BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Manusia
sebagai hamba Allah swt adalah satu-satunya makhluk yang paling istimewa
diantara semua makhluk-Nya yang lain. Disamping dikaruniai akal dan pikiran,
manusia ternyata adalah makhluk yang penuh dengan misteri dan rahasia-rahasia
yang menarik untuk dikaji.
Misteri
itu justru sengaja dibuat Allah swt. Agar manusia memiliki rasa antusias yang
tinggi untuk menguak dan mendalami keberadaan dirinya sebagai ciptaan Allah swt,
untuk kemudian mengenali siapa pencipta-Nya.
Dalam
kaitanya dengan hal tersebut, ada seorang filusuf yang sangat mendewakan akal
dalam menghadapi setiap kehidupan yang ada di hadapannya. Dia dikenal dengan
nama “ Al-Razi “.
Untuk
itu, makalah ini secara sistematis akan membahas tentang al-Razi.
1.2Rumusan Masalah
1.
Siapa sebenarnya ar-Razi?
2.
Apa saja karya-karya ar-Razi?
3.
Bagaimana pemikiran ar-Razi mengenai
filsafat Lima Kekal, Agama dan Rasio?
1.3
Tujuan
1.
Untuk mengetahui biografi ar-Razi
2.
Untuk mengetahui apa saja karya-karya
Al-Razi
3.
Untuk mempelajari pandangan serta
pemikiran Al-Razi mengenai:
a. Filsafat
Lima Kekal
b. Agama
dan Rasio
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Biografi Al-Razi
Nama
lengkap Al-Razi adalah Abu Bakar Muhammad ibnu Zakaria ibnu Yahya Al-Razi.
Dalam wacana keilmuan barat dikenal dengan sebutan Rhazes. Ia dilahirkan di
Rayy, sebuah kota tua yang dulu bernama Rhogee, dekat Teheran, Republik Islam
Iran pada tanggal 1 Sya’ban 251 M/865 M.[1]
Pada
masa mudanya ia pernah menjadi tukang intan, penukar uang, dan pemain kecapi.
Kemudian, ia menaruh perhatian yang besar terhadap ilmu kimia dan
meninggalkannya setelah matanya terserang penyakit akibat eksperimen-eksperimen
yang dilakukannya. Setelah itu ia beralih mendalami ilmu kedokteran dan
filsafat.[2]
Al-Razi
terkenal sebagi seorang dokter yang dermawan, penyayang kepada pasien-pasiennya,
karena itu ia sering memberikan pengobatan cuma-cuma kepada orang-orang miskin.
Karena reputasinya dibidang kedokteran ini, Al-Razi pernah diangkat menjadi
kepala rumah sakit Rayy selama enam tahun pada masa pemerintahan Gubernur
Al-Mansur ibnu Ishaq. Kemudian ia pindah ke Baghdad dan memimpin rumah sakit di
sana pada masa pemarintahan Khalifah Al-Muktafi.[3]
Setelah Al-Muktafi meninggal, ia kembali ke kota kelahirannya, kemudian ia
berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri lainnya dan meninggal dunia pada
tanggal 5 Sya’ban 313H/27 Oktober 925 dalam usia 60 tahun.[4]
Informasi
yang dikemukakan al-Qifti dan Usaibi’ah sulit dipercaya. Menurutnya Al-Razi
belajar ilmu kedokteran kepada ‘Ali ibn Rabban Ath-Thabari, seorang dokter dan
filosof. Padahal ar-Razi lahir 10 tahun setelah Ali ibn Rabban Al-thabari
meninggal dunia. Menurut Al-Nadim yang benar adalah ar-Razi belajar filsafat
kepada Al-Balkhi, menguasai filsafat dan ilmu-ilmu kuno.[5]
2.2 Karya-Karya Ar-Razi
Ar-Razi
termasuk seorang filosof yang rajin belajar dan menulis sehingga ia banyak
menghasilkan karya tulis. Dalam autobiografinya pernah ia katakan, bahwa ia
telah menulis tidak kurang dari 200buah karya tulis dalam berbagai ilmu
pengetahuan.[6]
Karya
tulisnya dalam bidang kimia yang terkenal ialah kitab Al-Asraryang
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Geard fo Cremon. Dalam bidang medis
karyanya yang terbesar adalah al-Hawiyang merupakan ensiklopedia ilmu
kedokteran, di terjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan judul Continensyang
tersebar luas dan menjadi buku pegangan utama di kalangan kedokteran Eropa
sampai abad ke 17 M.[7]
Bukunya
dibidang kedokteran ialah al-Mansuri Liber al-Mansoris 10 jilid di salin
kedalam berbagai bahasa barat sampai akhir abad XV M. Kitab al-Judar wa
al-Hasbah tulisannya yang berisikan analisis tentang penyakit cacar dan campak
beserta pencegahanya, di terjemahkan kedalam berbagai bahasa barat dan terakhir
ke dalam bahasa inggris tahun 1847 M, dan di anggap buku wajib ilmu kedokteran
barat. Kemudian, buku-bukunya yang lain ialah al-Thibb al-Ruhani, al-Sirah
al-Falsafiah, dan lainya. Sebagian karya tulisnya telah di kumpulkan menjadi
satu kitab yang bernama al-Rasa’il Falsafiyyat.
Amat
disayangkan karya tulis al-Razi lebih banyak yang hilang dari pada yang masih
ada sehingga sulit mencantumkan nama buku dan isinya satu persatu.\
2.3 Filsafat Al-Razi
1.
Metafisika
Filsafat Al-Razi terkenal dengan
ajarannya “Lima yang Kekal” ( five Co-eternal principles/ al-mabadi’
al-Qadimah al-Khamsah ) yaitu:
a. al-Bary
Ta’ala (Allah Ta’ala),
b. al-Nafs
al-Kulliyat (Jiwa Universal),
c. al-Hayula al-Ula (Materi Pertama),
d. al-Makan al-Muthlaq (Tempat/Ruang Absolut) dan
e. al-Zaman al-Muthlaq (Masa Absolut).
Menurut Al-Razi dua dari lima kekal
itu hidup dan aktif: Allah dan Jiwa/Roh Universal. Satu diantaranya tidak hidup
dan pasif, yakni materi. Dua lainnya tidak hidup, tidak aktif, dan tidak pula
pasif, yakni ruang dan masa.[8]
a)
al-Bary
Ta’ala (Allah Ta’ala)
Menurut Al-Razi Allah maha pencipta
dan Pengatur seluruh alam ini. Alam diciptakan oleh Allah bukan dari tidak ada
(creatio ex nihilo), tetapi dari bahan yang telah ada. Oleh karena itu,
menurutnya alam semesta tidak kadim, baharu, meskipun materi asalnya kadim,
sebab penciptaan di sini dalam arti disusun dari bahan yang telah ada.[9]
Penciptaan dari tiada, bagi Al-Razi, tidak dapat dipertahankan secara logis.
Pasalnya, dari satu sisi bahan alam yang tersusun dari tanah, udara, air, api,
dan benda-benda langit berasal dari materi pertama yang telah ada sejak azali.
