kantongtangan.com: Makalah Ar Razi
  • Home
  • Tentang kantongtangan.com
  • Kumpulan Puisi
  • Makalah Ar Razi

    BAB I PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang
                Manusia sebagai hamba Allah swt adalah satu-satunya makhluk yang paling istimewa diantara semua makhluk-Nya yang lain. Disamping dikaruniai akal dan pikiran, manusia ternyata adalah makhluk yang penuh dengan misteri dan rahasia-rahasia yang menarik untuk dikaji.
                Misteri itu justru sengaja dibuat Allah swt. Agar manusia memiliki rasa antusias yang tinggi untuk menguak dan mendalami keberadaan dirinya sebagai ciptaan Allah swt, untuk kemudian mengenali siapa pencipta-Nya.
                Dalam kaitanya dengan hal tersebut, ada seorang filusuf yang sangat mendewakan akal dalam menghadapi setiap kehidupan yang ada di hadapannya. Dia dikenal dengan nama “ Al-Razi “.
                Untuk itu, makalah ini secara sistematis akan membahas tentang al-Razi.

    1.2Rumusan Masalah
    1.      Siapa sebenarnya ar-Razi?
    2.      Apa saja karya-karya ar-Razi?
    3.      Bagaimana pemikiran ar-Razi mengenai filsafat Lima Kekal, Agama dan Rasio?

    1.3 Tujuan
    1.      Untuk mengetahui biografi ar-Razi
    2.      Untuk mengetahui apa saja karya-karya Al-Razi
    3.      Untuk mempelajari pandangan serta pemikiran Al-Razi mengenai:
    a.    Filsafat Lima Kekal
    b.    Agama dan Rasio




    BAB II PEMBAHASAN

    2.1 Biografi Al-Razi
                Nama lengkap Al-Razi adalah Abu Bakar Muhammad ibnu Zakaria ibnu Yahya Al-Razi. Dalam wacana keilmuan barat dikenal dengan sebutan Rhazes. Ia dilahirkan di Rayy, sebuah kota tua yang dulu bernama Rhogee, dekat Teheran, Republik Islam Iran pada tanggal 1 Sya’ban 251 M/865 M.[1]
                Pada masa mudanya ia pernah menjadi tukang intan, penukar uang, dan pemain kecapi. Kemudian, ia menaruh perhatian yang besar terhadap ilmu kimia dan meninggalkannya setelah matanya terserang penyakit akibat eksperimen-eksperimen yang dilakukannya. Setelah itu ia beralih mendalami ilmu kedokteran dan filsafat.[2]
                Al-Razi terkenal sebagi seorang dokter yang dermawan, penyayang kepada pasien-pasiennya, karena itu ia sering memberikan pengobatan cuma-cuma kepada orang-orang miskin. Karena reputasinya dibidang kedokteran ini, Al-Razi pernah diangkat menjadi kepala rumah sakit Rayy selama enam tahun pada masa pemerintahan Gubernur Al-Mansur ibnu Ishaq. Kemudian ia pindah ke Baghdad dan memimpin rumah sakit di sana pada masa pemarintahan Khalifah Al-Muktafi.[3] Setelah Al-Muktafi meninggal, ia kembali ke kota kelahirannya, kemudian ia berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri lainnya dan meninggal dunia pada tanggal 5 Sya’ban 313H/27 Oktober 925 dalam usia 60 tahun.[4]
                Informasi yang dikemukakan al-Qifti dan Usaibi’ah sulit dipercaya. Menurutnya Al-Razi belajar ilmu kedokteran kepada ‘Ali ibn Rabban Ath-Thabari, seorang dokter dan filosof. Padahal ar-Razi lahir 10 tahun setelah Ali ibn Rabban Al-thabari meninggal dunia. Menurut Al-Nadim yang benar adalah ar-Razi belajar filsafat kepada Al-Balkhi, menguasai filsafat dan ilmu-ilmu kuno.[5]

    2.2 Karya-Karya Ar-Razi
                Ar-Razi termasuk seorang filosof yang rajin belajar dan menulis sehingga ia banyak menghasilkan karya tulis. Dalam autobiografinya pernah ia katakan, bahwa ia telah menulis tidak kurang dari 200buah karya tulis dalam berbagai ilmu pengetahuan.[6]  
                Karya tulisnya dalam bidang kimia yang terkenal ialah kitab Al-Asraryang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Geard fo Cremon. Dalam bidang medis karyanya yang terbesar adalah al-Hawiyang merupakan ensiklopedia ilmu kedokteran, di terjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan judul Continensyang tersebar luas dan menjadi buku pegangan utama di kalangan kedokteran Eropa sampai abad ke 17 M.[7]
                Bukunya dibidang kedokteran ialah al-Mansuri Liber al-Mansoris 10 jilid di salin kedalam berbagai bahasa barat sampai akhir abad XV M. Kitab al-Judar wa al-Hasbah tulisannya yang berisikan analisis tentang penyakit cacar dan campak beserta pencegahanya, di terjemahkan kedalam berbagai bahasa barat dan terakhir ke dalam bahasa inggris tahun 1847 M, dan di anggap buku wajib ilmu kedokteran barat. Kemudian, buku-bukunya yang lain ialah al-Thibb al-Ruhani, al-Sirah al-Falsafiah, dan lainya. Sebagian karya tulisnya telah di kumpulkan menjadi satu kitab yang bernama al-Rasa’il Falsafiyyat.
                Amat disayangkan karya tulis al-Razi lebih banyak yang hilang dari pada yang masih ada sehingga sulit mencantumkan nama buku dan isinya satu persatu.\




    2.3 Filsafat Al-Razi
    1.        Metafisika
                Filsafat Al-Razi terkenal dengan ajarannya “Lima yang Kekal” ( five Co-eternal principles/ al-mabadi’ al-Qadimah al-Khamsah ) yaitu:
    a.       al-Bary Ta’ala (Allah Ta’ala),
    b.      al-Nafs al-Kulliyat (Jiwa Universal),
    c.        al-Hayula al-Ula (Materi Pertama),
    d.       al-Makan al-Muthlaq (Tempat/Ruang Absolut) dan
    e.        al-Zaman al-Muthlaq (Masa Absolut).
                Menurut Al-Razi dua dari lima kekal itu hidup dan aktif: Allah dan Jiwa/Roh Universal. Satu diantaranya tidak hidup dan pasif, yakni materi. Dua lainnya tidak hidup, tidak aktif, dan tidak pula pasif, yakni ruang dan masa.[8]
    a)      al-Bary Ta’ala (Allah Ta’ala)
                Menurut Al-Razi Allah maha pencipta dan Pengatur seluruh alam ini. Alam diciptakan oleh Allah bukan dari tidak ada (creatio ex nihilo), tetapi dari bahan yang telah ada. Oleh karena itu, menurutnya alam semesta tidak kadim, baharu, meskipun materi asalnya kadim, sebab penciptaan di sini dalam arti disusun dari bahan yang telah ada.[9] Penciptaan dari tiada, bagi Al-Razi, tidak dapat dipertahankan secara logis. Pasalnya, dari satu sisi bahan alam yang tersusun dari tanah, udara, air, api, dan benda-benda langit berasal dari materi pertama yang telah ada sejak azali. Pada sisi lain, jika Allah menciptakan alam dari tiada, tentu ia terikat pada penciptaan segala sesuatu dari tiada karena hal ini merupakan modus perbuatan yang paling sederhana dan cepat. Namun kenyataannya, penciptaan seperti itu suatu hal yang tidak mungkin.[10].
               

