Landasan Hukum Asuransi
1. Landasan Hukum
Islam
Di dalam Al-Qur’an
tidak ada satu ayat pun yang menyebutkan
istilah asuransi, baikistilah “al-ta’min” maupun “al-takaful”.
Akan tetapi dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang menjelaskan tentang konsep dan praktik dari asuransi. Seperti pada QS. Al-Hasyr: 18,
yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap
diri memperhatikan apa yang dibuat untuk
hari esok (masa depan). Dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”[1]
Ayat diatas menjelaskan bahwa Allah menanjurkan kepada
umatnya untuk memperhatikan dan mempersiapkan masa depannya. Tujuan dari persiapan
masa depan ini adalah untuk memproteksi diri sehingga seseorang tersebut akan lebih
siap jika menghadapi musibah yang tidak pasti datangnya.[2]
Sumber hukum
yang kedua adalah hadis. Berikut ini merupakan hadis tentang anjuran meninggalkan
ahli waris yang kaya:
Diriwayatkan dari
Amir binSa’ad bin Abi Waqasy, telah bersabda Rasulullah SAW: “Lebih baik jika engkau
meninggalkan anak-anak kamu (ahli waris) dalam keadaan kaya raya, daripada meninggalkan
mereka dalam keadaan miskin (kelaparan) yang meminta-minta kepada manusia lainnya.”
(HR. Bukhari)[3]
2. Landasan Hukum Asuransi
Syari’ah di Indonesia
Dari segi hukum positif
di Indonesia, asuransi syari’ah didasarkan pada Undang-Undang No.40 Tahun 2014
tentang perasuransian. Undang-undang tersebut berlaku pada asuransi konvensional
dan asuransi syari’ah, walaupun di dalamnya belum menyebutkan secara jelas mengenai
asuransi syari’ah.
Pedoman untuk menjalankan
asuransi syari’ah terdapat pada Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama
Indonesia (DSN-MUI) No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syari’ah,
Fatwa tersebut dikeluarkan karena regualasi yang ada tidak dapat dijadikan pedoman
untuk menjalankan kegiatan Asuransi Syari’ah.
DSN-MUI juga telah
mengeluarkan fatwa lain yang berkaitan dengan Asuransi Syari’ah, yaitu Fatwa
No. 39/DSN-MUI/X/2002 tentang Asuransi Haji, Fatwa No. 51/DSN-MUI/III/2006
tentang Mudharabah Musytarakah pada Asuransi Syari’ah, dan Fatwa No.
53/DSN-MUI/III/2006 tentang Tabarru’ pada Asuransi Syari’ah.
Di samping Fatwa
DSN, ketentuan mengenai asuransi syari’ah secara teknis juga telah diatur dalam
beberapa Keputusan Menteri Keuangan, yaitu Keputusan Menteri Keuangan Republik
Indonesia No. 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan
Asuransidan Perusahaan Reasuransi, Keputusan Menteri Keuangan Republik
Indonesia No. 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi, dan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.
426/KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi.
Keputusan Menteri Keuangan No. 422/KMK.06/2003 tentang Pemeriksaan
Perusahaan Perasuransian, Peraturan Menteri Keuangan No. 18/PMK.010/2010
tentang Penerapan Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Reasuransi dengan
Prinsip Syari’ah, dan lain-lain. Dari peraturan perundang-undangan tersebut menunjukkan
adanya kemajuan dalam regulasi yang mengatur tentang asuransi syari’ah.[4]
[1]AbddulGhofurAnshori,
AsuransiSyariah di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2007), hlm.
29-30
[2]http://etheses.uin-malang.ac.id/1329/6/0822037_Bab_2.pdf
[3]AbddulGhofurAnshori,
AsuransiSyariah di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2007), hlm. 32
[4]http://digilib.uin-suka.ac.id/17423/2/BAB%20II,%20III,%20IV.pdf
No comments:
Post a Comment