriksaan Perusahaan Perasuransian, Peraturan Menteri Keuangan No. 18/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Reasuransi dengan Prinsip Syari’ah, dan lain-lain. Dari peraturan perundang-undangan tersebut menunjukkan adanya kemajuan dalam regulasi yang mengatur tentang asuransi syari’ah.[4]
               




    [1]AbddulGhofurAnshori, AsuransiSyariah di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2007), hlm. 29-30
    [2]http://etheses.uin-malang.ac.id/1329/6/0822037_Bab_2.pdf
    [3]AbddulGhofurAnshori, AsuransiSyariah di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2007), hlm. 32
    [4]http://digilib.uin-suka.ac.id/17423/2/BAB%20II,%20III,%20IV.pdf

    Islam and the Development of Economic Thought

    Islam and the Development of Economic Thought

    A. Islam as a Living System.

    As a complement previous religions, Islam has a special Sharia, which is komprenhensif and universal. Komprenhensif means Islamic sharia encapsulate all aspects of life, while the universal meaning of Islamic sharia can be applied in every time and place.

    "And We sent thee not, but for (a) Mercy for all creatures" (Surat al-Anbiya: 107)

    B. Common Position and Influence on the Development of Islamic Science.

    In terms of Islam, Islam is the power of thought contained in the human spirit, the power of acquiring knowledge by observing the natural surroundings. As well as the Koran, Muhammad also puts teaching thinking and use Reason as a clear and unequivocal teachings. In hadistnya also mentioned to submit a variety of worldly affairs that are detailed and technical to the human mind. Both Nash showed that sense has a very important position and height of the teachings of Islam. In line with this Islam commands people to find and develop your knowledge il.
    \

    C. History of Economic Thought in Islam.

    Phase One (450/1058 M)

    The first phase is the phase of the beginning of the century to the 5th century AH or the 11th century BC, known as Phase Fundamentals of Islamic Economic Pioneered by Foqoha followed by later Sufi philosopher. The focus of fiqh is that which is revealed by the Shariah and in this context the fuqoha discuss economic phenomena. Their goal is not limited to a description and explanation of this phenomenon however, with reference to the Qur'an and the Hadith the Prophet as they explore the concept maslahah (Utility) and mafsadah (Disutility) related to economic activity. The thought that arises to what benefits terfokous something recommended and what disadvantages when implementing prohibited by religion. Exposure of the fuqoha the normative majority with positive insight when talking about behavior that is fair, good policy, and the limits allowed by the problems of the world.

    While kontibusi Sufism on economic thinking is the keajengannya in promoting mutually beneficial partnerships are not greedy in exploiting the opportunities presented Allah, and it continues to refuse placement of wealth the world demands that are too high. While Muslim philosophers to remain based on sharia in the overall thinking. Eminent Islamic economic thought in the first phase is. Represented by Zaid bin Ali (80 H/738 M), Abu Hanifah (150 H/767 M), Ubaid bi Sallam (224 H/838 AD), Ibn Maskawih (421 H/1030 M) and Al-Mawardi (450 H / 1058 AD). and Abu Yusuf (182 H/798 M).

    Thinking ideas ever created fuqoha and impact positive thinking include:

    Abu Yusuf (798 M) was the first economist who writes specifically about economic policy and his book Al-Kharaz describing the economic obligations of the government to meet its people's needs. Suggest a farming charity and oppose the tax, how to finance bridges, dams, and irrigation.

    The second phase (1058 AD-1446 AD)

    The second phase began in the 11th century until the 15th century AD is known as a brilliant stage for leaving a very rich intellectual heritage. Muslim scholars in the past able to develop concepts of how people carry out economic activities should be based on the Qur'an and the Hadith of the Prophet. At the same time the other side of their face political reality characterized by two things:

    * The disintegration of central authority and the division of the kingdom of Bani Abbasiyah into several regional powers that the majority are based on strength (power) rather than the will of the people.
    * Rampant corruption among the rulers accompanied by moral decadence among the public which resulted in the widening inequality between the rich and the poor.

    At this time terbantang Islamic territory from Morocco to Spain in the West to the East India has given birth to various centers of intellectual activity.