    b)     al-Nafs al-Kulliyat (Jiwa Universal)
                Jiwa Universal merupakan al-Mabda’ al-qadim al-sany (sumber kekal yang kedua). Padanya terdapat daya hidup dan bergerak, sulit diketahui karena ia tanpa rupa tetapi karena ia dikuasai naluri untuk bersatu dengan al-hayula al-ula (materi pertama), terjadilah pada zatnya rupa yang dapat menerima fisik. Sementara itu, materi pertama tanpa fisik, Allah datang menolong roh dengan menciptakan alam semesta termasuk tubuh manusia yang ditempati roh.
                Begitu pula dengan akal, ia merupakan limpahan dari Allah. Tujuan penciptaannya untuk menyadarkan jiwa yang terlena dalam fisik manusia, bahwa tubuh itu bukanlah tempat yang sebenarnya, bukan tempat kebahagiaan dan tempat abadi. Kesenangan dan kebahagiaan sebenarnya adalah melepaskan diri dari materi dengan filsafat.[11]
    c)      al-Hayula al-Ula (Materi Pertama)
                Materi pertama menurut Al-Razi adalah substansi yang kekal yang terdiri dari atom-atom. Setiap atom memiliki volume. Tanpa volume, pengumpulan atom-atom tidak bisa menjadi suatu yang berbentuk. Bila bumi dihancurkan maka ia juga terpisah-pisah dalam bentuk atom-atom. Materi yang padat menjadi substansi bumi, yang lebih renggang dari unsur bumi menjadi unsur air, yang lebih renggang lagi udara, dan yang terrenggang api.[12]
                Al-Razi berargumen penciptaan untuk bukti kekalnya materi, yaitu bahwa tindakan materi yang sedang dalam pembentukan, mensyaratkan adanya seseorang pencipta yang mendahuluinya dan adanya sebuah substrantum atau materi dimana tindakan itu berlangsung. Jadi, jika penciptaan itu kekal, maka materi yang dikenai oleh kekuatan pencipta itu juga kekal sebelum ia dikenai kekuatan tersebut.
                Manusia tidak akan mencapai dunia hakiki ini, kecuali dengan filsafat. Mereka yang mempelajari filsafat dan mengetahui dunia hakiki dan memperoleh pengetahuan akan selamat dari keadaan buruknya. Ruh-ruh ini akan tetap berada di dunia sampai ia disadarkan oleh filsafat akan rahasia dirinya kemudian akan diarahkan keepada dunia hakiki. Melalui filsafat manusia dapat memperoleh dunia yang sebenarnya, dunia sejati
    atau dunia hakiki.[13]
    d)     al-Makan al-Muthlaq (Tempat/Ruang Absolut)
                Ruang dibedakan menjadi dua macam, yaitu: ruang particular (al-makan al-juz’i) dan ruang universal(al-makan al-kully).
    Ruang particular terbatas dan terikat dengan sesuatu wujud yang menempatinya
    Sedangakan ruang universal tidak terikat dengan maujud dan tidak terbatas.
    e)      al-Zaman al-Muthlaq (Masa Absolut)
                Zaman absolute tidak aktif dan tidak pasif. Zaman dibagi menjadi dua, yaitu: relatif/terbatas (al-waqt) dan zaman universal (ad-dahr).

    2. Akal dan Agama
                Corak Pemikaran Ar-Razi adalah rasionalis elektis. Rasional artinya ia selau mencari kebenaran dengan pangkal tolak kekuatan akal dan elektis artinya selektif.[14] Hal ini tampak dalam halaman pendahuluan karyanya, al-Thib al-Ruhani, ia menulis : ” Tuhan segala puji bagi-Nya, yang telah memberi kita akal agar denganya kita dapat memperoleh sebanyak-banyaknya manfaat, inilah karunia terbaik Tuhan kepada kita. Dengan akal kita dapat melihat yang berguna untuk kita dan yang membuat hidup kita baik, dengan akal kita dapat mengetahui yang gelap, yang jauh, dan yang tersembunyi dari kita. Dengan akal pula kita dapat mengetahui tentang Tuhan, suatu pengetahuan tertinggi yang dapat kita peroleh. Jika akal sedemikian mulia dan penting maka kita tidak boleh melecehkannya, kita tidak boleh menentukannya, sebab dia adalah penentu, atau mengendalikanya sebab dia adalah pengendali, atau memerintahkannya sebab dia adalah pemerintah, tetapi kita harus merujuk kepadanya dalam segala hal dan menentukan masalah dengannya, serta kita harus sesuai dengan perintahnya.[15]
                Menurut Ar-Razi kita hendaknya mengembalikan segala urusan kepada akal, merubahnya dengan berpatokan kepadanya, bersandar kepadanya dalam segalanya. Kita juga harus menjalankan segala urusan sesuai ketentuannya, dan berhenti karena arahnya. Kita tidak boleh mengikuti hawa nafsu dan meninggalkan akal. Karena nafsu adalah ancaman baginya yang mengeruhkan kejernihan, memalingkannya dari jalan, cinta, tujuan dan konsistensinya.[16]
                Ar-Razi tidak percaya kepada Nabi-Nabi, sebab Nabi itu hanyalah pembawa kehancuran bagi manusia, ajaran Nabi-Nabi itu saling bertentangan, pertentangan itu akan membawa kehancuran manusia.[17]
                Menurutnya para Nabi tidak berhak mengklim bahwa dirinya memiliki keistimewaan khusus, baik fikiran maupun rohani, karena semua orang itu adalah sama dan keadilan tuhan serta hikmah-Nya mengharuskanya untuk tidak membedakanya antara seorang dengan yang lainnya. Lebih lanjut ia mengatakan bahwasanya tidaklah masuk akal bahwa tuhan mengutus para Nabi padahal mereka tidak luput dari pada kesalahan dan kekliruan. Setiap kaum hanya percaya kepada Nabinya dan tidak percaya kepada Nabi kaum  lain. Dan akibat dari inilah banyak terjadi konflik, peperangan dan kebencian antara bangasa karena kefanatikan kepada agama bangsa yang dianutnya.[18] Begitu juga dengan wahyu yang didakwahkan oleh para Nabi kebenrannya tidaklah benar adanya. Al-Qur’an dengan gaya bahasanya bukanlah mu’jizat bagi Nabi Muhammad ia hanya sebagai buku biasa. Nikmat akal lebihlah konkrit dari wahyu oleh sebab itu membaca buku-buku filsafat dan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya lebih berarti dari pada membaca buku-buku agama. Keberlangsungan agama hanyalah berasal dari tradisi, dari kepentingan para ulama yang diperalat oleh negara, dan dari upacara-upacara yang menyilaukan mata orang bodoh.
                Tidak mengherankan kalau pandangan hidup Ar-Razi membangkitkan banyak perlawanan dalam lingkaran tradisonal. Keahliannya dalam bidang kedokteran dipuja akan tetapi filsafatnya pada umumnya dicela disebabkan banyak mengandung kufurat. Tatkala diakhir hayatnya Ar-Razi mengalami kebutaan maka dikatakan bahwa itu adalah azab dan murka dari Allah karena anggapan liarnya. Karyanya juga sudah mendapatkan kecaman semasa dia hidup. Krtikan paling pedas terhadap karyanya adalah seorang ulama yang sebangsa dengannya juga yakni Abu Hatim Ar-Razi (933) dalam a’lam annubuwat. Berkat dari kritikan itu maka ajaran Ar-Razi dapat diketahui, karena tulisan aslinya telah musnah.[19]























    BAB III PENUTUP

    Kesimpulan
                Al-Razi adalah pemikir bebas non-kompromis, yang justru lebih menonjol dikenal di bidang kedokteran daripada filsa­fat, karena karyanya al-Hawi
    Perhatian utama filsafatnya adalah jiwa universal, yang menjadi titik sentral-logis penjelasannya tentang kejadian dunia dan adanya Sang Pencipta. Bahkan pada sisi ini al-Razi menawarkan teori berani dan orisinal tentang jiwa
                            Konsepsi filsafatnya yang paling menonjol, dan karena-nya menjadi ajaran pokok, adalah prinsip lima yang kekal, sebagai tengara keplatonikannya. Tetapi, prinsipnya bahwa dunia diciptakan dalam waktu dan bersifat sementara, membe­dakannya dari konsep Plato yang mempercayai bahwa dunia diciptakan dan bersifat (dalam waktu) abadi. Keduanya berte­mu dalam keabadian jiwa dan Pencipta, sebagai pernyataan aksiomatik
                Sementara konsepnya tentang moral terbreakdown oleh konsep “transmigrasi jiwa”nya. Dengan konsep moral ini al-Razi bermaksud memuliakan hewan-hewan buas untuk diangkat ke tempat yang lebih baik, dengan cara membu
     Kemudian, konsepnya mengenai kenabian dan agama, berin­tikan penolakan kepada para Nabi dan sakralisasi kepada akal. Konsep ini merupakan bukti keberaniannya sehingga dikenal sebagai pemikir bebas non-kompromis.
                Keseluruhan konsep yang ditawarkan al-Razi memperlihat­kan bahwa dia adalah seorang ateis sekaligus monoteis; dua titik berlawanan yang menyatu secara unik-pelik.
                Dalam peta filsafat dunia Islam, ciri platonik al-Razi membedakannya dari al-Kindi yang Arestotelik dan al-Farabi yang Neo-Platonik (mendamaikan filsafat antara Aristoteles dan Plato). Selain itu, konsep “lima kekal” al-Razi yang telah memberikan solusi dalam persoalan penciptaan dunia merupakan jasa yang berharga, tidak saja bagi para filosof sejak Plato, akan tetapi juga para filosof Islam setelahnya. Bagi filosof Islam sesudahnya, al-Razi telah membuka jalan bagi mereka untuk mengembangkan persoalan proses penciptaan dunia.