Pada sisi lain, jika Allah menciptakan alam dari tiada, tentu ia terikat pada
penciptaan segala sesuatu dari tiada karena hal ini merupakan modus perbuatan
yang paling sederhana dan cepat. Namun kenyataannya, penciptaan seperti itu
suatu hal yang tidak mungkin.[10].
b)
al-Nafs
al-Kulliyat (Jiwa Universal)
Jiwa Universal merupakan al-Mabda’
al-qadim al-sany (sumber kekal yang kedua). Padanya terdapat daya hidup dan
bergerak, sulit diketahui karena ia tanpa rupa tetapi karena ia dikuasai naluri
untuk bersatu dengan al-hayula al-ula (materi pertama), terjadilah pada zatnya
rupa yang dapat menerima fisik. Sementara itu, materi pertama tanpa fisik,
Allah datang menolong roh dengan menciptakan alam semesta termasuk tubuh
manusia yang ditempati roh.
Begitu pula dengan akal, ia
merupakan limpahan dari Allah. Tujuan penciptaannya untuk menyadarkan jiwa yang
terlena dalam fisik manusia, bahwa tubuh itu bukanlah tempat yang sebenarnya,
bukan tempat kebahagiaan dan tempat abadi. Kesenangan dan kebahagiaan
sebenarnya adalah melepaskan diri dari materi dengan filsafat.[11]
c)
al-Hayula
al-Ula (Materi Pertama)
Materi pertama menurut Al-Razi
adalah substansi yang kekal yang terdiri dari atom-atom. Setiap atom memiliki
volume. Tanpa volume, pengumpulan atom-atom tidak bisa menjadi suatu yang
berbentuk. Bila bumi dihancurkan maka ia juga terpisah-pisah dalam bentuk
atom-atom. Materi yang padat menjadi substansi bumi, yang lebih renggang dari
unsur bumi menjadi unsur air, yang lebih renggang lagi udara, dan yang
terrenggang api.[12]
Al-Razi berargumen penciptaan untuk
bukti kekalnya materi, yaitu bahwa tindakan materi yang sedang dalam
pembentukan, mensyaratkan adanya seseorang pencipta yang mendahuluinya dan
adanya sebuah substrantum atau materi dimana tindakan itu berlangsung. Jadi,
jika penciptaan itu kekal, maka materi yang dikenai oleh kekuatan pencipta itu
juga kekal sebelum ia dikenai kekuatan tersebut.
Manusia
tidak akan mencapai dunia hakiki ini, kecuali dengan filsafat. Mereka yang
mempelajari filsafat dan mengetahui dunia hakiki dan memperoleh pengetahuan
akan selamat dari keadaan buruknya. Ruh-ruh ini akan tetap berada di dunia
sampai ia disadarkan oleh filsafat akan rahasia dirinya kemudian akan diarahkan
keepada dunia hakiki. Melalui filsafat manusia dapat memperoleh dunia yang
sebenarnya, dunia sejati
atau dunia hakiki.[13]
d)
al-Makan
al-Muthlaq (Tempat/Ruang Absolut)
Ruang dibedakan menjadi dua macam,
yaitu: ruang particular (al-makan al-juz’i) dan ruang universal(al-makan
al-kully).
Ruang particular
terbatas dan terikat dengan sesuatu wujud yang menempatinya
Sedangakan ruang
universal tidak terikat dengan maujud dan tidak terbatas.
e)
al-Zaman
al-Muthlaq (Masa Absolut)
Zaman
absolute tidak aktif dan tidak pasif. Zaman dibagi menjadi dua, yaitu:
relatif/terbatas (al-waqt) dan zaman universal (ad-dahr).
2. Akal dan Agama
Corak
Pemikaran Ar-Razi adalah rasionalis elektis. Rasional artinya ia selau mencari
kebenaran dengan pangkal tolak kekuatan akal dan elektis artinya selektif.[14]
Hal ini tampak dalam halaman pendahuluan karyanya, al-Thib al-Ruhani, ia
menulis : ” Tuhan segala puji bagi-Nya, yang telah memberi kita akal agar
denganya kita dapat memperoleh sebanyak-banyaknya manfaat, inilah karunia
terbaik Tuhan kepada kita. Dengan akal kita dapat melihat yang berguna untuk
kita dan yang membuat hidup kita baik, dengan akal kita dapat mengetahui yang
gelap, yang jauh, dan yang tersembunyi dari kita. Dengan akal pula kita dapat
mengetahui tentang Tuhan, suatu pengetahuan tertinggi yang dapat kita peroleh.
Jika akal sedemikian mulia dan penting maka kita tidak boleh melecehkannya,
kita tidak boleh menentukannya, sebab dia adalah penentu, atau mengendalikanya
sebab dia adalah pengendali, atau memerintahkannya sebab dia adalah pemerintah,
tetapi kita harus merujuk kepadanya dalam segala hal dan menentukan masalah
dengannya, serta kita harus sesuai dengan perintahnya.[15]
Menurut
Ar-Razi kita hendaknya mengembalikan segala urusan kepada akal, merubahnya
dengan berpatokan kepadanya, bersandar kepadanya dalam segalanya. Kita juga
harus menjalankan segala urusan sesuai ketentuannya, dan berhenti karena
arahnya. Kita tidak boleh mengikuti hawa nafsu dan meninggalkan akal. Karena
nafsu adalah ancaman baginya yang mengeruhkan kejernihan, memalingkannya dari
jalan, cinta, tujuan dan konsistensinya.[16]
Ar-Razi
tidak percaya kepada Nabi-Nabi, sebab Nabi itu hanyalah pembawa kehancuran bagi
manusia, ajaran Nabi-Nabi itu saling bertentangan, pertentangan itu akan
membawa kehancuran manusia.[17]
Menurutnya
para Nabi tidak berhak mengklim bahwa dirinya memiliki keistimewaan khusus,
baik fikiran maupun rohani, karena semua orang itu adalah sama dan keadilan
tuhan serta hikmah-Nya mengharuskanya untuk tidak membedakanya antara seorang
dengan yang lainnya. Lebih lanjut ia mengatakan bahwasanya tidaklah masuk akal
bahwa tuhan mengutus para Nabi padahal mereka tidak luput dari pada kesalahan
dan kekliruan. Setiap kaum hanya percaya kepada Nabinya dan tidak percaya
kepada Nabi kaum lain. Dan akibat dari inilah banyak terjadi konflik,
peperangan dan kebencian antara bangasa karena kefanatikan kepada agama bangsa
yang dianutnya.[18]
Begitu juga dengan wahyu yang didakwahkan oleh para Nabi kebenrannya tidaklah
benar adanya. Al-Qur’an dengan gaya bahasanya bukanlah mu’jizat bagi Nabi
Muhammad ia hanya sebagai buku biasa. Nikmat akal lebihlah konkrit dari wahyu
oleh sebab itu membaca buku-buku filsafat dan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya
lebih berarti dari pada membaca buku-buku agama. Keberlangsungan agama hanyalah
berasal dari tradisi, dari kepentingan para ulama yang diperalat oleh negara,
dan dari upacara-upacara yang menyilaukan mata orang bodoh.
Tidak
mengherankan kalau pandangan hidup Ar-Razi membangkitkan banyak perlawanan
dalam lingkaran tradisonal. Keahliannya dalam bidang kedokteran dipuja akan
tetapi filsafatnya pada umumnya dicela disebabkan banyak mengandung kufurat.
