kantongtangan.com: Online Shop sebagai Refleksi Globalisasi Ekonomi
  • Home
  • Tentang kantongtangan.com
  • Kumpulan Puisi
  • Online Shop sebagai Refleksi Globalisasi Ekonomi

    Online Shop sebagai Refleksi Globalisasi Ekonomi
                Sedemikian mendalamnya aspek-aspek globalisasi terserap dan tersebar ke dalam ekonomi global, ternyata menjadikan globalisasi itu sendiri mudah ditemukan dan dirasakan di dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, kegiatan konvensional seperti belanja pun juga mengalami penyesuaian dengan mengambil peluang kehadiran teknologi internet yang juga menjadi ciri khas hadirnya globalisasi ekonomi, hingga akhirnya mendorong pelaku bisnis untuk mengembangkan inovasi strategi pemasaran baru yaitu dalam bentuk situs belanja online.
                Sebagai pembuktian dan untuk menguatkan argumen bahwa online shop memang merupakan bagian dari globalisasi ekonomi, maka setidaknya perlu untuk dilakukan tinjuan berdasarkan tiga aspek utama, yaitu proses, aktor, dan nilai, yang masing-masing dapat dielaborasi sebagai berikut.
                Dari aspek proses, penyebaran tren belanja online melalui media internet dilakukan secaratop-down dengan mengandalkan sistem jaringan yang mampu memberikan akses kepada siapapun untuk menyerap informasi yang disebarkan melalui system host, misalnya seperti eBay, amazon.com, ataupun kaskus.us. Online shop bekerja secara fair, tidak ada mekanisme paksaan, semua kembali kepada masing-masing individu sebagai aktor utama. Mekanisme belanja online membutuhkan kepercayaan, apabila nilai ini tidak ada, maka transaksi belanja melalui internet tidak akan pernah terjadi. Untuk itu, dalam prosesnya, ada mekanisme garansi, branding, ataupun upaya lain untuk menunjukkan kualifikasi dari produk yang dipasarkan. Hal ini mengindikasikan adanya implementasi comparative advantages[7] yang semakin berkembang menjadi competitive advantages[8], sehingga strategi pemasaran menjadi penting, karena kompetisi di dalam mekanisme pasar cenderung tidak rasional dan mengalami segmentasi[9]
                Kemudian dari segi aktor, online shop dikembangkan oleh sebagian besar perusahaan multinasional dan juga individu, tanpa adanya mekanisme intervensi yang berlebihan dari negara, kecuali dalam upayanya mengatasi cybercrime yang menjadi sideeffect dari sistem belanja online ini, melalui adanya implementasi regulasi dan monitoring. Terlepas dari itu, dominansi MNC dalam sistem belanja online memang sangat besar. Terdapat setidaknya 500 perusahaan multinasional yang memiliki jaringan “global sales”,[10] dan dalam kontinuitasnya disokong oleh berbagai perusahaan multinasional yang bergerak dalam bidang lain namun berkorelasi dalam menunjang adanya sistem komersial ini Misalnya, kemajuan teknologi juga salah satunya dilihat dari semakin mudahnya mobilitas antar negara dan semakin murahnya biaya transportasi. Hal ini didukung oleh pernyataan Thomas.L.Friedman, seorang hiperglobalis positif dalam bukunya yang fenomenal, berjudul The Lexus and The Olive Tree :[11]
    “Technologically speaking, it is different in that the previous era of globalization was built around falling transportations cost. Thanks to the intervention of railroad, the steamship, and the automobile, people could get to a lot more places faster and cheaper and they could trade with a lot more places faster and cheaper.”
    Maka, adanya perusahaan multinasional yang melayani jasa pengiriman barang internasional, seperti FedEx sebagai salah satu yang paling sukses, juga mendukung keberlangsungan transaksi belanja online.
                Sementara dalam tinjauan nilai, sistem belanja online menawarkan adanya efisiensi yang diorganisasikan ke dalam skala ekonomi. Hal ini seolah sangat meyakinkan, dimana mekanisme transaksi virtual ini mencoba untuk reasonable dan affordable, sehingga konsumen lebih memilih memanfaatkan peluang ini dengan adanya kepastian untuk memperoleh informasi dan ketersediaan produk yang diinginkan, daripada harus mendatangi toko real-nya dengan risiko produk belum tentu tersedia sehingga lebih sulit lagi memperoleh informasi bahkan mendapatkan produk tersebut. Dengan kata lain, online shop menawarkan efisiensi yang dapat dianalogikan sebagai real-time world wide economic organizations and co-ordination, yang direfleksikan dengan kompresi ruang dan waktu[12]
                Diluar tiga faktor utama di atas, terdapat aspek derivatifyang penting di sini, yaitu mengenai standardisasi. Di dalam prakteknya, sistem belanja online secara kompetitif memaksa adanya suatu standardisasi produk, dengan labeling tertentu yang mengindikasikan bahwa produk tersebut memiliki standar internasional. Selain itu, terdapat juga standardisasi mekanisme pembayaran, dengan munculnya sebuah inovasi baru transaksi internasional, yaitu melalui PayPal.[13]
                Berdasarkan tinjauan aspek di atas, maka dapat dikatakan bahwa sistem belanja online memang merupakan bagian dari fenomena globalisasi ekonomi, apabila dilihat dari proses yang berlangsung, siapa saja aktor-aktor yang berpartisipasi dan berinteraksi di dalamnya, nilai apa yang diglobalkan oleh sistem belanja ini, serta adanya standardisasi yaitu dalam hal produk yang dikomersialkan serta standardisasi dalam hal mekanisme pembayaran.

