kantongtangan.com: Kemiskinan dan Dilema
  • Home
  • Tentang kantongtangan.com
  • Kumpulan Puisi
  • Kemiskinan dan Dilema

    A. Pengertian Kemiskinan
    Kemiskinan sebagai fenomena sosial selalu ada dalam setiap kehidupan masyarakat dimanapun. Menurut Suparlan kemiskinan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang rendah ini secara langsung nampak pengaruhnya terhadap tingkat keadaan kesehatan, kehidupan moral dan rasa harga diri mereka yang tergolong sebagai orang miskin.
    Menurut Ritonga memberikan definisi bahwa kemiskinan adalah kondisi kehidupan yang serba kekurangan yang dialami seorang atau rumah tangga sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan minimal atau yang layak bagi kehidupannya. Kebutuhan dasar minimal yang dimaksud adalah yang berkaitan dengan kebutuhan pangan, sandang, perumahan dan kebutuhan sosial yang diperlukan oleh penduduk atau rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak.
    Kemiskinan merupakan situasi serba kekurangan yang terjadi bukan dikehendaki oleh si miskin. Penduduk pada umumya ditandai oleh rendahnya tingkat pendidikan, produktivitas kerja, pendapatan, kesehatan, dan gizi serta kesejahteraannya sehingga menunjukkan lingkaran ketidak berdayaan. Kemiskinan disebabkan oleh terbatasnya sumber daya manusia yang dimiliki dan dimanfaatkan terutama dari tingkat pendidikan formal maupun nonformal dan membawa konsekuensi terhadap pendidikan informal yang rendah.
    Defenisi kemiskinan terbagi atas tiga yaitu kemiskinan relatif, kemiskinan absolut, kemiskinan struktural dan kultural. Kemiskinan relatif merupakan kondisi masyarakat karena kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan. Kemiskinan secara absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum. Kemiskinan struktural dan kultural merupakan kemiskinan yang disebabkan kondisi struktur dan faktor-faktor adat budaya dari suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang.
    Kemiskinan dapat diartikan sebagai keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, dan air minum. Hal tersebut sangat berhubungan erat dengan kualitas hidup. Secara ekonomi, kemiskinan dapat dilihat dari tingkat kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup serta meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang.
    Menurut Chambers, kemiskinan adalah suatu integrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu:
    a. Kemiskinan (proper)
    b. Ketidakberdayaan (powerless)
    c. Kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency)
    d. Ketergantungan (dependence)
    e. Keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis.
    Kemiskinan bukan hanya kekurangan uang ataupun tingkat pendapatan yang rendah, tetapi juga banyak hal lain seperti: keterbatasan sumber daya, tingkat kesehatan rendah, pendidikan rendah, perlakuan tidak adil dalam hukum, kerentanan terhadap ancaman tindak kriminal, ketidakberdayaan menghadapi kekuasaan, dan ketidakberdayaan dalam menentukan jalan hidupnya sendiri.
    B. Teori Kemiskinan
    Menurut Bank Dunia, ada tiga ciri yang menonjol dari kemiskinan di Indonesia:
    1) Banyak rumah tangga yang berada disekitar garis kemiskinan nasional, yang setara dengan AS$1,55 per hari, sehingga banyak penduduk yang meskipun tergolong tidak miskin tetapi rentan terhadap kemiskinan.
    2) Ukuran kemiskinan didasarkan pada pendapatan, sehingga tidak menggambarkan batas kemiskinan yang sebenarnya. Banyak orang yang mungkin tidak tergolong miskin dari segi pendapatan dapat dikategorikan sebagai miskin atas dasar kurangnya akses terhadap pelayanan dasar serta rendahnya indikator-indikator pembangunan manusia.
    3) Mengingat sangat luas dan beragamnya wilayah Indonesia, perbedaan antar daerah merupakan ciri mendasar dari kemiskinan di Indonesia.
    Kemiskinan merupakan masalah sosial yang senantiasa hadir di tengah-tengah masyarakat, kemiskinan merupakan konsep dan fenomena yang berwayuh wajah, bermatra multidimensional. SMERU, misalnya menunjukkan bahwa kemiskinan memiliki beberapa ciri (menurut Suharto) yakni sebagai berikut:
    1) Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (papan, sandang, pangan).
    2) Ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya seperti:
    a. Kesehatan
    b. Pendidikan
    c. Sanitasi
    d. Air bersih
    3) Transportasi
    4) Ketiadaan jaminan masa depan (karna tiada investasi untuk pendidikan dan keluarga).
    5) Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun masal.
    6) Rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan keterbatasan sumber alam.
    7) Ketidakterlibatan dalam kegiatan social masyarakat.
    8) Ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharia yang berkesinambungan.
    9) Ketidakmampuan untuk berusaha karna cacat fisik maupun mental.
    10) Ketidakmampuan dan ketidak beruntungan social seperti :
    a. Anak terlantar
    b. Wanita korban tindak kekerasan rumah tangga (KDRT)
    c. Janda miskin
    d. Kelompok marjinal dan terpencil
    Kemiskinan dapat dibagi dengan empat bentuk (Suryawati, 2005), yaitu :
    1) Kemiskinan Absolut
     Bila pendapatannya di bawah garis kemiskinan atau tidak cukup untuk memenuhi pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja.
    2) Kemiskinan Relatif
    Kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat, sehingga menyebabkan ketimpangan pada pendapatan.