Tatkala diakhir hayatnya Ar-Razi mengalami kebutaan maka dikatakan bahwa itu
adalah azab dan murka dari Allah karena anggapan liarnya. Karyanya juga sudah
mendapatkan kecaman semasa dia hidup. Krtikan paling pedas terhadap karyanya
adalah seorang ulama yang sebangsa dengannya juga yakni Abu Hatim Ar-Razi (933)
dalam a’lam annubuwat. Berkat dari kritikan itu maka ajaran Ar-Razi dapat
diketahui, karena tulisan aslinya telah musnah.[19]
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Al-Razi adalah pemikir bebas non-kompromis, yang justru
lebih menonjol dikenal di bidang kedokteran daripada filsafat, karena karyanya
al-Hawi
Perhatian
utama filsafatnya adalah jiwa universal, yang menjadi titik sentral-logis
penjelasannya tentang kejadian dunia dan adanya Sang Pencipta. Bahkan pada sisi
ini al-Razi menawarkan teori berani dan orisinal tentang jiwa
Konsepsi filsafatnya yang paling
menonjol, dan karena-nya menjadi ajaran pokok, adalah prinsip lima yang kekal,
sebagai tengara keplatonikannya. Tetapi, prinsipnya bahwa dunia diciptakan
dalam waktu dan bersifat sementara, membedakannya dari konsep Plato yang
mempercayai bahwa dunia diciptakan dan bersifat (dalam waktu) abadi. Keduanya
bertemu dalam keabadian jiwa dan Pencipta, sebagai pernyataan aksiomatik
Sementara konsepnya tentang moral
terbreakdown oleh konsep “transmigrasi jiwa”nya. Dengan konsep moral ini
al-Razi bermaksud memuliakan hewan-hewan buas untuk diangkat ke tempat yang
lebih baik, dengan cara membu
Kemudian, konsepnya mengenai
kenabian dan agama, berintikan penolakan kepada para Nabi dan sakralisasi
kepada akal. Konsep ini merupakan bukti keberaniannya sehingga dikenal sebagai
pemikir bebas non-kompromis.
Keseluruhan konsep yang ditawarkan
al-Razi memperlihatkan bahwa dia adalah seorang ateis sekaligus monoteis; dua
titik berlawanan yang menyatu secara unik-pelik.
Dalam peta filsafat dunia Islam, ciri platonik al-Razi membedakannya dari
al-Kindi yang Arestotelik dan al-Farabi yang Neo-Platonik (mendamaikan filsafat
antara Aristoteles dan Plato). Selain itu, konsep “lima kekal” al-Razi yang
telah memberikan solusi dalam persoalan penciptaan dunia merupakan jasa yang
berharga, tidak saja bagi para filosof sejak Plato, akan tetapi juga para
filosof Islam setelahnya. Bagi filosof Islam sesudahnya, al-Razi telah membuka
jalan bagi mereka untuk mengembangkan persoalan proses penciptaan dunia.
DAFTAR PUSTAKA
M.M.Syarif, (Ed)., The History of Muslim
Philosophy, (New York: Dovers Publications, 1967), hlm. 434. Dalam Prof.
Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A.
M. Mahdi Allam, Da’irat al-ma’arif
al-islamiyyat, Juz. IX, ( kairo: tt.),hlm.451.
Al-Razi, Rasa’il falsafiyyat,
(Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidat, 1982), hlm.109.
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat
Islam, Terj. R. Mulyadhi Kartanegara, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), Cet.
1, hlm.151. Lihat juga Harun Nasution,op.cit.,
hlm. 17.
Abu Bakar Al-Razi, al-Thibb
al-Ruhani, Tahkik ‘Abd Al-Lathif
Al-Ghaid, (Kairo: Maktabat al-Nahdat al-Mishriyyat, 1978), hlm. 12.
Madjid Fakhry, op.cit., hlm.
157
Al-Razi, Rasa’il op.cit., hlm.284.
Ibn Muhammad Zakariya al-Razi,
Al-Thib al-Puhani, ‘Abd al-Lathif al-Ghaid (ed) (Kairo: Maktabag al-Nahdah
al-Mishriyyah, 1978). Hlm.11.
Drs. H. A. Mustofa, Op.Cit, hal 20
Misla Muhammad Amien, Epistimologi
Islam, Jakarta: UIP, hal.46
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam,
Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet III, hal.26
Dr. Ismail Asy-Syarafa, Op.Cit, hal.
107
Yusril Ali, Op.Cit, hal. 35
Hasymsyah Nasution, Op.Cit, hal. 27
JMW. Bakker SY, Sejarah Filsafat
Dalam Islam, Yogyakarta: Penerbit
[9]
Abu Bakar Al-Razi, al-Thibb al-Ruhani, Tahkik ‘Abd Al-Lathif Al-Ghaid, (Kairo: Maktabat al-Nahdat
al-Mishriyyat, 1978), hlm. 12. Sebenarnya pendapat Al-Razi tentang alam semesta
tidak berbeda dengan Al-Farabi dan Ibnu Sina. Di sini hanya perbedaan semantik,
yang oleh Al-Razi materi pertama kadim, dan alam semesta yang disusun dari materi
asal itu baharu, tidak kadim. Sementara itu, oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina hal
seperti itu disebut kadim.
[12]Ibn
Muhammad Zakariya al-Razi, Al-Thib al-Puhani, ‘Abd al-Lathif al-Ghaid (ed)
(Kairo: Maktabag al-Nahdah al-Mishriyyah, 1978). Hlm.11.
[19]
JMW. Bakker SY, Sejarah Filsafat Dalam Islam, Yogyakarta: Penerbit Yayasan
Kanisus, Cet I, hal 43-44BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Manusia
sebagai hamba Allah swt adalah satu-satunya makhluk yang paling istimewa
diantara semua makhluk-Nya yang lain. Disamping dikaruniai akal dan pikiran,
manusia ternyata adalah makhluk yang penuh dengan misteri dan rahasia-rahasia
yang menarik untuk dikaji.
Misteri
itu justru sengaja dibuat Allah swt. Agar manusia memiliki rasa antusias yang
tinggi untuk menguak dan mendalami keberadaan dirinya sebagai ciptaan Allah swt,
untuk kemudian mengenali siapa pencipta-Nya.
Dalam
kaitanya dengan hal tersebut, ada seorang filusuf yang sangat mendewakan akal
dalam menghadapi setiap kehidupan yang ada di hadapannya. Dia dikenal dengan
nama “ Al-Razi “.
Untuk
itu, makalah ini secara sistematis akan membahas tentang al-Razi.
1.2Rumusan Masalah
1.
Siapa sebenarnya ar-Razi?
2.
Apa saja karya-karya ar-Razi?
3.
Bagaimana pemikiran ar-Razi mengenai
filsafat Lima Kekal, Agama dan Rasio?
1.3
Tujuan
1.
Untuk mengetahui biografi ar-Razi
2.
Untuk mengetahui apa saja karya-karya
Al-Razi
3.
Untuk mempelajari pandangan serta
pemikiran Al-Razi mengenai:
a. Filsafat
Lima Kekal
b. Agama
dan Rasio
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Biografi Al-Razi
Nama
lengkap Al-Razi adalah Abu Bakar Muhammad ibnu Zakaria ibnu Yahya Al-Razi.
Dalam wacana keilmuan barat dikenal dengan sebutan Rhazes. Ia dilahirkan di
Rayy, sebuah kota tua yang dulu bernama Rhogee, dekat Teheran, Republik Islam
Iran pada tanggal 1 Sya’ban 251 M/865 M.[1]
Pada
masa mudanya ia pernah menjadi tukang intan, penukar uang, dan pemain kecapi.
Kemudian, ia menaruh perhatian yang besar terhadap ilmu kimia dan
meninggalkannya setelah matanya terserang penyakit akibat eksperimen-eksperimen
yang dilakukannya. Setelah itu ia beralih mendalami ilmu kedokteran dan
filsafat.[2]
Al-Razi
terkenal sebagi seorang dokter yang dermawan, penyayang kepada pasien-pasiennya,
karena itu ia sering memberikan pengobatan cuma-cuma kepada orang-orang miskin.