    DAFTAR PUSTAKA

    M.M.Syarif, (Ed)., The History of Muslim Philosophy, (New York: Dovers Publications, 1967), hlm. 434. Dalam Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A.
                M. Mahdi Allam, Da’irat al-ma’arif al-islamiyyat, Juz. IX, ( kairo: tt.),hlm.451.
                Al-Razi, Rasa’il falsafiyyat, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidat, 1982), hlm.109.
                Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, Terj. R. Mulyadhi Kartanegara, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), Cet. 1, hlm.151.  Lihat juga Harun Nasution,op.cit., hlm. 17.
                Abu Bakar Al-Razi, al-Thibb al-Ruhani, Tahkik ‘Abd Al-Lathif  Al-Ghaid, (Kairo: Maktabat al-Nahdat al-Mishriyyat, 1978), hlm. 12.
                Madjid Fakhry, op.cit., hlm. 157
                Al-Razi, Rasa’il op.cit., hlm.284.
                Ibn Muhammad Zakariya al-Razi, Al-Thib al-Puhani, ‘Abd al-Lathif al-Ghaid (ed) (Kairo: Maktabag al-Nahdah al-Mishriyyah, 1978). Hlm.11.
                Drs. H. A. Mustofa, Op.Cit, hal 20
                Misla Muhammad Amien, Epistimologi Islam, Jakarta: UIP, hal.46
                Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet III, hal.26
                Dr. Ismail Asy-Syarafa, Op.Cit, hal. 107
                Yusril Ali, Op.Cit, hal. 35
                Hasymsyah Nasution, Op.Cit, hal. 27
                JMW. Bakker SY, Sejarah Filsafat Dalam Islam, Yogyakarta: Penerbit






                    [1] M.M.Syarif, (Ed)., The History of Muslim Philosophy, (New York: Dovers Publications, 1967), hlm. 434. Dalam Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A.
                    [2]Ibid
                    [3]Ibid
                    [4]Menurut T.J. De Boer Al-Razi wafat tahun 923 M. Lihat bukunya: Tarikh al-Falsafah fi al-Islam, ditr. ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad ‘Abd Al-Hady Abu Zaidah, (Kairo: Mathba’ah Lajnat al-Ta’lif wa al-Tarjamat wal al-Nasyar, 1954), hlm. 115.
                    [5]M. Mahdi Allam, Da’irat al-ma’arif al-islamiyyat, Juz. IX, ( kairo: tt.),hlm.451.
                    [6]Al-Razi, Rasa’il falsafiyyat, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidat, 1982), hlm.109.
                    [7]Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, Terj. R. Mulyadhi Kartanegara, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), Cet. 1, hlm.151.  Lihat juga Harun Nasution,op.cit., hlm. 17.
                    [8] Harun Nasution, ibid
                    [9] Abu Bakar Al-Razi, al-Thibb al-Ruhani, Tahkik ‘Abd Al-Lathif  Al-Ghaid, (Kairo: Maktabat al-Nahdat al-Mishriyyat, 1978), hlm. 12. Sebenarnya pendapat Al-Razi tentang alam semesta tidak berbeda dengan Al-Farabi dan Ibnu Sina. Di sini hanya perbedaan semantik, yang oleh Al-Razi materi pertama kadim, dan alam semesta yang disusun dari materi asal itu baharu, tidak kadim. Sementara itu, oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina hal seperti itu disebut kadim.
                    [10]Madjid Fakhry, op.cit., hlm. 157
                    [11]Al-Razi, Rasa’il op.cit., hlm.284.
                    [12]Ibn Muhammad Zakariya al-Razi, Al-Thib al-Puhani, ‘Abd al-Lathif al-Ghaid (ed) (Kairo: Maktabag al-Nahdah al-Mishriyyah, 1978). Hlm.11.

                    [13] Drs. H. A. Mustofa, Op.Cit, hal 20
                    [14] Misla Muhammad Amien, Epistimologi Islam, Jakarta: UIP, hal.46
                    [15] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet III, hal.26
                    [16] Dr. Ismail Asy-Syarafa, Op.Cit, hal. 107
                    [17] Yusril Ali, Op.Cit, hal. 35
                    [18] Hasymsyah Nasution, Op.Cit, hal. 27
                    [19] JMW. Bakker SY, Sejarah Filsafat Dalam Islam, Yogyakarta: Penerbit Yayasan Kanisus, Cet I, hal 43-44BAB I PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang
                Manusia sebagai hamba Allah swt adalah satu-satunya makhluk yang paling istimewa diantara semua makhluk-Nya yang lain. Disamping dikaruniai akal dan pikiran, manusia ternyata adalah makhluk yang penuh dengan misteri dan rahasia-rahasia yang menarik untuk dikaji.
                Misteri itu justru sengaja dibuat Allah swt. Agar manusia memiliki rasa antusias yang tinggi untuk menguak dan mendalami keberadaan dirinya sebagai ciptaan Allah swt, untuk kemudian mengenali siapa pencipta-Nya.
                Dalam kaitanya dengan hal tersebut, ada seorang filusuf yang sangat mendewakan akal dalam menghadapi setiap kehidupan yang ada di hadapannya. Dia dikenal dengan nama “ Al-Razi “.
                Untuk itu, makalah ini secara sistematis akan membahas tentang al-Razi.

    1.2Rumusan Masalah
    1.      Siapa sebenarnya ar-Razi?
    2.      Apa saja karya-karya ar-Razi?
    3.      Bagaimana pemikiran ar-Razi mengenai filsafat Lima Kekal, Agama dan Rasio?

    1.3 Tujuan
    1.      Untuk mengetahui biografi ar-Razi
    2.      Untuk mengetahui apa saja karya-karya Al-Razi
    3.      Untuk mempelajari pandangan serta pemikiran Al-Razi mengenai:
    a.    Filsafat Lima Kekal
    b.    Agama dan Rasio




    BAB II PEMBAHASAN

    2.1 Biografi Al-Razi
                Nama lengkap Al-Razi adalah Abu Bakar Muhammad ibnu Zakaria ibnu Yahya Al-Razi. Dalam wacana keilmuan barat dikenal dengan sebutan Rhazes. Ia dilahirkan di Rayy, sebuah kota tua yang dulu bernama Rhogee, dekat Teheran, Republik Islam Iran pada tanggal 1 Sya’ban 251 M/865 M.[1]
                Pada masa mudanya ia pernah menjadi tukang intan, penukar uang, dan pemain kecapi. Kemudian, ia menaruh perhatian yang besar terhadap ilmu kimia dan meninggalkannya setelah matanya terserang penyakit akibat eksperimen-eksperimen yang dilakukannya. Setelah itu ia beralih mendalami ilmu kedokteran dan filsafat.[2]
                Al-Razi terkenal sebagi seorang dokter yang dermawan, penyayang kepada pasien-pasiennya, karena itu ia sering memberikan pengobatan cuma-cuma kepada orang-orang miskin. Karena reputasinya dibidang kedokteran ini, Al-Razi pernah diangkat menjadi kepala rumah sakit Rayy selama enam tahun pada masa pemerintahan Gubernur Al-Mansur ibnu Ishaq. Kemudian ia pindah ke Baghdad dan memimpin rumah sakit di sana pada masa pemarintahan Khalifah Al-Muktafi.[3] Setelah Al-Muktafi meninggal, ia kembali ke kota kelahirannya, kemudian ia berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri lainnya dan meninggal dunia pada tanggal 5 Sya’ban 313H/27 Oktober 925 dalam usia 60 tahun.[4]
                Informasi yang dikemukakan al-Qifti dan Usaibi’ah sulit dipercaya. Menurutnya Al-Razi belajar ilmu kedokteran kepada ‘Ali ibn Rabban Ath-Thabari, seorang dokter dan filosof. Padahal ar-Razi lahir 10 tahun setelah Ali ibn Rabban Al-thabari meninggal dunia. Menurut Al-Nadim yang benar adalah ar-Razi belajar filsafat kepada Al-Balkhi, menguasai filsafat dan ilmu-ilmu kuno.[5]