    Online Shop sebagai Media Transmisi Kultur Konsumerisme Global
                Internet, online shop,dan konsumerisme. Ketiga hal ini merefleksikan adanya modernisasi dalam pola perilaku masyarakat. Terkait dengan globalisasi ekonomi, maka modernitas secara inheren juga merupakan nilai yang terglobalkan.[14] Dalam konteks ini, adanya pemanfaatan internet sebagai sebuah strategi pemasaran, secara langsung berkorelasi dengan kultur konsumerisme yang juga secara sengaja disebarkan melalui media tersebut dengan orientasi maksimalisasi profit dengan menjual apa yang dikenal sebagai gaya hidup “modern” yang sarat dengan nilai-nilai Westernisasi. Peluang inilah yang dimanfaatkan oleh MNC dan para pelaku bisnis.
                Dalam proses pentransimisian nilai-nilai konsumerisme, situs belanja online memiliki beberapa strategi, antara lain sebagai berikut : Pertama, situs belanja online lebih banyak menonjolkan merk-merk produk tertentu yang dianggap prestisius karena telah mengalami branding secara massif oleh media untuk mengangkat value dari produk tersebut sehingga memiliki nilai jual lebih, dapat diterima secara global, dan membuat konsumen mendapat kepuasan ketika dapat memiliki produk tersebut. Kedua, dalam beberapa kasus, situs belanja online memang merupakan strategi perluasan pemasaran bagi suatu perusahaan tertentu, sehingga di samping menyediakan informasi secara online, konsumen juga dapat menemukan produk tersebut di toko. Namun, dalam beberapa kasus lain, memang terdapat situs belanja online yang tidak memiliki toko real, dengan keunikan produk yang ditawarkan maka satu-satunya cara untuk dapat memperoleh produk hanya dapat dilakukan melalui transaksi di situs tersebut. Dengan demikian, orisinalitas produk terjaga dan konsumen merasa yakin tentang apa yang mereka sedang beli. Sebaga contohnya adalah toko ritel online eBay yang selalu menjadi pasar utama untuk penjualan produk-produk unik dan high class.Ketiga, konsumerisme yang ditransmisikan melalui situs belanja online ternyata juga disusupi dengan transmisi nilai-nilai yang bersifat addictive yang dapat dilihat dengan banyaknya user aktif yang terdaftar sebagai member dalam situs tersebut dan menggerakkan berbagai forum online. Bahkan dalam perkembangannya situs belanja online seperti eBay tidak hanya menjadi tempat transaksi belanja saja tetapi juga menjadi tempat lelang virtual. Hal ini juga dipengaruhi oleh manuver eBay yang dalam perkembangannya mangakuisisi Skype sebagai perusahaan layanan pesan dan telepon online, kemudian didorong oleh pertumbuhan iklan, serta ditunjang adanya PayPal yang juga turut diakuisisi.
                Mencoba mengelaborasi lebih lanjut, dalam peranannya sebagai media transmisi kultur konsumerisme global, online shop memposisikan diri sebagai aktor yang cukup signifikan dalamcommercial acts, seperti advertising, promoting, maupun penyedia dari produk-produk yang diidentifikasikan dengan konsumerisme.