    Eminent Islamic economic thinkers in this phase is represented by:

    Al-Ghazali (d. 505 H/1111 M), Ibn Taymiyya (d. 728/1328 CE), Al-Syatibi (d. 790 H/1388 M), Ibn Khaldun (he can be considered a pioneer and author of the classic trading fisiokrat such as, for example, Adam Smith, and Neo classical writers such as Keynes), and Al-Maqirizi (845 H/1441 M).

    His ideas of Al-Ghazali explains the functions of money in the economy long before the birth of Adam Smith 700 years before the father of conventional economics to write his book The Wealth of Nations.
    Third Fese 1446 M-1932 M

    The third phase began in 1446 to 1932 AD is the closing phase ointu ijtihad (Independent Judgment) that resulted in this phase is known as Phase stagnation. In this phase the fuqoha just write notes of his predecessors and issue fatwas in accordance with the standard rules for maing respective schools. However, there is a movement of reformers over the last two centuries that calls for a return to the teachings of the Qur'an and the Hadith of Prophet Muhammad SAW as a source of life guidance.

    Eminent Islamic Economic Thinkers in this phase are:

    Shah Wali Allah (d. 1176 H/1762 M), Jamaluddin Al-Afgani (d. 1315 H/1897 M), Muhammad Abduh (d. 1320 H/1905 M) and Muhammad Iqbal (d. 1357 H/1938 M ).




    SISDUR DAN OPERASIONAL BUS

    SISDUR DAN OPERASIONAL BUS
    Aspek operasional bank diklasifikasikan pada manajemen operasional dan prinsip operasional.
    Pada manajemen operasional, bank akan dibagi pada bank dengan manajemen operasional bank umum (BU) dan bank perkreditan/pembiayaan rakyat (BPR
    Klasifikasi manajemen operasional secara sederhana didasarkan pada core capital (modal inti) pada saat pertama bank tersebut didirikan.[1]
    Kategori bank umum jika suatu bank telah memenuhi syarat core capital minimal Rp. 500.000.000,- (lima ratus miliar rupiah). Sedangkan kategori BPR ditentukan jika core capital-nya minimal Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah). Ketentuan core capital bersifat tentatif dengan regulasi dan perundang-undangan yang berlaku. Pernah core capital untuk pendirian bank umum sebesar Rp. 1.000.000.000.000,- (satu trilyun rupiah).
    Core capital merupakan modal inti atau modal yang berasal dari para pemegang saham. Dana modal inti terdiri dari:
    1.      Modal Disetor
    Sumber dana ini berasal dari owner (pemilik) atau pemegang saham individual atau kelompok yang tercantum dalam notaris dan telah disetujui oleh Bank Indonesia. Sumber lainnya dapat melalui penjualan saham atau penembahan dana lain dengan mengeluarkan atau menjual tambahan saham baru.
    2.      Dana Cadangan
    Berasal dari laba bank yang tidak dibagi untuk dana taktis terhadap resiko kerugian.
    3.      Laba Ditahan
    Dividen atau keuntungan yang oleh para pemegang saham dalam RUPS diputuskan untuk diinvestasikan kembali.
    Dari ketiga unsur core capital di atas, modal disetor merupakan bagian penting dalam proses pendirian bank untk menjadi bank umum atau bank perkreditan.[2]
    Setalah kategori bank terbentuk sebagai bank umum atau bank perkreditan rakyat, maka bank tersebut pada awal pendirian dapat diklasifikasikan lagi pada operasional yang berprinsip pada Bank Konvensional (BK) atau prinsip Bank Syariah (BS).
    Penekanan klasifikasi bank syariah terletak pada prinsip operasional yang didasarkan pada spek syariah sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang perbankan dan peraturan lainnya seperti Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).
    Prinsip operasional syariah yang lahir dari pendiriannya, terdapat bank syariah dengan satu atap dari pusat sampai cabang yang disebut Bank Umum Syariah (BUS).
    Terdapat pula bank dengan prinsip operasional syariah yang dikembangkan dari atap konvensional disebut Unit Usaha Syari’ah (UUS), bank syariah yang merupakan dampak dari kebijakan double windows system of banking dalam UU No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan.
    Untuk memperoleh izin usaha Bnak Syariah harus memenuhi persayatan sekurang-kurangnya tentang:
    a.       Susunan organisasi dan kepengurusan;
    b.      Permodalan;
    c.       Kepemilikan;
    d.      Keahlian di bidang Perbankan Syariah; dan
    e.       Kelayakan usaha.