    2.2 Karya-Karya Ar-Razi
                Ar-Razi termasuk seorang filosof yang rajin belajar dan menulis sehingga ia banyak menghasilkan karya tulis. Dalam autobiografinya pernah ia katakan, bahwa ia telah menulis tidak kurang dari 200buah karya tulis dalam berbagai ilmu pengetahuan.[6]  
                Karya tulisnya dalam bidang kimia yang terkenal ialah kitab Al-Asraryang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Geard fo Cremon. Dalam bidang medis karyanya yang terbesar adalah al-Hawiyang merupakan ensiklopedia ilmu kedokteran, di terjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan judul Continensyang tersebar luas dan menjadi buku pegangan utama di kalangan kedokteran Eropa sampai abad ke 17 M.[7]
                Bukunya dibidang kedokteran ialah al-Mansuri Liber al-Mansoris 10 jilid di salin kedalam berbagai bahasa barat sampai akhir abad XV M. Kitab al-Judar wa al-Hasbah tulisannya yang berisikan analisis tentang penyakit cacar dan campak beserta pencegahanya, di terjemahkan kedalam berbagai bahasa barat dan terakhir ke dalam bahasa inggris tahun 1847 M, dan di anggap buku wajib ilmu kedokteran barat. Kemudian, buku-bukunya yang lain ialah al-Thibb al-Ruhani, al-Sirah al-Falsafiah, dan lainya. Sebagian karya tulisnya telah di kumpulkan menjadi satu kitab yang bernama al-Rasa’il Falsafiyyat.
                Amat disayangkan karya tulis al-Razi lebih banyak yang hilang dari pada yang masih ada sehingga sulit mencantumkan nama buku dan isinya satu persatu.\




    2.3 Filsafat Al-Razi
    1.        Metafisika
                Filsafat Al-Razi terkenal dengan ajarannya “Lima yang Kekal” ( five Co-eternal principles/ al-mabadi’ al-Qadimah al-Khamsah ) yaitu:
    a.       al-Bary Ta’ala (Allah Ta’ala),
    b.      al-Nafs al-Kulliyat (Jiwa Universal),
    c.        al-Hayula al-Ula (Materi Pertama),
    d.       al-Makan al-Muthlaq (Tempat/Ruang Absolut) dan
    e.        al-Zaman al-Muthlaq (Masa Absolut).
                Menurut Al-Razi dua dari lima kekal itu hidup dan aktif: Allah dan Jiwa/Roh Universal. Satu diantaranya tidak hidup dan pasif, yakni materi. Dua lainnya tidak hidup, tidak aktif, dan tidak pula pasif, yakni ruang dan masa.[8]
    a)      al-Bary Ta’ala (Allah Ta’ala)
                Menurut Al-Razi Allah maha pencipta dan Pengatur seluruh alam ini. Alam diciptakan oleh Allah bukan dari tidak ada (creatio ex nihilo), tetapi dari bahan yang telah ada. Oleh karena itu, menurutnya alam semesta tidak kadim, baharu, meskipun materi asalnya kadim, sebab penciptaan di sini dalam arti disusun dari bahan yang telah ada.[9] Penciptaan dari tiada, bagi Al-Razi, tidak dapat dipertahankan secara logis. Pasalnya, dari satu sisi bahan alam yang tersusun dari tanah, udara, air, api, dan benda-benda langit berasal dari materi pertama yang telah ada sejak azali. Pada sisi lain, jika Allah menciptakan alam dari tiada, tentu ia terikat pada penciptaan segala sesuatu dari tiada karena hal ini merupakan modus perbuatan yang paling sederhana dan cepat. Namun kenyataannya, penciptaan seperti itu suatu hal yang tidak mungkin.[10].
               

    b)     al-Nafs al-Kulliyat (Jiwa Universal)
                Jiwa Universal merupakan al-Mabda’ al-qadim al-sany (sumber kekal yang kedua). Padanya terdapat daya hidup dan bergerak, sulit diketahui karena ia tanpa rupa tetapi karena ia dikuasai naluri untuk bersatu dengan al-hayula al-ula (materi pertama), terjadilah pada zatnya rupa yang dapat menerima fisik. Sementara itu, materi pertama tanpa fisik, Allah datang menolong roh dengan menciptakan alam semesta termasuk tubuh manusia yang ditempati roh.
                Begitu pula dengan akal, ia merupakan limpahan dari Allah. Tujuan penciptaannya untuk menyadarkan jiwa yang terlena dalam fisik manusia, bahwa tubuh itu bukanlah tempat yang sebenarnya, bukan tempat kebahagiaan dan tempat abadi. Kesenangan dan kebahagiaan sebenarnya adalah melepaskan diri dari materi dengan filsafat.[11]
    c)      al-Hayula al-Ula (Materi Pertama)
                Materi pertama menurut Al-Razi adalah substansi yang kekal yang terdiri dari atom-atom. Setiap atom memiliki volume. Tanpa volume, pengumpulan atom-atom tidak bisa menjadi suatu yang berbentuk. Bila bumi dihancurkan maka ia juga terpisah-pisah dalam bentuk atom-atom. Materi yang padat menjadi substansi bumi, yang lebih renggang dari unsur bumi menjadi unsur air, yang lebih renggang lagi udara, dan yang terrenggang api.[12]
                Al-Razi berargumen penciptaan untuk bukti kekalnya materi, yaitu bahwa tindakan materi yang sedang dalam pembentukan, mensyaratkan adanya seseorang pencipta yang mendahuluinya dan adanya sebuah substrantum atau materi dimana tindakan itu berlangsung. Jadi, jika penciptaan itu kekal, maka materi yang dikenai oleh kekuatan pencipta itu juga kekal sebelum ia dikenai kekuatan tersebut.
                Manusia tidak akan mencapai dunia hakiki ini, kecuali dengan filsafat. Mereka yang mempelajari filsafat dan mengetahui dunia hakiki dan memperoleh pengetahuan akan selamat dari keadaan buruknya. Ruh-ruh ini akan tetap berada di dunia sampai ia disadarkan oleh filsafat akan rahasia dirinya kemudian akan diarahkan keepada dunia hakiki. Melalui filsafat manusia dapat memperoleh dunia yang sebenarnya, dunia sejati
    atau dunia hakiki.[13]
    d)     al-Makan al-Muthlaq (Tempat/Ruang Absolut)
                Ruang dibedakan menjadi dua macam, yaitu: ruang particular (al-makan al-juz’i) dan ruang universal(al-makan al-kully).
    Ruang particular terbatas dan terikat dengan sesuatu wujud yang menempatinya
    Sedangakan ruang universal tidak terikat dengan maujud dan tidak terbatas.
    e)      al-Zaman al-Muthlaq (Masa Absolut)
                Zaman absolute tidak aktif dan tidak pasif. Zaman dibagi menjadi dua, yaitu: relatif/terbatas (al-waqt) dan zaman universal (ad-dahr).