    Krisis Finansial Global 2008 dan Implikasinya terhadap Daya Beli Konsumen
                Krisis finansial global merupakan krisis ekonomi dan keuangan yang berawal pada Juli 2007 dan mencapai puncaknya pada 2008. Krisis ini bersumber di Amerika Serikat dan diyakini merupakan akibat dari produk derivatif[15] yang dihasilkan dari subprime mortgage.[16] Persoalan muncul ketika era low interest rate untuk subprime mortgage berakhir, padahal pembiayaansubprime mortgage dilakukan oleh pihak ketiga yang berperan dalam menyebarkan produk derivatif ke seluruh dunia. Seiring dengan tingginya inflasi, maka suku bunga dinaikkan, dan mulailah muncul gagal bayar dalam jumlah yang sangat besar, karena para debitur dari subprime mortgage ini sebenarnya tidak layak mendapatkan kredit kepemilikan. Maka, selanjutnya hal ini menimbulkan kepanikan besar di kalangan investor dunia, menimbulkan efek sistemik global, yang ditandai dengan lesunya perekonomian serta menurunnya daya beli masyarakat di negara-negara yang ekonominya mengalami pertumbuhan negatif karena tidak mampu bertahan di tengah resesi.
                Indonesia merupakan satu dari sedikit negara yang mampu bertahan di tengah krisis, bersama dengan China dan India, yang tetap mampu mencatat angka pertumbuhan ekonomi positif, yaitu sebesar 4.4% di tahun 2009. Di tengah pemulihan perekonomian dunia pasca krisis, seharusnya negara-negara yang mencatat pertumbuhan ekonomi positif ini berperan sebagai inisiator untuk lebih memperbanyak konsumsi daripada saving. Hal ini dilakukan sebagai upayabalancing berbagai neraca perdagangan yang tidak seimbang, untuk menggiatkan kembali aktivitas ekonomi global. Dari logika berpikir ini, ketika situs belanja online dinilai mampu menggerakkan konsumerisme masyarakat, kemudian di satu sisi menyikapi drastisnya perkembangan angka melek teknologi di Indonesia, maka hal ini dapat dikatakan sebagai peluang bagi Indonesia sendiri untuk meningkatkan konsumsinya terkait upaya restrukturisasi ekonomi global yang terdampak oleh krisis. Jadi, signifikankah keberadaan situs belanja online dalam meningkatkan daya beli konsumen di Indonesia pasca krisis finansial global 2008 ? Seperti yang sudah dijelaskan di bab awal, untuk menghindari terjadinya bias makna dan menyederhanakan konteks pembahasan, maka dalam konteks ini konsumen yang dimaksud adalah para pengguna internet aktif di Indonesia.