Karena reputasinya dibidang kedokteran ini, Al-Razi pernah diangkat menjadi
kepala rumah sakit Rayy selama enam tahun pada masa pemerintahan Gubernur
Al-Mansur ibnu Ishaq. Kemudian ia pindah ke Baghdad dan memimpin rumah sakit di
sana pada masa pemarintahan Khalifah Al-Muktafi.[3]
Setelah Al-Muktafi meninggal, ia kembali ke kota kelahirannya, kemudian ia
berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri lainnya dan meninggal dunia pada
tanggal 5 Sya’ban 313H/27 Oktober 925 dalam usia 60 tahun.[4]
Informasi
yang dikemukakan al-Qifti dan Usaibi’ah sulit dipercaya. Menurutnya Al-Razi
belajar ilmu kedokteran kepada ‘Ali ibn Rabban Ath-Thabari, seorang dokter dan
filosof. Padahal ar-Razi lahir 10 tahun setelah Ali ibn Rabban Al-thabari
meninggal dunia. Menurut Al-Nadim yang benar adalah ar-Razi belajar filsafat
kepada Al-Balkhi, menguasai filsafat dan ilmu-ilmu kuno.[5]
2.2 Karya-Karya Ar-Razi
Ar-Razi
termasuk seorang filosof yang rajin belajar dan menulis sehingga ia banyak
menghasilkan karya tulis. Dalam autobiografinya pernah ia katakan, bahwa ia
telah menulis tidak kurang dari 200buah karya tulis dalam berbagai ilmu
pengetahuan.[6]
Karya
tulisnya dalam bidang kimia yang terkenal ialah kitab Al-Asraryang
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Geard fo Cremon. Dalam bidang medis
karyanya yang terbesar adalah al-Hawiyang merupakan ensiklopedia ilmu
kedokteran, di terjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan judul Continensyang
tersebar luas dan menjadi buku pegangan utama di kalangan kedokteran Eropa
sampai abad ke 17 M.[7]
Bukunya
dibidang kedokteran ialah al-Mansuri Liber al-Mansoris 10 jilid di salin
kedalam berbagai bahasa barat sampai akhir abad XV M. Kitab al-Judar wa
al-Hasbah tulisannya yang berisikan analisis tentang penyakit cacar dan campak
beserta pencegahanya, di terjemahkan kedalam berbagai bahasa barat dan terakhir
ke dalam bahasa inggris tahun 1847 M, dan di anggap buku wajib ilmu kedokteran
barat. Kemudian, buku-bukunya yang lain ialah al-Thibb al-Ruhani, al-Sirah
al-Falsafiah, dan lainya. Sebagian karya tulisnya telah di kumpulkan menjadi
satu kitab yang bernama al-Rasa’il Falsafiyyat.
Amat
disayangkan karya tulis al-Razi lebih banyak yang hilang dari pada yang masih
ada sehingga sulit mencantumkan nama buku dan isinya satu persatu.\
2.3 Filsafat Al-Razi
1.
Metafisika
Filsafat Al-Razi terkenal dengan
ajarannya “Lima yang Kekal” ( five Co-eternal principles/ al-mabadi’
al-Qadimah al-Khamsah ) yaitu:
a. al-Bary
Ta’ala (Allah Ta’ala),
b. al-Nafs
al-Kulliyat (Jiwa Universal),
c. al-Hayula al-Ula (Materi Pertama),
d. al-Makan al-Muthlaq (Tempat/Ruang Absolut) dan
e. al-Zaman al-Muthlaq (Masa Absolut).
Menurut Al-Razi dua dari lima kekal
itu hidup dan aktif: Allah dan Jiwa/Roh Universal. Satu diantaranya tidak hidup
dan pasif, yakni materi. Dua lainnya tidak hidup, tidak aktif, dan tidak pula
pasif, yakni ruang dan masa.[8]
a)
al-Bary
Ta’ala (Allah Ta’ala)
Menurut Al-Razi Allah maha pencipta
dan Pengatur seluruh alam ini. Alam diciptakan oleh Allah bukan dari tidak ada
(creatio ex nihilo), tetapi dari bahan yang telah ada. Oleh karena itu,
menurutnya alam semesta tidak kadim, baharu, meskipun materi asalnya kadim,
sebab penciptaan di sini dalam arti disusun dari bahan yang telah ada.[9]
Penciptaan dari tiada, bagi Al-Razi, tidak dapat dipertahankan secara logis.
Pasalnya, dari satu sisi bahan alam yang tersusun dari tanah, udara, air, api,
dan benda-benda langit berasal dari materi pertama yang telah ada sejak azali.
Pada sisi lain, jika Allah menciptakan alam dari tiada, tentu ia terikat pada
penciptaan segala sesuatu dari tiada karena hal ini merupakan modus perbuatan
yang paling sederhana dan cepat. Namun kenyataannya, penciptaan seperti itu
suatu hal yang tidak mungkin.[10].
b)
al-Nafs
al-Kulliyat (Jiwa Universal)
Jiwa Universal merupakan al-Mabda’
al-qadim al-sany (sumber kekal yang kedua). Padanya terdapat daya hidup dan
bergerak, sulit diketahui karena ia tanpa rupa tetapi karena ia dikuasai naluri
untuk bersatu dengan al-hayula al-ula (materi pertama), terjadilah pada zatnya
rupa yang dapat menerima fisik. Sementara itu, materi pertama tanpa fisik,
Allah datang menolong roh dengan menciptakan alam semesta termasuk tubuh
manusia yang ditempati roh.
Begitu pula dengan akal, ia
merupakan limpahan dari Allah. Tujuan penciptaannya untuk menyadarkan jiwa yang
terlena dalam fisik manusia, bahwa tubuh itu bukanlah tempat yang sebenarnya,
bukan tempat kebahagiaan dan tempat abadi. Kesenangan dan kebahagiaan
sebenarnya adalah melepaskan diri dari materi dengan filsafat.[11]
c)
al-Hayula
al-Ula (Materi Pertama)
Materi pertama menurut Al-Razi
adalah substansi yang kekal yang terdiri dari atom-atom. Setiap atom memiliki
volume. Tanpa volume, pengumpulan atom-atom tidak bisa menjadi suatu yang
berbentuk. Bila bumi dihancurkan maka ia juga terpisah-pisah dalam bentuk
atom-atom. Materi yang padat menjadi substansi bumi, yang lebih renggang dari
unsur bumi menjadi unsur air, yang lebih renggang lagi udara, dan yang
terrenggang api.[12]
Al-Razi berargumen penciptaan untuk
bukti kekalnya materi, yaitu bahwa tindakan materi yang sedang dalam
pembentukan, mensyaratkan adanya seseorang pencipta yang mendahuluinya dan
adanya sebuah substrantum atau materi dimana tindakan itu berlangsung. Jadi,
jika penciptaan itu kekal, maka materi yang dikenai oleh kekuatan pencipta itu
juga kekal sebelum ia dikenai kekuatan tersebut.
Manusia
tidak akan mencapai dunia hakiki ini, kecuali dengan filsafat. Mereka yang
mempelajari filsafat dan mengetahui dunia hakiki dan memperoleh pengetahuan
akan selamat dari keadaan buruknya. Ruh-ruh ini akan tetap berada di dunia
sampai ia disadarkan oleh filsafat akan rahasia dirinya kemudian akan diarahkan
keepada dunia hakiki. Melalui filsafat manusia dapat memperoleh dunia yang
sebenarnya, dunia sejati
atau dunia hakiki.[13]
d)
al-Makan
al-Muthlaq (Tempat/Ruang Absolut)
Ruang dibedakan menjadi dua macam,
yaitu: ruang particular (al-makan al-juz’i) dan ruang universal(al-makan
al-kully).