    2. Akal dan Agama
                Corak Pemikaran Ar-Razi adalah rasionalis elektis. Rasional artinya ia selau mencari kebenaran dengan pangkal tolak kekuatan akal dan elektis artinya selektif.[14] Hal ini tampak dalam halaman pendahuluan karyanya, al-Thib al-Ruhani, ia menulis : ” Tuhan segala puji bagi-Nya, yang telah memberi kita akal agar denganya kita dapat memperoleh sebanyak-banyaknya manfaat, inilah karunia terbaik Tuhan kepada kita. Dengan akal kita dapat melihat yang berguna untuk kita dan yang membuat hidup kita baik, dengan akal kita dapat mengetahui yang gelap, yang jauh, dan yang tersembunyi dari kita. Dengan akal pula kita dapat mengetahui tentang Tuhan, suatu pengetahuan tertinggi yang dapat kita peroleh. Jika akal sedemikian mulia dan penting maka kita tidak boleh melecehkannya, kita tidak boleh menentukannya, sebab dia adalah penentu, atau mengendalikanya sebab dia adalah pengendali, atau memerintahkannya sebab dia adalah pemerintah, tetapi kita harus merujuk kepadanya dalam segala hal dan menentukan masalah dengannya, serta kita harus sesuai dengan perintahnya.[15]
                Menurut Ar-Razi kita hendaknya mengembalikan segala urusan kepada akal, merubahnya dengan berpatokan kepadanya, bersandar kepadanya dalam segalanya. Kita juga harus menjalankan segala urusan sesuai ketentuannya, dan berhenti karena arahnya. Kita tidak boleh mengikuti hawa nafsu dan meninggalkan akal. Karena nafsu adalah ancaman baginya yang mengeruhkan kejernihan, memalingkannya dari jalan, cinta, tujuan dan konsistensinya.[16]
                Ar-Razi tidak percaya kepada Nabi-Nabi, sebab Nabi itu hanyalah pembawa kehancuran bagi manusia, ajaran Nabi-Nabi itu saling bertentangan, pertentangan itu akan membawa kehancuran manusia.[17]
                Menurutnya para Nabi tidak berhak mengklim bahwa dirinya memiliki keistimewaan khusus, baik fikiran maupun rohani, karena semua orang itu adalah sama dan keadilan tuhan serta hikmah-Nya mengharuskanya untuk tidak membedakanya antara seorang dengan yang lainnya. Lebih lanjut ia mengatakan bahwasanya tidaklah masuk akal bahwa tuhan mengutus para Nabi padahal mereka tidak luput dari pada kesalahan dan kekliruan. Setiap kaum hanya percaya kepada Nabinya dan tidak percaya kepada Nabi kaum  lain. Dan akibat dari inilah banyak terjadi konflik, peperangan dan kebencian antara bangasa karena kefanatikan kepada agama bangsa yang dianutnya.[18] Begitu juga dengan wahyu yang didakwahkan oleh para Nabi kebenrannya tidaklah benar adanya. Al-Qur’an dengan gaya bahasanya bukanlah mu’jizat bagi Nabi Muhammad ia hanya sebagai buku biasa. Nikmat akal lebihlah konkrit dari wahyu oleh sebab itu membaca buku-buku filsafat dan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya lebih berarti dari pada membaca buku-buku agama. Keberlangsungan agama hanyalah berasal dari tradisi, dari kepentingan para ulama yang diperalat oleh negara, dan dari upacara-upacara yang menyilaukan mata orang bodoh.
                Tidak mengherankan kalau pandangan hidup Ar-Razi membangkitkan banyak perlawanan dalam lingkaran tradisonal. Keahliannya dalam bidang kedokteran dipuja akan tetapi filsafatnya pada umumnya dicela disebabkan banyak mengandung kufurat. Tatkala diakhir hayatnya Ar-Razi mengalami kebutaan maka dikatakan bahwa itu adalah azab dan murka dari Allah karena anggapan liarnya. Karyanya juga sudah mendapatkan kecaman semasa dia hidup. Krtikan paling pedas terhadap karyanya adalah seorang ulama yang sebangsa dengannya juga yakni Abu Hatim Ar-Razi (933) dalam a’lam annubuwat. Berkat dari kritikan itu maka ajaran Ar-Razi dapat diketahui, karena tulisan aslinya telah musnah.[19]























    BAB III PENUTUP

    Kesimpulan
                Al-Razi adalah pemikir bebas non-kompromis, yang justru lebih menonjol dikenal di bidang kedokteran daripada filsa­fat, karena karyanya al-Hawi
    Perhatian utama filsafatnya adalah jiwa universal, yang menjadi titik sentral-logis penjelasannya tentang kejadian dunia dan adanya Sang Pencipta. Bahkan pada sisi ini al-Razi menawarkan teori berani dan orisinal tentang jiwa
                            Konsepsi filsafatnya yang paling menonjol, dan karena-nya menjadi ajaran pokok, adalah prinsip lima yang kekal, sebagai tengara keplatonikannya. Tetapi, prinsipnya bahwa dunia diciptakan dalam waktu dan bersifat sementara, membe­dakannya dari konsep Plato yang mempercayai bahwa dunia diciptakan dan bersifat (dalam waktu) abadi. Keduanya berte­mu dalam keabadian jiwa dan Pencipta, sebagai pernyataan aksiomatik
                Sementara konsepnya tentang moral terbreakdown oleh konsep “transmigrasi jiwa”nya. Dengan konsep moral ini al-Razi bermaksud memuliakan hewan-hewan buas untuk diangkat ke tempat yang lebih baik, dengan cara membu
     Kemudian, konsepnya mengenai kenabian dan agama, berin­tikan penolakan kepada para Nabi dan sakralisasi kepada akal. Konsep ini merupakan bukti keberaniannya sehingga dikenal sebagai pemikir bebas non-kompromis.
                Keseluruhan konsep yang ditawarkan al-Razi memperlihat­kan bahwa dia adalah seorang ateis sekaligus monoteis; dua titik berlawanan yang menyatu secara unik-pelik.
                Dalam peta filsafat dunia Islam, ciri platonik al-Razi membedakannya dari al-Kindi yang Arestotelik dan al-Farabi yang Neo-Platonik (mendamaikan filsafat antara Aristoteles dan Plato). Selain itu, konsep “lima kekal” al-Razi yang telah memberikan solusi dalam persoalan penciptaan dunia merupakan jasa yang berharga, tidak saja bagi para filosof sejak Plato, akan tetapi juga para filosof Islam setelahnya. Bagi filosof Islam sesudahnya, al-Razi telah membuka jalan bagi mereka untuk mengembangkan persoalan proses penciptaan dunia.

    DAFTAR PUSTAKA

    M.M.Syarif, (Ed)., The History of Muslim Philosophy, (New York: Dovers Publications, 1967), hlm. 434. Dalam Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A.
                M. Mahdi Allam, Da’irat al-ma’arif al-islamiyyat, Juz. IX, ( kairo: tt.),hlm.451.
                Al-Razi, Rasa’il falsafiyyat, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidat, 1982), hlm.109.
                Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, Terj. R. Mulyadhi Kartanegara, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), Cet. 1, hlm.151.  Lihat juga Harun Nasution,op.cit., hlm. 17.
                Abu Bakar Al-Razi, al-Thibb al-Ruhani, Tahkik ‘Abd Al-Lathif  Al-Ghaid, (Kairo: Maktabat al-Nahdat al-Mishriyyat, 1978), hlm. 12.
                Madjid Fakhry, op.cit., hlm. 157
                Al-Razi, Rasa’il op.cit., hlm.284.
                Ibn Muhammad Zakariya al-Razi, Al-Thib al-Puhani, ‘Abd al-Lathif al-Ghaid (ed) (Kairo: Maktabag al-Nahdah al-Mishriyyah, 1978). Hlm.11.
                Drs. H. A. Mustofa, Op.Cit, hal 20
                Misla Muhammad Amien, Epistimologi Islam, Jakarta: UIP, hal.46
                Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet III, hal.26
                Dr. Ismail Asy-Syarafa, Op.Cit, hal. 107
                Yusril Ali, Op.Cit, hal. 35
                Hasymsyah Nasution, Op.Cit, hal. 27
                JMW. Bakker SY, Sejarah Filsafat Dalam Islam, Yogyakarta: Penerbit