    Signifikansi Situs Belanja Online terhadap Peningkatan Daya Beli Konsumen
    di Indonesia pasca Krisis Finansial Global 2008
                Apabila krisis finansial global terbukti berpengaruh terhadap penurunan pendapatan toko ritel online di Amerika Serikat, misalnya eBay, maka tidak demikian dengan yang terjadi di Indonesia. Dalam bahasan ini, eBay akan digunakan sebagai representasi dari situs belanja online yang akan menjadi bahasan analisis, karena eBay merupakan online shop dengan jumlah pengguna terbesar di dunia, yaitu sekitar 88 juta pelanggan, serta telah memiliki manajemen cabang di 39 negara, termasuk di Indonesia.
                A.C.Nielsen sebuah badan independen yang melakukan survei statistik mengenai fenomena belanja online di seluruh negara, mengungkapkan bahwa di tahun 2008, tercatat bahwa sebanyak 40% responden Indonesia menyatakan terbiasa membeli atau memesan sebuah produk secara online, dengan persentase paling banyak yaitu untuk pembelian tiket pesawat terbang. Sementara, survei lain membuktikan bahwa konsumen di Indonesia lebih banyak memanfaatkansearch engine untuk menemukan produk yang diinginkan, daripada mengunjungi secara langsung situs belanja tertentu. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat pemanfaatan situs belanja online di Indonesia belum terlalu maksimal, meskipun selalu menunjukkan peningkatan seiring dengan semakin meningkatnya pengguna internet, hingga mencapai angka 17 juta pengguna di tahun 2009, berdasarkan riset IDC.
                Tidak seperti di berbagai negara yang mengalami penurunan peningkatan transaksi online di era dan pasca krisis finansial global, di Indonesia justru yang terjadi adalah tren peningkatan jumlah transaksi online, terutama pasca situasi krisis. Berdasarkan data yang berhasil dihimpun dari eBay Indonesia, pada Mei 2009, nilai transaksi melalui internet (e-commerce) di dalam negeri mencapai angka USD 3.4 Miliar atau setara dengan sekitar Rp 35 Triliun. Sementara, total nilai produk yang ditransaksikan di Indonesia meningkat sebesar 52 % pada pertengahan tahun 2009.
                Angka yang cukup besar ini mengindikasikan bahwa Indonesia memiliki segmen pasar yang sangat potensial dan menjanjikan bagi pengembangan bisnis online, sebagaimana yang pernah diungkapkan Allis Ghim selaku direktur eBay Indonesia. Mengutip dari ekonomi Paul David, ekspansi dalam hal pasar teknologi inilah yang akan selalu dikejar oleh para pebisnis, mengingat investasi dalam bentuk teknologi informasi merupakan investasi yang paling menjanjikan di era globalisasi.[17] Data statistik yang telah disebutkan sebelumnya, secara fisik membuktikan hipotesis awal bahwa keberadaan online shop memang berpengaruh terhadap persebaran nilai-nilai konsumerisme yang diindikasikan dengan peningkatan daya beli konsumen di Indonesia melalui situs belanja online, terlepas dari adanya momentum krisis finansial global yang juga berdampak di Indonesia namun tidak serta merta melumpuhkan aktivitas ekonomi di sektor ini.

    Analisis
                Seperti halnya negara-negara berkembang yang merasakan efek dari penyerapan teknologi informasi, Indonesia merupakan salah satu negara yang dituntut untuk kompetitif dengan mampu memanfaatkan peluang dari globalisasi ekonomi, atau harus tersingkir dari kontestasi persaingan ekonomi global. Melalui beberapa data dan informasi yang telah disampaikan sebelumnya, dapat dielaborasi dan dianalisis mengenai setidaknya tiga signifikansi yang telah dihadirkan oleh situs belanja online terhadap konsumen Indonesia yang dalam hal ini merupakan refleksi dari dampak salah satu globalisasi ekonomi yang dapat ditemukan dengan mudah dalam keseharian masyarakat Indonesia, yaitu tren belanja di dunia maya.
                Pertama, konsumerisme yang telah dibahas di bab awal, akan selalu bergerak seiring dengan modernisasi dan penyerapan teknologi, yang menghubungkan distant localities dan berlaku vice versa.[18] Ketika sebuah negara melakukan modernisasi atau setidaknya membuka diri ke arah tersebut, maka transfer teknologi pasti terjadi sebagaimana yang dialami oleh Indonesia. Demikian juga, konsumerisme yang selama ini digadang-gadang secara psikologis sebagai kemerosotan independensi individu karena tidak mampu subsisten, juga bergerak secara linier ke dalam pola perilaku konsumsi masyarakat Indonesia yang menjadi penderita dari globalisasi. Kecenderungan tingginya konsumerisme di Indonesia ini  bersifat segmental, hanya terjadi pada kelas tertentu, yaitu kelompok masyarakat yang memiliki kedekatan akses dengan instrument modernisasi, yaitu teknologi yang setidaknya direfleksikan melalui kepemilikan telepon genggam dan akses internet.
                Kedua, krisis finansial global yang merupakan momentum resesi besar dalam ekonomi dunia memiliki dampak signifikan di hampir semua negara. Namun di Indonesia, krisis ini tidak berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi di level individu. Hal ini dikuatkan dengan justru semakin meningkatnya persentase pertumbuhan transaksi online di Indonesia pada kisaran pertengahan Mei 2009, tidak lama setelah krisis finansial global mencapai puncaknya di akhir 2008. Cukup mengejutkan bagaimana Indonesia memiliki daya survivalitas yang tinggi dalam menyikapi kemerosotan ekonomi akibat produk derivatif yang berdampak sistemik. Bahkan, ketika Indonesia tetap mencatat angka pertumbuhan positif, negara ekonomi maju yang lain seperti Jepang dan beberapa negara Uni Eropa seperti Jerman dan Perancis masih berjuang keluar dari resesi. Dari poin ini dapat diambil elaborasi penting bahwa di era globalisasi, konsumen Indonesia dalam hal ini para pengguna internet yang tergabung dalam komunitas online, berhasil memanfaatkan peluang globalisasi ekonomi, dengan mengambil manfaat lebih dan berbagai kemudahan yang ditawarkan oleh sistem belanja online, bahkan dalam situasi resesi sekalipun.
                Ketiga, terlepas dari stigma yang secara mendalam tertanam mengenai bagaimana kultur konsumerisme dibentuk dan dipersepsikan sebagai sebuah instrumen Amerikanisasi, Westernisasi, ataupun McDonaldisasi yang selama ini selalu diperjuangkan oleh para penentang globalisasi, maka dalam bahasan ini dapat ditemukan sebuah antitesis dari pandangan tersebut. Konsumerisme yang dicirikan dengan pemenuhan kebutuhan hidup yang tinggi serta kepemilikan yang berlebih terhadap komoditas tertentu, dalam tataran praktisnya justru memunculkan adanya manfaat ekonomi yang lebih luas. Lesunya perekonomian global pasca krisis yang ditandai dengan semakin mandeknya aktivitas konsumsi dinilai justru membahayakan dan tidak akan mempercepat perbaikan ekonomi. Bagaimanapun aktivitas produksi terus berjalan demi kelangsungan korporasi meskipun akan mengalami penurunan volume produksi karena menyesuaikan dengan situasi krisis. Tetapi pertanyaannya, siapakah yang akan melengkapi siklus aktivitas ekonomi tersebut ? untuk siapakah atau konsumen yang manakah barang-barang tersebut dihasilkan apabila daya beli masyarakat sangat rendah ? Dari poin ini dapat dijawab bagaimana posisi dan pentingnya eksistensi kultur konsumerisme di dalam masyarakat global.