    Bank yang telah berjalan dengan prinsip konvemsional juga dapat dikonversi menjadi syariah dengan syarat dan izin Bank Indonesia. Akan tetapi bank syariah tidak boleh konversi menjadi konvensional.[3]

    Setelah lahir UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah maka secara alamiyah Unit Usaha Syariah harus konversi atau spin-off.
    Pasal 1 angka 12 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas disebutkan:

    Spin-off atau pemisahan merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh perseroan untuk memisahkan usaha yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva perseroan beralih karena hukum kepada dua perseroan atau lebih atau sebagian aktiva dan pasiva perseroan beralih karena hukum kepada satu perseroan atau lebih.

    Untuk memperkuat proses spin-of, beberapa pasal penting dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah disebutkan:
    Pasal 1 angka 32 disebutkan:
    Pemisahan adalah pemisahan usaha dari satu Bank menjadi dua usaha atau lebih, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Pasal 68 ayat 1:
    Dalam hal Bank Umum Konvensional memiliki UUS yang nilai asetnya telah mencapai paling sedikit 50% dari total ilai aset bank induknya. Atau 15 tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini, maka Bank Umum Konvensional dimaksud wajib melakukan pemisahan UUS tersebut menjadi Bank Umum Syariah.[4]

    Bank indonesia juga menerbitkan peraturan yang menjelaskan tenatng pemisahan UUS sari BUK dalam PBI No. 11/10/PBI/2009 tentang Unit Usaha Syariah, Pasal 1 angka 14 disebutkan:
    Pemisahan usaha dari satu BUK (Bank Umum Konvensional) menjadi dua badan usaha atau lebih dengan ketentuan peundang-undangan yang berlaku.

    Dalam pasal 40 OBI No.11/10/PBI/2009 disebutkan:
    UUS wajib memisahkan UUS menjadi BUS apabila:
    (a)    Nilai aset UUS telah mencapai 50% dari total nilai aset BUK induknya, atau
    (b)   Paling lambat 1 tahun sejak berlakunya Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

    Setiap kpnsekuensi bank yang menggunakan prinsip operasional syariah maka dalam struktur organisasinya harus melibatkan Dewan Pengawas Syariah (DPS). Suatu jabatan yang diisi oelh pakar di bidang Ekonomi Islam.
    Dari penjelasan perbankan nasional dalam aspek operasional, maka bank syariah mempunyai kedudukan yang sama kuat dengan bank konvensional dari aspek struktur dan syarat capital.[5]




    [1] Ahmad Dahlan, Bank Syariah Teoritik, Praktik, Kritik(Yogyakarta: Teras, 2012). Hlm. 75.
    [2] Ibid, hlm. 76.
    [3] Ibid. Hlm. 77,
    [4] Ibid. Hlm. 78
    [5] Ibid. Hlm. 79.

    Apa Pengertian dari Zakat, Infaq, shadaqah, dan Wakaf? Apa Perbedaan diantaranya?

    Apa Pengertian dari Zakat, Infaq, shadaqah, dan Wakaf? Apa Perbedaan diantaranya?
    Zakat berasal dari bentukan kata zaka yang berarti suci, baik, berkah, tumbuh, dan berkembang (Mu’jam Wasith, I:398). Menurut terminologi syariat (istilah), zakat adalah nama bagi sejumlah harta tertentu yang telah mencapai syarat tertentu yang diwajibkan oleh Allah SWT untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula (Kifayatul Akhyar I: 1/2).
    Kaitan antara makna secara bahasa dan istilah ini berkaitan erat sekali, yaitu bahwa setiap harta yang sudah dikelarkan zakatnya akan menjadi suci, bersih, baik, berkah, tumbuh, dan berkembang (QS. At-Taubah: 103 dan Ar-Rum: 39).

    Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan apabila telah memenuhi syarat–syarat yang telah ditentukan oleh agama, dan disalurkan kepada orang–orang yang telah ditentukan pula, yaitu delapan golongan yang berhak menerima zakat sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 60: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

    Adapun persyaratan harta yang wajib dizakatkan itu, antara lain sebagai berikut :
    · Pertama, al-milk at-tam yang berarti harta itu dikuasai secara penuh dan dimiliki secara sah, yang didapat dari usaha, bekerja, warisan, atau pemberian yang sah, dimungkinkan untuk dipergunakan, diambil manfaatnya, atau kemudian disimpan. Rasulullah bersabda bahwa Allah SWT tidak akan menerima zakat atau sedekah dari harta yang ghulul (didapatkan dengan cara yang batil).
    · Kedua, an-namaa adalah harta yang berkembang jika diusahakan atau memiliki potensi untuk berkembang, misalnya harta perdagangan, peternakan, pertanian, deposito, mudharabah, usaha bersama, obligasi, dan lain sebagainya.
    · Ketiga, telah mencapai nisab, harta itu telah mencapai ukuran tertentu. Misalnya, untuk hasil pertanian telah mencapai jumlah 653 Kg gabah, emas atau perak telah senilai 85 gram, perdagangan telah mencapai nilai 85 gram emas, peternakan sapi telah mencapai 30 ekor, dan sebagainya.
    · Keempat, telah melebihi kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan minimal yang diperlukan seseorang dan keluarganya yang menjadi tanggungannya untuk kelangsungan hidupnya.
    · Kelima, telah mencapai satu tahun (haul) untuk harta-harta tertentu, misalnya perdagangan. Akan tetapi, untuk tanaman dikeluarkan zakatnya pada saat memanennya (lihat QS Al-An’am:141).

    Zakat mempunyai beberapa makna :
    Pertama, zakat bermakna At-Thohuru,
    yang artinya membersihkan atau mensucikan. Makna ini menegaskan bahwa orang yang selalu menunaikan zakat karena Allah dan bukan karena ingin dipuji manusia, Allah akan membersihkan dan mensucikan baik hartanya maupun jiwanya. Allah SWT berfirman dalam surat At-Taubah ayat 103: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendo'alah untuk mereka. Sesungguhnya do'a kamu itu ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
    Kedua, zakat bermakna Al-Barakatu,
    yang artinya berkah. Makna ini menegaskan bahwa orang yang selalu membayar zakat, hartanya akan selalu dilimpahkan keberkahan oleh Allah SWT, kemudian keberkahan harta ini akan berdampak kepada keberkahan hidup. Keberkahan ini lahir karena harta yang kita gunakan adalah harta yang suci dan bersih, sebab harta kita telah dibersihkan dari kotoran dengan menunaikan zakat yang hakekatnya zakat itu sendiri berfungsi untuk membersihkan dan mensucikan harta.
    Ketiga, zakat bermakna An-Numuw,
    yang artinya tumbuh dan berkembang. Makna ini menegaskan bahwa orang yang selalu menunaikan zakat, hartanya (dengan izin Allah) akan selalu terus tumbuh dan berkembang. Hal ini disebabkan oleh kesucian dan keberkahan harta yang telah ditunaikan kewajiban zakatnya. Tentu kita tidak pernah mendengar orang yang selalu menunaikan zakat dengan ikhlas karena Allah, kemudian banyak mengalami masalah dalam harta dan usahanya, baik itu kebangkrutan, kehancuran, kerugian usaha, dan lain sebagainya. Tentu kita tidak pernah mendengar hal seperti itu, yang ada bahkan sebaliknya.
    Allah SWT berfirman dalam surat Ar-Rum ayat 39 : “Dan sesuatu riba yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipat gandakan.”
    Dalam ayat ini Allah berfirman tentang zakat yang sebelumnya didahului dengan firman tentang riba. Dengan ayat ini Allah Maha Pemberi Rizki menegaskan bahwa riba tidak akan pernah melipatgandakan harta manusia, yang sebenarnya dapat melipatgandakannya adalah dengan menunaikan zakat.
    Keempat, zakat bermakna As-Sholahu,
    yang artinya beres atau keberesan,
    yaitu bahwa orang orang yang selalu menunaikan zakat, hartanya akan selalu beres dan jauh dari masalah. Orang yang dalam hartanya selalu ditimpa musibah atau masalah, misalnya kebangkrutan, kecurian, kerampokan, hilang, dan lain sebagainya boleh jadi karena mereka selalu melalaikan zakat yang merupakan kewajiban mereka dan hak fakir miskin beserta golongan lainnya yang telah Allah sebutkan dalam Al Qur’an.