                    [1] M.M.Syarif, (Ed)., The History of Muslim Philosophy, (New York: Dovers Publications, 1967), hlm. 434. Dalam Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A.
                    [2]Ibid
                    [3]Ibid
                    [4]Menurut T.J. De Boer Al-Razi wafat tahun 923 M. Lihat bukunya: Tarikh al-Falsafah fi al-Islam, ditr. ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad ‘Abd Al-Hady Abu Zaidah, (Kairo: Mathba’ah Lajnat al-Ta’lif wa al-Tarjamat wal al-Nasyar, 1954), hlm. 115.
                    [5]M. Mahdi Allam, Da’irat al-ma’arif al-islamiyyat, Juz. IX, ( kairo: tt.),hlm.451.
                    [6]Al-Razi, Rasa’il falsafiyyat, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidat, 1982), hlm.109.
                    [7]Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, Terj. R. Mulyadhi Kartanegara, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), Cet. 1, hlm.151.  Lihat juga Harun Nasution,op.cit., hlm. 17.
                    [8] Harun Nasution, ibid
                    [9] Abu Bakar Al-Razi, al-Thibb al-Ruhani, Tahkik ‘Abd Al-Lathif  Al-Ghaid, (Kairo: Maktabat al-Nahdat al-Mishriyyat, 1978), hlm. 12. Sebenarnya pendapat Al-Razi tentang alam semesta tidak berbeda dengan Al-Farabi dan Ibnu Sina. Di sini hanya perbedaan semantik, yang oleh Al-Razi materi pertama kadim, dan alam semesta yang disusun dari materi asal itu baharu, tidak kadim. Sementara itu, oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina hal seperti itu disebut kadim.
                    [10]Madjid Fakhry, op.cit., hlm. 157
                    [11]Al-Razi, Rasa’il op.cit., hlm.284.
                    [12]Ibn Muhammad Zakariya al-Razi, Al-Thib al-Puhani, ‘Abd al-Lathif al-Ghaid (ed) (Kairo: Maktabag al-Nahdah al-Mishriyyah, 1978). Hlm.11.

                    [13] Drs. H. A. Mustofa, Op.Cit, hal 20
                    [14] Misla Muhammad Amien, Epistimologi Islam, Jakarta: UIP, hal.46
                    [15] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet III, hal.26
                    [16] Dr. Ismail Asy-Syarafa, Op.Cit, hal. 107
                    [17] Yusril Ali, Op.Cit, hal. 35
                    [18] Hasymsyah Nasution, Op.Cit, hal. 27
                    [19] JMW. Bakker SY, Sejarah Filsafat Dalam Islam, Yogyakarta: Penerbit Yayasan Kanisus, Cet I, hal 43-44BAB I PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang
                Manusia sebagai hamba Allah swt adalah satu-satunya makhluk yang paling istimewa diantara semua makhluk-Nya yang lain. Disamping dikaruniai akal dan pikiran, manusia ternyata adalah makhluk yang penuh dengan misteri dan rahasia-rahasia yang menarik untuk dikaji.
                Misteri itu justru sengaja dibuat Allah swt. Agar manusia memiliki rasa antusias yang tinggi untuk menguak dan mendalami keberadaan dirinya sebagai ciptaan Allah swt, untuk kemudian mengenali siapa pencipta-Nya.
                Dalam kaitanya dengan hal tersebut, ada seorang filusuf yang sangat mendewakan akal dalam menghadapi setiap kehidupan yang ada di hadapannya. Dia dikenal dengan nama “ Al-Razi “.
                Untuk itu, makalah ini secara sistematis akan membahas tentang al-Razi.

    1.2Rumusan Masalah
    1.      Siapa sebenarnya ar-Razi?
    2.      Apa saja karya-karya ar-Razi?
    3.      Bagaimana pemikiran ar-Razi mengenai filsafat Lima Kekal, Agama dan Rasio?

    1.3 Tujuan
    1.      Untuk mengetahui biografi ar-Razi
    2.      Untuk mengetahui apa saja karya-karya Al-Razi
    3.      Untuk mempelajari pandangan serta pemikiran Al-Razi mengenai:
    a.    Filsafat Lima Kekal
    b.    Agama dan Rasio




    BAB II PEMBAHASAN

    2.1 Biografi Al-Razi
                Nama lengkap Al-Razi adalah Abu Bakar Muhammad ibnu Zakaria ibnu Yahya Al-Razi. Dalam wacana keilmuan barat dikenal dengan sebutan Rhazes. Ia dilahirkan di Rayy, sebuah kota tua yang dulu bernama Rhogee, dekat Teheran, Republik Islam Iran pada tanggal 1 Sya’ban 251 M/865 M.[1]
                Pada masa mudanya ia pernah menjadi tukang intan, penukar uang, dan pemain kecapi. Kemudian, ia menaruh perhatian yang besar terhadap ilmu kimia dan meninggalkannya setelah matanya terserang penyakit akibat eksperimen-eksperimen yang dilakukannya. Setelah itu ia beralih mendalami ilmu kedokteran dan filsafat.[2]
                Al-Razi terkenal sebagi seorang dokter yang dermawan, penyayang kepada pasien-pasiennya, karena itu ia sering memberikan pengobatan cuma-cuma kepada orang-orang miskin. Karena reputasinya dibidang kedokteran ini, Al-Razi pernah diangkat menjadi kepala rumah sakit Rayy selama enam tahun pada masa pemerintahan Gubernur Al-Mansur ibnu Ishaq. Kemudian ia pindah ke Baghdad dan memimpin rumah sakit di sana pada masa pemarintahan Khalifah Al-Muktafi.[3] Setelah Al-Muktafi meninggal, ia kembali ke kota kelahirannya, kemudian ia berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri lainnya dan meninggal dunia pada tanggal 5 Sya’ban 313H/27 Oktober 925 dalam usia 60 tahun.[4]
                Informasi yang dikemukakan al-Qifti dan Usaibi’ah sulit dipercaya. Menurutnya Al-Razi belajar ilmu kedokteran kepada ‘Ali ibn Rabban Ath-Thabari, seorang dokter dan filosof. Padahal ar-Razi lahir 10 tahun setelah Ali ibn Rabban Al-thabari meninggal dunia. Menurut Al-Nadim yang benar adalah ar-Razi belajar filsafat kepada Al-Balkhi, menguasai filsafat dan ilmu-ilmu kuno.[5]

    2.2 Karya-Karya Ar-Razi
                Ar-Razi termasuk seorang filosof yang rajin belajar dan menulis sehingga ia banyak menghasilkan karya tulis. Dalam autobiografinya pernah ia katakan, bahwa ia telah menulis tidak kurang dari 200buah karya tulis dalam berbagai ilmu pengetahuan.[6]  
                Karya tulisnya dalam bidang kimia yang terkenal ialah kitab Al-Asraryang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Geard fo Cremon. Dalam bidang medis karyanya yang terbesar adalah al-Hawiyang merupakan ensiklopedia ilmu kedokteran, di terjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan judul Continensyang tersebar luas dan menjadi buku pegangan utama di kalangan kedokteran Eropa sampai abad ke 17 M.[7]
                Bukunya dibidang kedokteran ialah al-Mansuri Liber al-Mansoris 10 jilid di salin kedalam berbagai bahasa barat sampai akhir abad XV M. Kitab al-Judar wa al-Hasbah tulisannya yang berisikan analisis tentang penyakit cacar dan campak beserta pencegahanya, di terjemahkan kedalam berbagai bahasa barat dan terakhir ke dalam bahasa inggris tahun 1847 M, dan di anggap buku wajib ilmu kedokteran barat. Kemudian, buku-bukunya yang lain ialah al-Thibb al-Ruhani, al-Sirah al-Falsafiah, dan lainya. Sebagian karya tulisnya telah di kumpulkan menjadi satu kitab yang bernama al-Rasa’il Falsafiyyat.
                Amat disayangkan karya tulis al-Razi lebih banyak yang hilang dari pada yang masih ada sehingga sulit mencantumkan nama buku dan isinya satu persatu.\