Ruang particular
terbatas dan terikat dengan sesuatu wujud yang menempatinya
Sedangakan ruang
universal tidak terikat dengan maujud dan tidak terbatas.
e)
al-Zaman
al-Muthlaq (Masa Absolut)
Zaman
absolute tidak aktif dan tidak pasif. Zaman dibagi menjadi dua, yaitu:
relatif/terbatas (al-waqt) dan zaman universal (ad-dahr).
2. Akal dan Agama
Corak
Pemikaran Ar-Razi adalah rasionalis elektis. Rasional artinya ia selau mencari
kebenaran dengan pangkal tolak kekuatan akal dan elektis artinya selektif.[14]
Hal ini tampak dalam halaman pendahuluan karyanya, al-Thib al-Ruhani, ia
menulis : ” Tuhan segala puji bagi-Nya, yang telah memberi kita akal agar
denganya kita dapat memperoleh sebanyak-banyaknya manfaat, inilah karunia
terbaik Tuhan kepada kita. Dengan akal kita dapat melihat yang berguna untuk
kita dan yang membuat hidup kita baik, dengan akal kita dapat mengetahui yang
gelap, yang jauh, dan yang tersembunyi dari kita. Dengan akal pula kita dapat
mengetahui tentang Tuhan, suatu pengetahuan tertinggi yang dapat kita peroleh.
Jika akal sedemikian mulia dan penting maka kita tidak boleh melecehkannya,
kita tidak boleh menentukannya, sebab dia adalah penentu, atau mengendalikanya
sebab dia adalah pengendali, atau memerintahkannya sebab dia adalah pemerintah,
tetapi kita harus merujuk kepadanya dalam segala hal dan menentukan masalah
dengannya, serta kita harus sesuai dengan perintahnya.[15]
Menurut
Ar-Razi kita hendaknya mengembalikan segala urusan kepada akal, merubahnya
dengan berpatokan kepadanya, bersandar kepadanya dalam segalanya. Kita juga
harus menjalankan segala urusan sesuai ketentuannya, dan berhenti karena
arahnya. Kita tidak boleh mengikuti hawa nafsu dan meninggalkan akal. Karena
nafsu adalah ancaman baginya yang mengeruhkan kejernihan, memalingkannya dari
jalan, cinta, tujuan dan konsistensinya.[16]
Ar-Razi
tidak percaya kepada Nabi-Nabi, sebab Nabi itu hanyalah pembawa kehancuran bagi
manusia, ajaran Nabi-Nabi itu saling bertentangan, pertentangan itu akan
membawa kehancuran manusia.[17]
Menurutnya
para Nabi tidak berhak mengklim bahwa dirinya memiliki keistimewaan khusus,
baik fikiran maupun rohani, karena semua orang itu adalah sama dan keadilan
tuhan serta hikmah-Nya mengharuskanya untuk tidak membedakanya antara seorang
dengan yang lainnya. Lebih lanjut ia mengatakan bahwasanya tidaklah masuk akal
bahwa tuhan mengutus para Nabi padahal mereka tidak luput dari pada kesalahan
dan kekliruan. Setiap kaum hanya percaya kepada Nabinya dan tidak percaya
kepada Nabi kaum lain. Dan akibat dari inilah banyak terjadi konflik,
peperangan dan kebencian antara bangasa karena kefanatikan kepada agama bangsa
yang dianutnya.[18]
Begitu juga dengan wahyu yang didakwahkan oleh para Nabi kebenrannya tidaklah
benar adanya. Al-Qur’an dengan gaya bahasanya bukanlah mu’jizat bagi Nabi
Muhammad ia hanya sebagai buku biasa. Nikmat akal lebihlah konkrit dari wahyu
oleh sebab itu membaca buku-buku filsafat dan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya
lebih berarti dari pada membaca buku-buku agama. Keberlangsungan agama hanyalah
berasal dari tradisi, dari kepentingan para ulama yang diperalat oleh negara,
dan dari upacara-upacara yang menyilaukan mata orang bodoh.
Tidak
mengherankan kalau pandangan hidup Ar-Razi membangkitkan banyak perlawanan
dalam lingkaran tradisonal. Keahliannya dalam bidang kedokteran dipuja akan
tetapi filsafatnya pada umumnya dicela disebabkan banyak mengandung kufurat.
Tatkala diakhir hayatnya Ar-Razi mengalami kebutaan maka dikatakan bahwa itu
adalah azab dan murka dari Allah karena anggapan liarnya. Karyanya juga sudah
mendapatkan kecaman semasa dia hidup. Krtikan paling pedas terhadap karyanya
adalah seorang ulama yang sebangsa dengannya juga yakni Abu Hatim Ar-Razi (933)
dalam a’lam annubuwat. Berkat dari kritikan itu maka ajaran Ar-Razi dapat
diketahui, karena tulisan aslinya telah musnah.[19]
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Al-Razi adalah pemikir bebas non-kompromis, yang justru
lebih menonjol dikenal di bidang kedokteran daripada filsafat, karena karyanya
al-Hawi
Perhatian
utama filsafatnya adalah jiwa universal, yang menjadi titik sentral-logis
penjelasannya tentang kejadian dunia dan adanya Sang Pencipta. Bahkan pada sisi
ini al-Razi menawarkan teori berani dan orisinal tentang jiwa
Konsepsi filsafatnya yang paling
menonjol, dan karena-nya menjadi ajaran pokok, adalah prinsip lima yang kekal,
sebagai tengara keplatonikannya. Tetapi, prinsipnya bahwa dunia diciptakan
dalam waktu dan bersifat sementara, membedakannya dari konsep Plato yang
mempercayai bahwa dunia diciptakan dan bersifat (dalam waktu) abadi. Keduanya
bertemu dalam keabadian jiwa dan Pencipta, sebagai pernyataan aksiomatik
Sementara konsepnya tentang moral
terbreakdown oleh konsep “transmigrasi jiwa”nya. Dengan konsep moral ini
al-Razi bermaksud memuliakan hewan-hewan buas untuk diangkat ke tempat yang
lebih baik, dengan cara membu
Kemudian, konsepnya mengenai
kenabian dan agama, berintikan penolakan kepada para Nabi dan sakralisasi
kepada akal. Konsep ini merupakan bukti keberaniannya sehingga dikenal sebagai
pemikir bebas non-kompromis.
Keseluruhan konsep yang ditawarkan
al-Razi memperlihatkan bahwa dia adalah seorang ateis sekaligus monoteis; dua
titik berlawanan yang menyatu secara unik-pelik.
Dalam peta filsafat dunia Islam, ciri platonik al-Razi membedakannya dari
al-Kindi yang Arestotelik dan al-Farabi yang Neo-Platonik (mendamaikan filsafat
antara Aristoteles dan Plato). Selain itu, konsep “lima kekal” al-Razi yang
telah memberikan solusi dalam persoalan penciptaan dunia merupakan jasa yang
berharga, tidak saja bagi para filosof sejak Plato, akan tetapi juga para
filosof Islam setelahnya. Bagi filosof Islam sesudahnya, al-Razi telah membuka
jalan bagi mereka untuk mengembangkan persoalan proses penciptaan dunia.