    Suatu harta dikenakan wajib zakat apabila memenuhi syarat-syarat berikut :
    · Apabila harta itu menjadi miliknya secara penuh, bukan sebagai pinjaman,titipan ataupun gadai
    · Apabila harta itu diinvestasikan (dikembangkan) atau memungkinkan untuk diinvestasikan seperti uang, emas, perak atau surat-surat berharga.
    · Apabila harta itu mencapai nishab zakat (batas minimal kena zakat). Nishab emas, perak, uang, harta bisnis atau yang menyerupainya adalah setara 85 gram (dari emas murni dan 24 karat). Nishab zakat tanaman dan buah-buahan adalah 5 Ausaq (setara 652 kg). Adapun nisab ternak adalah tergantung jenis hewannya (Unta dan sejenisnya: 5 ekor, Sapi dan sejenisnya: 30 ekor, domba dan sejenisnya: 40 ekor).
    · Apabila harta tersebut merupakan kelebihan (net income) dari kebutuhan pemilik harta dan orang-orang yang ditanggungnya (seperti anak, istri dan orang tua yang bergantung pada pemilik harta tersebut) selama setahun. Yang dimaksud kebutuhan disini adalah kebutuhan primer yang harus dipenuhi oleh manusia untuk mempertahankan hidupnya secara layak tanpa berlebihan dan pemborosan.
    · Apabila harta tersebut terbebas dari hutang. Apabila harta tersebut mempunyai beban hutang maka kewajiban zakatnya dikenakan setelah dipotong beban hutang.
    · Apabila harta tersebut dimilikinya selama satu tahun Hijriyah (Haul). Apabila kurang dari itu atau pada saat mencapai satu tahun hartanya berkurang dan tidak mencapai nishab maka ia tidak dikenakan kewajiban zakat. Dan dikecualikan dari kewajiban syarat Haul adalah harta pertanian, buah-buahan dan rikaz (harta karun), pada harta tersebut diwajiban zakat pada saat panen atau menemukannya.
    · Apabila harta itu diperoleh dengan cara halal dan baik karena Allah tidak menerima harta yang diperoleh dengan cara haram. Adapun harta yang diperoleh dengan haram maka itu harus dikembalikan kepada pemiliknya dan apabila tidak tahu maka sebaiknya diinfaqkan pada fasilitas milik ummah/umum tanpa memberi tahu statusnya. Dan itu bukan zakat tapi mengembalikan hak orang lain kepada pemilik haknya.
    · Dari syarat-syarat tadi jelaslah harta mana saja yang harus dikeluarkan zakatnya dan harta mana yang tidak dikenakan kewajiban zakat.

    Tentang Zakat Profesi,
    Adapun dasar hukum zakat profesi adalah sebagai berikut:
    Para ulama berbeda pendapat tentang dasar hukum zakat profesi, ada yang mengatakan bahwa dasar hukumnya adalah mal mustafad (pendapatan dari hasil kerja), dan ada pula yang mengatakan bahwa dasar hukumnya adalah qiyas (dianalogikan) kepada zakat pertanian dan buah-buahan.
    Tapi pendapat yang pertama adalah lebih tepat karena lebih sesuai dengan realita dengan dalil-dalil sebagai berikut :
    · Firman Allah: “ Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian yang baik-baik dari hasil usahamu dan hasil-hasil yang kami keluarkan dari bumi” QS. Albaqoroh: 267.
    · Hikmah zakat dimana zakat itu diwajibkan pada orang kaya sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits: “ zakat itu diambil dari orang kayanya dan dibagikan kepada orang miskinnya” HR. Bukhory dan Muslim.
    · Apakah dalam mal mustafad diperlukan syarat haul?
    · Para ulama juga berbeda pendapat tentang hal ini tapi pendapat yang paling kuat adalah tidak perlunya haul tapi cukup syarat nishab. Artinya bahwa harta itu dikenakan zakat saat kita menerimanya dengan syarat bila mencapai nishab.
    · Ukuran nishabnya: menurut pendapat yang paling kuat adalah sama dengan zakatnya uang yaitu 85 gram (dari emas murni dan jenis 24 karat).
    · Rate (jumlah) zakat yang harus dikeluarkan dari zakat profesi adalah 2,5% dari harta yang sudah mencapai nishab dalam pendapat yang paling masyhur.