    2.3 Filsafat Al-Razi
    1.        Metafisika
                Filsafat Al-Razi terkenal dengan ajarannya “Lima yang Kekal” ( five Co-eternal principles/ al-mabadi’ al-Qadimah al-Khamsah ) yaitu:
    a.       al-Bary Ta’ala (Allah Ta’ala),
    b.      al-Nafs al-Kulliyat (Jiwa Universal),
    c.        al-Hayula al-Ula (Materi Pertama),
    d.       al-Makan al-Muthlaq (Tempat/Ruang Absolut) dan
    e.        al-Zaman al-Muthlaq (Masa Absolut).
                Menurut Al-Razi dua dari lima kekal itu hidup dan aktif: Allah dan Jiwa/Roh Universal. Satu diantaranya tidak hidup dan pasif, yakni materi. Dua lainnya tidak hidup, tidak aktif, dan tidak pula pasif, yakni ruang dan masa.[8]
    a)      al-Bary Ta’ala (Allah Ta’ala)
                Menurut Al-Razi Allah maha pencipta dan Pengatur seluruh alam ini. Alam diciptakan oleh Allah bukan dari tidak ada (creatio ex nihilo), tetapi dari bahan yang telah ada. Oleh karena itu, menurutnya alam semesta tidak kadim, baharu, meskipun materi asalnya kadim, sebab penciptaan di sini dalam arti disusun dari bahan yang telah ada.[9] Penciptaan dari tiada, bagi Al-Razi, tidak dapat dipertahankan secara logis. Pasalnya, dari satu sisi bahan alam yang tersusun dari tanah, udara, air, api, dan benda-benda langit berasal dari materi pertama yang telah ada sejak azali. Pada sisi lain, jika Allah menciptakan alam dari tiada, tentu ia terikat pada penciptaan segala sesuatu dari tiada karena hal ini merupakan modus perbuatan yang paling sederhana dan cepat. Namun kenyataannya, penciptaan seperti itu suatu hal yang tidak mungkin.[10].
               

    b)     al-Nafs al-Kulliyat (Jiwa Universal)
                Jiwa Universal merupakan al-Mabda’ al-qadim al-sany (sumber kekal yang kedua). Padanya terdapat daya hidup dan bergerak, sulit diketahui karena ia tanpa rupa tetapi karena ia dikuasai naluri untuk bersatu dengan al-hayula al-ula (materi pertama), terjadilah pada zatnya rupa yang dapat menerima fisik. Sementara itu, materi pertama tanpa fisik, Allah datang menolong roh dengan menciptakan alam semesta termasuk tubuh manusia yang ditempati roh.
                Begitu pula dengan akal, ia merupakan limpahan dari Allah. Tujuan penciptaannya untuk menyadarkan jiwa yang terlena dalam fisik manusia, bahwa tubuh itu bukanlah tempat yang sebenarnya, bukan tempat kebahagiaan dan tempat abadi. Kesenangan dan kebahagiaan sebenarnya adalah melepaskan diri dari materi dengan filsafat.[11]
    c)      al-Hayula al-Ula (Materi Pertama)
                Materi pertama menurut Al-Razi adalah substansi yang kekal yang terdiri dari atom-atom. Setiap atom memiliki volume. Tanpa volume, pengumpulan atom-atom tidak bisa menjadi suatu yang berbentuk. Bila bumi dihancurkan maka ia juga terpisah-pisah dalam bentuk atom-atom. Materi yang padat menjadi substansi bumi, yang lebih renggang dari unsur bumi menjadi unsur air, yang lebih renggang lagi udara, dan yang terrenggang api.[12]
                Al-Razi berargumen penciptaan untuk bukti kekalnya materi, yaitu bahwa tindakan materi yang sedang dalam pembentukan, mensyaratkan adanya seseorang pencipta yang mendahuluinya dan adanya sebuah substrantum atau materi dimana tindakan itu berlangsung. Jadi, jika penciptaan itu kekal, maka materi yang dikenai oleh kekuatan pencipta itu juga kekal sebelum ia dikenai kekuatan tersebut.
                Manusia tidak akan mencapai dunia hakiki ini, kecuali dengan filsafat. Mereka yang mempelajari filsafat dan mengetahui dunia hakiki dan memperoleh pengetahuan akan selamat dari keadaan buruknya. Ruh-ruh ini akan tetap berada di dunia sampai ia disadarkan oleh filsafat akan rahasia dirinya kemudian akan diarahkan keepada dunia hakiki. Melalui filsafat manusia dapat memperoleh dunia yang sebenarnya, dunia sejati
    atau dunia hakiki.[13]
    d)     al-Makan al-Muthlaq (Tempat/Ruang Absolut)
                Ruang dibedakan menjadi dua macam, yaitu: ruang particular (al-makan al-juz’i) dan ruang universal(al-makan al-kully).
    Ruang particular terbatas dan terikat dengan sesuatu wujud yang menempatinya
    Sedangakan ruang universal tidak terikat dengan maujud dan tidak terbatas.
    e)      al-Zaman al-Muthlaq (Masa Absolut)
                Zaman absolute tidak aktif dan tidak pasif. Zaman dibagi menjadi dua, yaitu: relatif/terbatas (al-waqt) dan zaman universal (ad-dahr).

    2. Akal dan Agama
                Corak Pemikaran Ar-Razi adalah rasionalis elektis. Rasional artinya ia selau mencari kebenaran dengan pangkal tolak kekuatan akal dan elektis artinya selektif.[14] Hal ini tampak dalam halaman pendahuluan karyanya, al-Thib al-Ruhani, ia menulis : ” Tuhan segala puji bagi-Nya, yang telah memberi kita akal agar denganya kita dapat memperoleh sebanyak-banyaknya manfaat, inilah karunia terbaik Tuhan kepada kita. Dengan akal kita dapat melihat yang berguna untuk kita dan yang membuat hidup kita baik, dengan akal kita dapat mengetahui yang gelap, yang jauh, dan yang tersembunyi dari kita. Dengan akal pula kita dapat mengetahui tentang Tuhan, suatu pengetahuan tertinggi yang dapat kita peroleh. Jika akal sedemikian mulia dan penting maka kita tidak boleh melecehkannya, kita tidak boleh menentukannya, sebab dia adalah penentu, atau mengendalikanya sebab dia adalah pengendali, atau memerintahkannya sebab dia adalah pemerintah, tetapi kita harus merujuk kepadanya dalam segala hal dan menentukan masalah dengannya, serta kita harus sesuai dengan perintahnya.[15]
                Menurut Ar-Razi kita hendaknya mengembalikan segala urusan kepada akal, merubahnya dengan berpatokan kepadanya, bersandar kepadanya dalam segalanya. Kita juga harus menjalankan segala urusan sesuai ketentuannya, dan berhenti karena arahnya. Kita tidak boleh mengikuti hawa nafsu dan meninggalkan akal. Karena nafsu adalah ancaman baginya yang mengeruhkan kejernihan, memalingkannya dari jalan, cinta, tujuan dan konsistensinya.[16]
                Ar-Razi tidak percaya kepada Nabi-Nabi, sebab Nabi itu hanyalah pembawa kehancuran bagi manusia, ajaran Nabi-Nabi itu saling bertentangan, pertentangan itu akan membawa kehancuran manusia.[17]
                Menurutnya para Nabi tidak berhak mengklim bahwa dirinya memiliki keistimewaan khusus, baik fikiran maupun rohani, karena semua orang itu adalah sama dan keadilan tuhan serta hikmah-Nya mengharuskanya untuk tidak membedakanya antara seorang dengan yang lainnya. Lebih lanjut ia mengatakan bahwasanya tidaklah masuk akal bahwa tuhan mengutus para Nabi padahal mereka tidak luput dari pada kesalahan dan kekliruan. Setiap kaum hanya percaya kepada Nabinya dan tidak percaya kepada Nabi kaum  lain. Dan akibat dari inilah banyak terjadi konflik, peperangan dan kebencian antara bangasa karena kefanatikan kepada agama bangsa yang dianutnya.[18] Begitu juga dengan wahyu yang didakwahkan oleh para Nabi kebenrannya tidaklah benar adanya. Al-Qur’an dengan gaya bahasanya bukanlah mu’jizat bagi Nabi Muhammad ia hanya sebagai buku biasa. Nikmat akal lebihlah konkrit dari wahyu oleh sebab itu membaca buku-buku filsafat dan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya lebih berarti dari pada membaca buku-buku agama. Keberlangsungan agama hanyalah berasal dari tradisi, dari kepentingan para ulama yang diperalat oleh negara, dan dari upacara-upacara yang menyilaukan mata orang bodoh.
                Tidak mengherankan kalau pandangan hidup Ar-Razi membangkitkan banyak perlawanan dalam lingkaran tradisonal. Keahliannya dalam bidang kedokteran dipuja akan tetapi filsafatnya pada umumnya dicela disebabkan banyak mengandung kufurat. Tatkala diakhir hayatnya Ar-Razi mengalami kebutaan maka dikatakan bahwa itu adalah azab dan murka dari Allah karena anggapan liarnya. Karyanya juga sudah mendapatkan kecaman semasa dia hidup. Krtikan paling pedas terhadap karyanya adalah seorang ulama yang sebangsa dengannya juga yakni Abu Hatim Ar-Razi (933) dalam a’lam annubuwat. Berkat dari kritikan itu maka ajaran Ar-Razi dapat diketahui, karena tulisan aslinya telah musnah.[19]