DAFTAR PUSTAKA
M.M.Syarif, (Ed)., The History of Muslim
Philosophy, (New York: Dovers Publications, 1967), hlm. 434. Dalam Prof.
Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A.
M. Mahdi Allam, Da’irat al-ma’arif
al-islamiyyat, Juz. IX, ( kairo: tt.),hlm.451.
Al-Razi, Rasa’il falsafiyyat,
(Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidat, 1982), hlm.109.
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat
Islam, Terj. R. Mulyadhi Kartanegara, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), Cet.
1, hlm.151. Lihat juga Harun Nasution,op.cit.,
hlm. 17.
Abu Bakar Al-Razi, al-Thibb
al-Ruhani, Tahkik ‘Abd Al-Lathif
Al-Ghaid, (Kairo: Maktabat al-Nahdat al-Mishriyyat, 1978), hlm. 12.
Madjid Fakhry, op.cit., hlm.
157
Al-Razi, Rasa’il op.cit., hlm.284.
Ibn Muhammad Zakariya al-Razi,
Al-Thib al-Puhani, ‘Abd al-Lathif al-Ghaid (ed) (Kairo: Maktabag al-Nahdah
al-Mishriyyah, 1978). Hlm.11.
Drs. H. A. Mustofa, Op.Cit, hal 20
Misla Muhammad Amien, Epistimologi
Islam, Jakarta: UIP, hal.46
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam,
Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet III, hal.26
Dr. Ismail Asy-Syarafa, Op.Cit, hal.
107
Yusril Ali, Op.Cit, hal. 35
Hasymsyah Nasution, Op.Cit, hal. 27
JMW. Bakker SY, Sejarah Filsafat
Dalam Islam, Yogyakarta: Penerbit
[9]
Abu Bakar Al-Razi, al-Thibb al-Ruhani, Tahkik ‘Abd Al-Lathif Al-Ghaid, (Kairo: Maktabat al-Nahdat
al-Mishriyyat, 1978), hlm. 12. Sebenarnya pendapat Al-Razi tentang alam semesta
tidak berbeda dengan Al-Farabi dan Ibnu Sina. Di sini hanya perbedaan semantik,
yang oleh Al-Razi materi pertama kadim, dan alam semesta yang disusun dari materi
asal itu baharu, tidak kadim. Sementara itu, oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina hal
seperti itu disebut kadim.
[12]Ibn
Muhammad Zakariya al-Razi, Al-Thib al-Puhani, ‘Abd al-Lathif al-Ghaid (ed)
(Kairo: Maktabag al-Nahdah al-Mishriyyah, 1978). Hlm.11.
[19]
JMW. Bakker SY, Sejarah Filsafat Dalam Islam, Yogyakarta: Penerbit Yayasan
Kanisus, Cet I, hal 43-44BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Manusia
sebagai hamba Allah swt adalah satu-satunya makhluk yang paling istimewa
diantara semua makhluk-Nya yang lain. Disamping dikaruniai akal dan pikiran,
manusia ternyata adalah makhluk yang penuh dengan misteri dan rahasia-rahasia
yang menarik untuk dikaji.
Misteri
itu justru sengaja dibuat Allah swt. Agar manusia memiliki rasa antusias yang
tinggi untuk menguak dan mendalami keberadaan dirinya sebagai ciptaan Allah swt,
untuk kemudian mengenali siapa pencipta-Nya.
Dalam
kaitanya dengan hal tersebut, ada seorang filusuf yang sangat mendewakan akal
dalam menghadapi setiap kehidupan yang ada di hadapannya. Dia dikenal dengan
nama “ Al-Razi “.
Untuk
itu, makalah ini secara sistematis akan membahas tentang al-Razi.
1.2Rumusan Masalah
1.
Siapa sebenarnya ar-Razi?
2.
Apa saja karya-karya ar-Razi?
3.
Bagaimana pemikiran ar-Razi mengenai
filsafat Lima Kekal, Agama dan Rasio?
1.3
Tujuan
1.
Untuk mengetahui biografi ar-Razi
2.
Untuk mengetahui apa saja karya-karya
Al-Razi
3.
Untuk mempelajari pandangan serta
pemikiran Al-Razi mengenai:
a. Filsafat
Lima Kekal
b. Agama
dan Rasio
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Biografi Al-Razi
Nama
lengkap Al-Razi adalah Abu Bakar Muhammad ibnu Zakaria ibnu Yahya Al-Razi.
Dalam wacana keilmuan barat dikenal dengan sebutan Rhazes. Ia dilahirkan di
Rayy, sebuah kota tua yang dulu bernama Rhogee, dekat Teheran, Republik Islam
Iran pada tanggal 1 Sya’ban 251 M/865 M.[1]
Pada
masa mudanya ia pernah menjadi tukang intan, penukar uang, dan pemain kecapi.
Kemudian, ia menaruh perhatian yang besar terhadap ilmu kimia dan
meninggalkannya setelah matanya terserang penyakit akibat eksperimen-eksperimen
yang dilakukannya. Setelah itu ia beralih mendalami ilmu kedokteran dan
filsafat.[2]
Al-Razi
terkenal sebagi seorang dokter yang dermawan, penyayang kepada pasien-pasiennya,
karena itu ia sering memberikan pengobatan cuma-cuma kepada orang-orang miskin.
Karena reputasinya dibidang kedokteran ini, Al-Razi pernah diangkat menjadi
kepala rumah sakit Rayy selama enam tahun pada masa pemerintahan Gubernur
Al-Mansur ibnu Ishaq. Kemudian ia pindah ke Baghdad dan memimpin rumah sakit di
sana pada masa pemarintahan Khalifah Al-Muktafi.[3]
Setelah Al-Muktafi meninggal, ia kembali ke kota kelahirannya, kemudian ia
berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri lainnya dan meninggal dunia pada
tanggal 5 Sya’ban 313H/27 Oktober 925 dalam usia 60 tahun.[4]
Informasi
yang dikemukakan al-Qifti dan Usaibi’ah sulit dipercaya. Menurutnya Al-Razi
belajar ilmu kedokteran kepada ‘Ali ibn Rabban Ath-Thabari, seorang dokter dan
filosof. Padahal ar-Razi lahir 10 tahun setelah Ali ibn Rabban Al-thabari
meninggal dunia. Menurut Al-Nadim yang benar adalah ar-Razi belajar filsafat
kepada Al-Balkhi, menguasai filsafat dan ilmu-ilmu kuno.[5]
2.2 Karya-Karya Ar-Razi
Ar-Razi
termasuk seorang filosof yang rajin belajar dan menulis sehingga ia banyak
menghasilkan karya tulis. Dalam autobiografinya pernah ia katakan, bahwa ia
telah menulis tidak kurang dari 200buah karya tulis dalam berbagai ilmu
pengetahuan.[6]
Karya
tulisnya dalam bidang kimia yang terkenal ialah kitab Al-Asraryang
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Geard fo Cremon. Dalam bidang medis
karyanya yang terbesar adalah al-Hawiyang merupakan ensiklopedia ilmu
kedokteran, di terjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan judul Continensyang
tersebar luas dan menjadi buku pegangan utama di kalangan kedokteran Eropa
sampai abad ke 17 M.[7]
Bukunya
dibidang kedokteran ialah al-Mansuri Liber al-Mansoris 10 jilid di salin
kedalam berbagai bahasa barat sampai akhir abad XV M. Kitab al-Judar wa
al-Hasbah tulisannya yang berisikan analisis tentang penyakit cacar dan campak
beserta pencegahanya, di terjemahkan kedalam berbagai bahasa barat dan terakhir
ke dalam bahasa inggris tahun 1847 M, dan di anggap buku wajib ilmu kedokteran
barat. Kemudian, buku-bukunya yang lain ialah al-Thibb al-Ruhani, al-Sirah
al-Falsafiah, dan lainya. Sebagian karya tulisnya telah di kumpulkan menjadi
satu kitab yang bernama al-Rasa’il Falsafiyyat.