    Cara mengeluarkannya, kapan waktu mengeluarkan zakat?
    Khalifah Utsman bin Affan menyarankan mengeluarkan zakat setiap bulan Islam yaitu setiap bulan Muharram. Namun, jumhur ulama tidak membatasi waktu mengeluarkan zakat terserah mulai bulan apa saja. Bahkan jumhur ulama menjelaskan boleh kita mengeluarkan zakat tersebut sekaligus setahun sekali atau dengan perbulan sekali (jika dikhawatirkan dapat menyulitkan dan memberatkan saat mengeluarkan zakat) terserah yang dipilih adalah apakah yang tidak memberatkan atau mau sekaligus. Yang jelas, jika ditotal setahun besar zakat yang dikeluarkan akan sama dengan perbulan yang dicicil.
    Bulanan: bagi mereka yang mempunyai gaji besar dan mencapai nishab maka dibolehkan untuk mengeluarkannya setiap bulan setelah dipotong kebutuhan primer.
    Tahunan: bagi mereka yang mempunyai gaji kecil (tidak mencapai nishab dengan hitungan bulanan) dianjurkan untuk menjumlahkannya dalam waktu setahun kemudian dikurangi kebutuhan primernya selama setahun, maka apabila harta tersebut masih tersisa dan mencapai nishab maka dia wajib mengeluarkan zakat 2.5%.

    Bolehkan membayarkan zakat pada kerabat?
    Para ulama sepakat bahwa zakat tidak boleh diberikan kepada orang yang menjadi tanggungan nafaqahnya seperti istri, anak, dan orang tua yang menjadi tanggungan anaknya dan sebaliknya bahwa seorang istri boleh memberikan zakatnya pada suaminya yang miskin karena suami itu bukan tanggungjawab istrinya. Tapi para ulama berbeda pendapat tentang memberi zakat pada keluarga atau kerabat. Pendapat yang paling kuat adalah apabila keluarga/kerabat itu diluar tanggung jawabnya maka mereka boleh mendapatkan zakat bahkan dianjurkan sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits :
    “Memberi zakat pada orang misikin itu adalah sodaqoh, adapun memberi zakat kepada kerabat miskin adalah sodaqoh dan perekat silarurahmi” HR. Ahmad.


    Infaq,
    berasal dari kata anfaqa yang berarti ’mengeluarkan sesuatu (harta) untuk kepentingan sesuatu’. Termasuk ke dalam pengertian ini, infak yang dikeluarkan orang-orang kafir untuk kepentingan agamanya (lihat QS Al-Anfal:36). Sedangkan menurut terminologi syariat, infak berarti mengeluarkan sebagian dari harta atau pendapatan/penghasilan untuk suatu kepentingan yang diperintahkan ajaran Islam.

    Jika zakat ada nisabnya, infaq tidak mengenal nisab. Infaq dikeluarkan oleh setiap orang yang beriman, baik yang berpenghasilan tinggi maupun rendah, apakah ia di saat lapang maupun sempit (QS. Ali Imran:134). Jika zakat harus diberikan kepada mustahik tertentu (8 asnaf) maka infaq boleh diberikan kepada siapapun juga, misalnya untuk kedua orang tua, anak yatim, dan sebagainya (QS. Al-Baqarah:215).