    Kesimpulan
                Situs belanja online merupakan salah satu agen komersial yang ikut mentransmisikan nilai-nilai konsumerisme dalam level global. Di Indonesia, hal ini dapat dirasakan dengan semakin banyaknya pengguna internet yang mencicipi sistem transaksi online. Dalam situasi krisis finansial global 2008 dan setelah krisis, ternyata tidak terjadi angka penurunan jumlah transaksi online di Indonesia. Hal yang muncul justru sebaliknya, tren belanja online semakin meningkat dan konsumen di Indonesia justru semakin antusias dalam melihat adanya peluang dari bisnis online ini. Kondisi ini di samping mengindikasikan kultur konsumerisme yang semakin menyusupi pola kehidupan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat yang terintegrasi ke dalam sistem global, ternyata juga dapat mengindikasikan bahwa konsumerisme tidak serta merta diperspesikan secara negatif, kembali lagi kepada konteksnya. Dari bahasan ini dapat dismpulkan bahwa online shop yang merupakan media transmisi kultur konsumerisme global berkontribusi cukup signifikan dalam peningkatan daya beli konsumen di Indonesia pasca krisis finansial global 2008.

    Referensi Pustaka

    Baylis, John dan Steve Smith (eds).2001.The Globalization of World Politics an Introduction to International Relations Second Edition. Oxford: Oxford University Press
    Friedman, Thomas.L. 2000. The Lexus and the Olive Tree. New York : Anchor Books
    Giddens, Anthony. 1990. The Consequences of Modernity. Cambridge : Polity Press
    Gilpin, Robert. 2002. Tantangan Kapitalisme Global : Ekonomi Dunia Abad ke-21. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada
    Ravenhill, John. 2008. Global Political Economy. Oxford : Oxford University Press
    Ritzer, George. 2006. The Globalization of Nothing : Mengkonsumsi Kehampaan di Era Globalisasi. Yogyakarta : Universitas Atma Jaya
    Steger, Manfred B. 2003.Globalization a Very Short Introduction.Oxford: Oxford University Press
    Wolf, Martin.2007. Globalisasi Jalan Menuju Kesejahteraan. Jakarta : Freedom Institute