Amat
disayangkan karya tulis al-Razi lebih banyak yang hilang dari pada yang masih
ada sehingga sulit mencantumkan nama buku dan isinya satu persatu.\
2.3 Filsafat Al-Razi
1.
Metafisika
Filsafat Al-Razi terkenal dengan
ajarannya “Lima yang Kekal” ( five Co-eternal principles/ al-mabadi’
al-Qadimah al-Khamsah ) yaitu:
a. al-Bary
Ta’ala (Allah Ta’ala),
b. al-Nafs
al-Kulliyat (Jiwa Universal),
c. al-Hayula al-Ula (Materi Pertama),
d. al-Makan al-Muthlaq (Tempat/Ruang Absolut) dan
e. al-Zaman al-Muthlaq (Masa Absolut).
Menurut Al-Razi dua dari lima kekal
itu hidup dan aktif: Allah dan Jiwa/Roh Universal. Satu diantaranya tidak hidup
dan pasif, yakni materi. Dua lainnya tidak hidup, tidak aktif, dan tidak pula
pasif, yakni ruang dan masa.[8]
a)
al-Bary
Ta’ala (Allah Ta’ala)
Menurut Al-Razi Allah maha pencipta
dan Pengatur seluruh alam ini. Alam diciptakan oleh Allah bukan dari tidak ada
(creatio ex nihilo), tetapi dari bahan yang telah ada. Oleh karena itu,
menurutnya alam semesta tidak kadim, baharu, meskipun materi asalnya kadim,
sebab penciptaan di sini dalam arti disusun dari bahan yang telah ada.[9]
Penciptaan dari tiada, bagi Al-Razi, tidak dapat dipertahankan secara logis.
Pasalnya, dari satu sisi bahan alam yang tersusun dari tanah, udara, air, api,
dan benda-benda langit berasal dari materi pertama yang telah ada sejak azali.
Pada sisi lain, jika Allah menciptakan alam dari tiada, tentu ia terikat pada
penciptaan segala sesuatu dari tiada karena hal ini merupakan modus perbuatan
yang paling sederhana dan cepat. Namun kenyataannya, penciptaan seperti itu
suatu hal yang tidak mungkin.[10].
b)
al-Nafs
al-Kulliyat (Jiwa Universal)
Jiwa Universal merupakan al-Mabda’
al-qadim al-sany (sumber kekal yang kedua). Padanya terdapat daya hidup dan
bergerak, sulit diketahui karena ia tanpa rupa tetapi karena ia dikuasai naluri
untuk bersatu dengan al-hayula al-ula (materi pertama), terjadilah pada zatnya
rupa yang dapat menerima fisik. Sementara itu, materi pertama tanpa fisik,
Allah datang menolong roh dengan menciptakan alam semesta termasuk tubuh
manusia yang ditempati roh.
Begitu pula dengan akal, ia
merupakan limpahan dari Allah. Tujuan penciptaannya untuk menyadarkan jiwa yang
terlena dalam fisik manusia, bahwa tubuh itu bukanlah tempat yang sebenarnya,
bukan tempat kebahagiaan dan tempat abadi. Kesenangan dan kebahagiaan
sebenarnya adalah melepaskan diri dari materi dengan filsafat.[11]
c)
al-Hayula
al-Ula (Materi Pertama)
Materi pertama menurut Al-Razi
adalah substansi yang kekal yang terdiri dari atom-atom. Setiap atom memiliki
volume. Tanpa volume, pengumpulan atom-atom tidak bisa menjadi suatu yang
berbentuk. Bila bumi dihancurkan maka ia juga terpisah-pisah dalam bentuk
atom-atom. Materi yang padat menjadi substansi bumi, yang lebih renggang dari
unsur bumi menjadi unsur air, yang lebih renggang lagi udara, dan yang
terrenggang api.[12]
Al-Razi berargumen penciptaan untuk
bukti kekalnya materi, yaitu bahwa tindakan materi yang sedang dalam
pembentukan, mensyaratkan adanya seseorang pencipta yang mendahuluinya dan
adanya sebuah substrantum atau materi dimana tindakan itu berlangsung. Jadi,
jika penciptaan itu kekal, maka materi yang dikenai oleh kekuatan pencipta itu
juga kekal sebelum ia dikenai kekuatan tersebut.
Manusia
tidak akan mencapai dunia hakiki ini, kecuali dengan filsafat. Mereka yang
mempelajari filsafat dan mengetahui dunia hakiki dan memperoleh pengetahuan
akan selamat dari keadaan buruknya. Ruh-ruh ini akan tetap berada di dunia
sampai ia disadarkan oleh filsafat akan rahasia dirinya kemudian akan diarahkan
keepada dunia hakiki. Melalui filsafat manusia dapat memperoleh dunia yang
sebenarnya, dunia sejati
atau dunia hakiki.[13]
d)
al-Makan
al-Muthlaq (Tempat/Ruang Absolut)
Ruang dibedakan menjadi dua macam,
yaitu: ruang particular (al-makan al-juz’i) dan ruang universal(al-makan
al-kully).
Ruang particular
terbatas dan terikat dengan sesuatu wujud yang menempatinya
Sedangakan ruang
universal tidak terikat dengan maujud dan tidak terbatas.
e)
al-Zaman
al-Muthlaq (Masa Absolut)
Zaman
absolute tidak aktif dan tidak pasif. Zaman dibagi menjadi dua, yaitu:
relatif/terbatas (al-waqt) dan zaman universal (ad-dahr).
2. Akal dan Agama
Corak
Pemikaran Ar-Razi adalah rasionalis elektis. Rasional artinya ia selau mencari
kebenaran dengan pangkal tolak kekuatan akal dan elektis artinya selektif.[14]
Hal ini tampak dalam halaman pendahuluan karyanya, al-Thib al-Ruhani, ia
menulis : ” Tuhan segala puji bagi-Nya, yang telah memberi kita akal agar
denganya kita dapat memperoleh sebanyak-banyaknya manfaat, inilah karunia
terbaik Tuhan kepada kita. Dengan akal kita dapat melihat yang berguna untuk
kita dan yang membuat hidup kita baik, dengan akal kita dapat mengetahui yang
gelap, yang jauh, dan yang tersembunyi dari kita. Dengan akal pula kita dapat
mengetahui tentang Tuhan, suatu pengetahuan tertinggi yang dapat kita peroleh.