    BAB III PENUTUP

    Kesimpulan
                Al-Razi adalah pemikir bebas non-kompromis, yang justru lebih menonjol dikenal di bidang kedokteran daripada filsa­fat, karena karyanya al-Hawi
    Perhatian utama filsafatnya adalah jiwa universal, yang menjadi titik sentral-logis penjelasannya tentang kejadian dunia dan adanya Sang Pencipta. Bahkan pada sisi ini al-Razi menawarkan teori berani dan orisinal tentang jiwa
                            Konsepsi filsafatnya yang paling menonjol, dan karena-nya menjadi ajaran pokok, adalah prinsip lima yang kekal, sebagai tengara keplatonikannya. Tetapi, prinsipnya bahwa dunia diciptakan dalam waktu dan bersifat sementara, membe­dakannya dari konsep Plato yang mempercayai bahwa dunia diciptakan dan bersifat (dalam waktu) abadi. Keduanya berte­mu dalam keabadian jiwa dan Pencipta, sebagai pernyataan aksiomatik
                Sementara konsepnya tentang moral terbreakdown oleh konsep “transmigrasi jiwa”nya. Dengan konsep moral ini al-Razi bermaksud memuliakan hewan-hewan buas untuk diangkat ke tempat yang lebih baik, dengan cara membu
     Kemudian, konsepnya mengenai kenabian dan agama, berin­tikan penolakan kepada para Nabi dan sakralisasi kepada akal. Konsep ini merupakan bukti keberaniannya sehingga dikenal sebagai pemikir bebas non-kompromis.
                Keseluruhan konsep yang ditawarkan al-Razi memperlihat­kan bahwa dia adalah seorang ateis sekaligus monoteis; dua titik berlawanan yang menyatu secara unik-pelik.
                Dalam peta filsafat dunia Islam, ciri platonik al-Razi membedakannya dari al-Kindi yang Arestotelik dan al-Farabi yang Neo-Platonik (mendamaikan filsafat antara Aristoteles dan Plato). Selain itu, konsep “lima kekal” al-Razi yang telah memberikan solusi dalam persoalan penciptaan dunia merupakan jasa yang berharga, tidak saja bagi para filosof sejak Plato, akan tetapi juga para filosof Islam setelahnya. Bagi filosof Islam sesudahnya, al-Razi telah membuka jalan bagi mereka untuk mengembangkan persoalan proses penciptaan dunia.

    DAFTAR PUSTAKA

    M.M.Syarif, (Ed)., The History of Muslim Philosophy, (New York: Dovers Publications, 1967), hlm. 434. Dalam Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A.
                M. Mahdi Allam, Da’irat al-ma’arif al-islamiyyat, Juz. IX, ( kairo: tt.),hlm.451.
                Al-Razi, Rasa’il falsafiyyat, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidat, 1982), hlm.109.
                Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, Terj. R. Mulyadhi Kartanegara, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), Cet. 1, hlm.151.  Lihat juga Harun Nasution,op.cit., hlm. 17.
                Abu Bakar Al-Razi, al-Thibb al-Ruhani, Tahkik ‘Abd Al-Lathif  Al-Ghaid, (Kairo: Maktabat al-Nahdat al-Mishriyyat, 1978), hlm. 12.
                Madjid Fakhry, op.cit., hlm. 157
                Al-Razi, Rasa’il op.cit., hlm.284.
                Ibn Muhammad Zakariya al-Razi, Al-Thib al-Puhani, ‘Abd al-Lathif al-Ghaid (ed) (Kairo: Maktabag al-Nahdah al-Mishriyyah, 1978). Hlm.11.
                Drs. H. A. Mustofa, Op.Cit, hal 20
                Misla Muhammad Amien, Epistimologi Islam, Jakarta: UIP, hal.46
                Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet III, hal.26
                Dr. Ismail Asy-Syarafa, Op.Cit, hal. 107
                Yusril Ali, Op.Cit, hal. 35
                Hasymsyah Nasution, Op.Cit, hal. 27
                JMW. Bakker SY, Sejarah Filsafat Dalam Islam, Yogyakarta: Penerbit





                    [1] M.M.Syarif, (Ed)., The History of Muslim Philosophy, (New York: Dovers Publications, 1967), hlm. 434. Dalam Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A.
                    [2]Ibid
                    [3]Ibid
                    [4]Menurut T.J. De Boer Al-Razi wafat tahun 923 M. Lihat bukunya: Tarikh al-Falsafah fi al-Islam, ditr. ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad ‘Abd Al-Hady Abu Zaidah, (Kairo: Mathba’ah Lajnat al-Ta’lif wa al-Tarjamat wal al-Nasyar, 1954), hlm. 115.
                    [5]M. Mahdi Allam, Da’irat al-ma’arif al-islamiyyat, Juz. IX, ( kairo: tt.),hlm.451.
                    [6]Al-Razi, Rasa’il falsafiyyat, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidat, 1982), hlm.109.
                    [7]Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, Terj. R. Mulyadhi Kartanegara, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), Cet. 1, hlm.151.  Lihat juga Harun Nasution,op.cit., hlm. 17.
                    [8] Harun Nasution, ibid
                    [9] Abu Bakar Al-Razi, al-Thibb al-Ruhani, Tahkik ‘Abd Al-Lathif  Al-Ghaid, (Kairo: Maktabat al-Nahdat al-Mishriyyat, 1978), hlm. 12. Sebenarnya pendapat Al-Razi tentang alam semesta tidak berbeda dengan Al-Farabi dan Ibnu Sina. Di sini hanya perbedaan semantik, yang oleh Al-Razi materi pertama kadim, dan alam semesta yang disusun dari materi asal itu baharu, tidak kadim. Sementara itu, oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina hal seperti itu disebut kadim.
                    [10]Madjid Fakhry, op.cit., hlm. 157
                    [11]Al-Razi, Rasa’il op.cit., hlm.284.
                    [12]Ibn Muhammad Zakariya al-Razi, Al-Thib al-Puhani, ‘Abd al-Lathif al-Ghaid (ed) (Kairo: Maktabag al-Nahdah al-Mishriyyah, 1978). Hlm.11.

                    [13] Drs. H. A. Mustofa, Op.Cit, hal 20
                    [14] Misla Muhammad Amien, Epistimologi Islam, Jakarta: UIP, hal.46
                    [15] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet III, hal.26
                    [16] Dr. Ismail Asy-Syarafa, Op.Cit, hal. 107
                    [17] Yusril Ali, Op.Cit, hal. 35
                    [18] Hasymsyah Nasution, Op.Cit, hal. 27
                    [19] JMW. Bakker SY, Sejarah Filsafat Dalam Islam, Yogyakarta: Penerbit Yayasan Kanisus, Cet I, hal 43-44

    No comments:

    Post a Comment

    Review Lengkap Notebook ASUS Vivobook S14 S433: Membawa Spirit Dare To Be You

    Review Lengkap Notebook ASUS Vivobook S14 S433: Membawa Spirit Dare To Be You Menjadi diri sendiri adalah salah satu kunci sukses menggapa...