    Referensi Online

    Varman, Rohit. Media. Rising Consumer Culture, and the Working Class. Kanpur : Kanpur University Press. Diakses dari www.mngt.waikato.ac.nz/ejrot.cmsconference/2005/.../varman.pdf
    Warganegara,Arizka. 2009. Globalisasi : Pendekatan dalam Ilmu Sosial pengaruhnya terhadap perkembangan teknologi. Diakses dari arizka-giddens.blogspot.com/2009_10_01_archive.html
    www.witiger.com/ecommerce/ecommercestatistics.com/htm.
    ________________________________________
    [1] Baylis, John dan Steve Smith (eds).2001.The Globalization of World Politics an Introduction to International Relations Second Edition. Oxford: Oxford University Press. Hal 338.
    [2] Ritzer, George. 2006. The Globalization of Nothing : Mengkonsumsi Kehampaan di Era Globalisasi. Yogyakarta : Universitas Atma Jaya. Hal 100
    [3] Steger, Manfred B. 2003.Globalization a Very Short Introduction.Oxford: Oxford University Press.
    [4] Materi Kuliah Globalisasi. 2010. Jurusan Ilmu Hubungan Internasional. Fisipol UGM.
    [5] Warganegara,Arizka. 2009. Globalisasi : Pendekatan dalam Ilmu Sosial pengaruhnya terhadap perkembangan teknologi. Diakses dari arizka-giddens.blogspot.com/2009_10_01_archive.html
    [6] Varman, Rohit. Media. Rising Consumer Culture, and the Working Class. Kanpur : Kanpur University Press. Hal 3. Diakses dari www.mngt.waikato.ac.nz/ejrot.cmsconference/2005/.../varman.pdf
    [7] Comparative Advantages merupakan suatu kondisi dimana produsen secara relatif lebih efisien untuk memproduksi setidaknya satu produk meskipun kurang memiiki keuntungan absolut, karena yang ditekankan adalah spesialisasi.
    [8] Competitive Advantages merupakan kekuatan bersaing dari sebuah ekonomi yan diturunkan dari adanya kapasitas perusahaan dalam beberapa sektor..
    [9] Wolf, Martin.2007. Globalisasi Jalan Menuju Kesejahteraan. Jakarta : Freedom Institute. Hal xiii
    [10] Ravenhill, John. 2008. Global Political Economy. Oxford : Oxford University Press. Hal 397
    [11] Friedman, Thomas.L. 2000. The Lexus and the Olive Tree. NY: Anchor Books. Hal xviii
    [12] Ravenhill, John. 2008. Op.Cit. Hal 381
    [13] Paypal  merupakan sebuah sistem online yang memungkinkan pembayaran secara online melalui internet, sehingga tidak ada biaya pengiriman. Paypal menyediakan jasa untuk para pemilik situs e-commerce, lelangan, dan jenis usaha lain. Diakuisisi oleh eBay pada 2002 seharga USD 1.5 miliar
    [14] Ibid. Hal 304
    [15] Derivatif diciptakan dan digunakan sebagai alat pelindung nilai dari perdagangan saham, mata uang, dan komoditas. Di era krisis finansial global 2008, produk derivatif dituding sebagai penyebab jatuhnya harga saham di seluruh penjuru dunia, meskipun di negara tersebut belum melakukan transaksi atas produk derivatif.
    [16] Subprime Mortgage merupakan kredit kepemilikan rumah dengan risiko tinggi, diberikan kepada debitur yang tidak memiliki credit history serta tidak memiliki repayment capacity yang baik.
    [17] Gilpin, Robert. 2002. Tantangan Kapitalisme Global : Ekonomi Dunia Abad ke-21. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada. Hal 19
    [18] Giddens, Anthony. 1990. The Consequences of Modernity. Cambridge : Polity Press. Hal 21

    No comments:

    Post a Comment

    Review Lengkap Notebook ASUS Vivobook S14 S433: Membawa Spirit Dare To Be You

    Review Lengkap Notebook ASUS Vivobook S14 S433: Membawa Spirit Dare To Be You Menjadi diri sendiri adalah salah satu kunci sukses menggapa...