Jika akal sedemikian mulia dan penting maka kita tidak boleh melecehkannya,
kita tidak boleh menentukannya, sebab dia adalah penentu, atau mengendalikanya
sebab dia adalah pengendali, atau memerintahkannya sebab dia adalah pemerintah,
tetapi kita harus merujuk kepadanya dalam segala hal dan menentukan masalah
dengannya, serta kita harus sesuai dengan perintahnya.[15]
Menurut
Ar-Razi kita hendaknya mengembalikan segala urusan kepada akal, merubahnya
dengan berpatokan kepadanya, bersandar kepadanya dalam segalanya. Kita juga
harus menjalankan segala urusan sesuai ketentuannya, dan berhenti karena
arahnya. Kita tidak boleh mengikuti hawa nafsu dan meninggalkan akal. Karena
nafsu adalah ancaman baginya yang mengeruhkan kejernihan, memalingkannya dari
jalan, cinta, tujuan dan konsistensinya.[16]
Ar-Razi
tidak percaya kepada Nabi-Nabi, sebab Nabi itu hanyalah pembawa kehancuran bagi
manusia, ajaran Nabi-Nabi itu saling bertentangan, pertentangan itu akan
membawa kehancuran manusia.[17]
Menurutnya
para Nabi tidak berhak mengklim bahwa dirinya memiliki keistimewaan khusus,
baik fikiran maupun rohani, karena semua orang itu adalah sama dan keadilan
tuhan serta hikmah-Nya mengharuskanya untuk tidak membedakanya antara seorang
dengan yang lainnya. Lebih lanjut ia mengatakan bahwasanya tidaklah masuk akal
bahwa tuhan mengutus para Nabi padahal mereka tidak luput dari pada kesalahan
dan kekliruan. Setiap kaum hanya percaya kepada Nabinya dan tidak percaya
kepada Nabi kaum lain. Dan akibat dari inilah banyak terjadi konflik,
peperangan dan kebencian antara bangasa karena kefanatikan kepada agama bangsa
yang dianutnya.[18]
Begitu juga dengan wahyu yang didakwahkan oleh para Nabi kebenrannya tidaklah
benar adanya. Al-Qur’an dengan gaya bahasanya bukanlah mu’jizat bagi Nabi
Muhammad ia hanya sebagai buku biasa. Nikmat akal lebihlah konkrit dari wahyu
oleh sebab itu membaca buku-buku filsafat dan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya
lebih berarti dari pada membaca buku-buku agama. Keberlangsungan agama hanyalah
berasal dari tradisi, dari kepentingan para ulama yang diperalat oleh negara,
dan dari upacara-upacara yang menyilaukan mata orang bodoh.
Tidak
mengherankan kalau pandangan hidup Ar-Razi membangkitkan banyak perlawanan
dalam lingkaran tradisonal. Keahliannya dalam bidang kedokteran dipuja akan
tetapi filsafatnya pada umumnya dicela disebabkan banyak mengandung kufurat.
Tatkala diakhir hayatnya Ar-Razi mengalami kebutaan maka dikatakan bahwa itu
adalah azab dan murka dari Allah karena anggapan liarnya. Karyanya juga sudah
mendapatkan kecaman semasa dia hidup. Krtikan paling pedas terhadap karyanya
adalah seorang ulama yang sebangsa dengannya juga yakni Abu Hatim Ar-Razi (933)
dalam a’lam annubuwat. Berkat dari kritikan itu maka ajaran Ar-Razi dapat
diketahui, karena tulisan aslinya telah musnah.[19]
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Al-Razi adalah pemikir bebas non-kompromis, yang justru
lebih menonjol dikenal di bidang kedokteran daripada filsafat, karena karyanya
al-Hawi
Perhatian
utama filsafatnya adalah jiwa universal, yang menjadi titik sentral-logis
penjelasannya tentang kejadian dunia dan adanya Sang Pencipta. Bahkan pada sisi
ini al-Razi menawarkan teori berani dan orisinal tentang jiwa
Konsepsi filsafatnya yang paling
menonjol, dan karena-nya menjadi ajaran pokok, adalah prinsip lima yang kekal,
sebagai tengara keplatonikannya. Tetapi, prinsipnya bahwa dunia diciptakan
dalam waktu dan bersifat sementara, membedakannya dari konsep Plato yang
mempercayai bahwa dunia diciptakan dan bersifat (dalam waktu) abadi. Keduanya
bertemu dalam keabadian jiwa dan Pencipta, sebagai pernyataan aksiomatik
Sementara konsepnya tentang moral
terbreakdown oleh konsep “transmigrasi jiwa”nya. Dengan konsep moral ini
al-Razi bermaksud memuliakan hewan-hewan buas untuk diangkat ke tempat yang
lebih baik, dengan cara membu
Kemudian, konsepnya mengenai
kenabian dan agama, berintikan penolakan kepada para Nabi dan sakralisasi
kepada akal. Konsep ini merupakan bukti keberaniannya sehingga dikenal sebagai
pemikir bebas non-kompromis.
Keseluruhan konsep yang ditawarkan
al-Razi memperlihatkan bahwa dia adalah seorang ateis sekaligus monoteis; dua
titik berlawanan yang menyatu secara unik-pelik.
Dalam peta filsafat dunia Islam, ciri platonik al-Razi membedakannya dari
al-Kindi yang Arestotelik dan al-Farabi yang Neo-Platonik (mendamaikan filsafat
antara Aristoteles dan Plato). Selain itu, konsep “lima kekal” al-Razi yang
telah memberikan solusi dalam persoalan penciptaan dunia merupakan jasa yang
berharga, tidak saja bagi para filosof sejak Plato, akan tetapi juga para
filosof Islam setelahnya. Bagi filosof Islam sesudahnya, al-Razi telah membuka
jalan bagi mereka untuk mengembangkan persoalan proses penciptaan dunia.
DAFTAR PUSTAKA
M.M.Syarif, (Ed)., The History of Muslim
Philosophy, (New York: Dovers Publications, 1967), hlm. 434. Dalam Prof.
Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A.
M. Mahdi Allam, Da’irat al-ma’arif
al-islamiyyat, Juz. IX, ( kairo: tt.),hlm.451.
Al-Razi, Rasa’il falsafiyyat,
(Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidat, 1982), hlm.109.
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat
Islam, Terj. R. Mulyadhi Kartanegara, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), Cet.
1, hlm.151. Lihat juga Harun Nasution,op.cit.,
hlm. 17.
Abu Bakar Al-Razi, al-Thibb
al-Ruhani, Tahkik ‘Abd Al-Lathif
Al-Ghaid, (Kairo: Maktabat al-Nahdat al-Mishriyyat, 1978), hlm. 12.
Madjid Fakhry, op.cit., hlm.
157
Al-Razi, Rasa’il op.cit., hlm.284.
Ibn Muhammad Zakariya al-Razi,
Al-Thib al-Puhani, ‘Abd al-Lathif al-Ghaid (ed) (Kairo: Maktabag al-Nahdah
al-Mishriyyah, 1978). Hlm.11.
Drs. H. A. Mustofa, Op.Cit, hal 20
Misla Muhammad Amien, Epistimologi
Islam, Jakarta: UIP, hal.46
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam,
Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet III, hal.26
Dr. Ismail Asy-Syarafa, Op.Cit, hal.
107
Yusril Ali, Op.Cit, hal. 35
Hasymsyah Nasution, Op.Cit, hal. 27
JMW. Bakker SY, Sejarah Filsafat
Dalam Islam, Yogyakarta: Penerbit
[9]
Abu Bakar Al-Razi, al-Thibb al-Ruhani, Tahkik ‘Abd Al-Lathif Al-Ghaid, (Kairo: Maktabat al-Nahdat
al-Mishriyyat, 1978), hlm. 12. Sebenarnya pendapat Al-Razi tentang alam semesta
tidak berbeda dengan Al-Farabi dan Ibnu Sina. Di sini hanya perbedaan semantik,
yang oleh Al-Razi materi pertama kadim, dan alam semesta yang disusun dari materi
asal itu baharu, tidak kadim. Sementara itu, oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina hal
seperti itu disebut kadim.
No comments:
Post a Comment