    Shadaqah,
    berasal dari kata shadaqa yang berarti ’benar’. Orang yang suka bersedekah adalah orang yang benar pengakuan imannya. Menurut terminologi syariat, pengertian sedekah sama dengan pengertian infak, termasuk juga hukum dan ketentuan-ketentuannya. Hanya saja, jika infaq berkaitan dengan materi, sedekah memiliki arti lebih luas menyangkut hal yang bersifal non materiil. Hadits riwayat Imam Muslim dari Abu Dzar, Rasullullah menyatakan bahwa jika tidak mampu bersedekah dengan harta maka membaca tasbih, membaca takbir, tahmid, tahlil, berhubungan suami-istri, dan melakukan kegiatan amar ma’ruf nahi munkar adalah sedekah.
    Seringkali kata-kata sedekah dipergunakan dalam Alquran, tetapi maksud sesungguhnya adalah zakat, misalnya firman Allah dalam QS. At-Taubah:60 dan 103.
    Yang perlu diperhatikan, jika seseorang telah berzakat tetapi masih memiliki kelebihan harta, sangat dianjurkan untuk berinfaq atau bersedekah. Berinfak adalah ciri utama orang yang bertaqwa (QS. Al-Baqarah:3 dan Al-Imran:134), ciri mukmin yang sungguh-sungguh imannya (QS Al-Anfal: 3-4), ciri mukmin yang mengharapkan keuntungan abadi (QS. Al-Faathir:29). Berinfak akan melipat gandakan pahala di sisi Allah (QS. Al-Baqarah:262). Sebaliknya, tidak mau berinfak sama dengan menjatuhkan diri pada kerugian/kebinasaan (QS. Al-Baqarah:195).


    Wakaf Tunai (Wakaf Produktif),
    Beternak Angsa Bertelur Emas
    Wakaf tunai memiliki potensi cukup besar dalam mendorong perkembangan perekonomian masyarakat. Namun, saat ini sebagian besar masyarakat hanya memahami berwakaf hanya bisa dilakukan dengan dana besar. Padahal wakaf dapat dilakukan dengan dana relatif kecil.
    Wakaf adalah sedekah khusus dan istimewa, karena memberi anda pahala abadi. Secara khusus Rasulullah SAW menyatakannya sebagai satu dari tiga amal yang tak putus pahalanya karena kematian, yaitu “ilmu pengetahuan yang dimanfaatkan, anak-anak yang saleh, dan sedekah jariah.” Ini juga bermakna bahwa Rasul SAW mendorong kita agar menyisihkan harta demi keberlanjutan Islam dan menopang keberlangsungan umat yang masih hidup di dunia.

    Dalam hadits yang lain, secara lebih khusus, Rasulullah SAW memberi panduan tentang sedekah jariah ini, yakni dengan cara “menahan pokok dan mengalirkan hasilnya”. Karakteristik wakaf karenanya adalah keswadayaan, keberlanjutan, dan kemaslahatan untuk umum. Untuk memperoleh pahala yang abadi, maka manfaat yang dapat diambil dari wakaf harus lestari. Mengelola wakaf dapat dilukiskan sebagai “beternak angsa yang bertelur emas”.

    Aset wakaf haruslah berputar, berfungsi produktif, hingga menghasilkan surplus yang terus dapat dialirkan tanpa mengurangi modalnya. Atau ketika barang modal itu susut, atau habis terpakai, dapat diperbarui kembali dari hasil surplus tersebut. Ibarat sang angsa yang bertelur emas, kita bisa selalu memanfaatkan telur-telur emasnya, tanpa menyembelih induknya.

    Dengan pemahaman akan amal jariah di atas kami akan mengalokasikan wakaf anda dalam Program Wakaf Tunai yang produktif. Wakaf tunai anda akan kami produktifkan dalam berbagai kegiatan usaha peternakan dan Pertanian.
    Selanjutnya, Surplus yang dihasilkan dari proses produksi dan perdagangan inilah yang kemudian dimanfaatkan untuk beragam layanan sosial (pembiayaan pesantren, pengelolaan masjid, dan lain sebagainya).





    Review Lengkap Notebook ASUS Vivobook S14 S433: Membawa Spirit Dare To Be You

    Review Lengkap Notebook ASUS Vivobook S14 S433: Membawa Spirit Dare To Be You Menjadi diri sendiri adalah salah satu kunci sukses menggapa...