    3) Kemiskinan Kultural
    Mengacu pada persoalan sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif meskipun ada bantuan dari pihak luar.
    4) Kemiskinan Struktural
      Situasi miskin yang disebabkan karena rendahnya akses terhadap sumber daya yang terjadi dalam suatu sistem sosial budaya dan sosial politik yang tidak mendukung pembebasan kemiskinan, tetapi sering kali menyebabkan suburnya kemiskinan.
    Menurut teori development of underdevelopment atau teori ketergantungan dominasi ( dominasi – dependency) dinyatakan bahwa sebab-sebab kemiskinan dan keterbelakangan bukanlah sekedar faktor-faktor yang terdapat pada masyarakat yang bersangkutan seperti kurangnya modal, pendidikan yang rendah, kepadatan penduduk dsb. Lebih dari itu faktor-faktor tersebut hanyalah merupakan atribut kemiskinan saja, tetapi kemiskinan itu sendiri berakar dari sejarah eksploitasi, terutama yang dilakukan kekuatan kapitalis asing atau internasional yang melakukan penetrasi, dominasi dan pengerukan keuntungan dari daerah pinggiran ke pusat-pusat metropolis.
    C. Analisis Buku Dilema Tionghoa Miskin
    Buku ini merupakan pengembangan dari tesis penulis yang berjudul Keresahan Identitas Kaum Tionghoa Miskin ketika ia mengambil program Pasca Sarjananya pada Program Studi Pembangunan di Universitas Kristen Satya Wacana.
    Buku ini mengkaji kompleksitas persoalan kemiskinan di antara etnis Tionghoa tersebut dengan menempatkan nilai-nilai etnis sebagai kunci penjelas yang utama. Identitas ideal bagi orang yang terlahir sebagai etnis Tionghoa, , salah satunya adalah sukses secara materi. Apabila dalam kenyataannya orang Tionghoa tidak berhasil menjadi seperti yang diidealkan (sehingga hidup miskin) ketidaksesuaian antara identitas ideal dengan realitas tersebut akan menyebabkan krisis identitas. Krisis identitas akan mendorong orang-orang Tionghoa yang hidup miskin tersebut untuk mencari identitas baru. Dalam kasus penelitian di buku ini, disebutkan bahwa mereka kemudian mendefinisikan dirinya sebagai kaum kelas bawah. Justru karena telah mendefinisikan diri sebagai kaum kelas bawah, orang-orang Tionghoa tersebut mengasingkan diri dan dan tidak mau membangun jejaring dengan sesame etnis Tionghoa yang kaya. Tiadanya jejaring tersebut mengakibatkan tertutupnya akses mereka terhadap modal dan informasi. Dengan demikian karena secara ekonomi mereka pada dasarnya sudah lemah di tambah lagi dengan tiadanya modal non-ekonomi akibat tidak adanya jejaring merekapun akhirnya benar-benar tak punya seluruh modal guna menolong diri mereka untuk mentas dari kemiskinan.
    Dalam kajian ini ditemukan bahwa redefinisi identitas kaum Tionghoa miskin (dari etnis ke kelas) menjadi factor ketidakmampuan mereka dalam menolong diri sendiri untuk mentas dari kemiskinan, namun temuan ini harus juga dibaca dalam keterbatasan.
    Salah satu keterbatasan dari buku ini adalah belum dikajinya secara mendalam tentang pengaruh gender. Masyarakat amat kuat menganut paham perbedaan pekerjaan maskulin dan feminine. Di dalam paham itu, perempuan cenderung berkewajiban melakukan pekerjaan domestic sedangkan laki-laki berkewajiban melakukan pekerjaan produktif. Dalam kenyataannya, sering pula terjadi bahwa perempuan Tionghoa selain tetap melakukan pekerjaan domestic sebagai ibu rumah tangga memiliki pekerjaan sambilan seperti menjahit, berjualan kecil-kecilan, dan sebagainya. Persoalannya dalam konteks masyarakat miskin dimana penghasilan suami (dari pekerjaan non-formal) tidak menjanjikan, bukan tidak mungkin pekerjaan sambilan si istri justru lebih prospektif dan bahkan memberikan hasil yang lebih besar. Sebagai missal pada kasus Oei Biauw Nio yang menolak tawaran modal untuk mengembangkan usaha border yang selama ini ia geluti sebagai pekerjaan di rumah dengan alasan ia harus mengurus anak-anaknya. Hipotesisnya kemudian seandainya ketika itu ia menerima tawaran tersebut dan fungsi mengasuh anak serta menyelesaikan pekerjaan domestic digantikan oleh suaminya mungkinkah ia bisa hidup lebih mapan dan tidak semiskin sekarang.
    Disamping itu buku ini juga belum mengkaji sejauh mana pengaruh budaya dan sikap hidup nenek moyang (orangtua atau kakek-kakek) non- Tionghoa (Jawa) terhadap pembentukan sikap prejudice dan perilaku pengasingan diri yang tampak pada sebagian komunitas Tionghoa miskin di Jagalan. Sebab di antara mereka yang hingga sekarang tetap terejerembab dalam kemiskinan ditemukan fakta bahwa secara historis terdapat suku jawa dalam garis nenek moyang mereka. Hal yang sama tidak ditemukan pada kelompok lain yang berhasil mentas dari kemiskinan. Faktor pendidikan juga patut diberikan perhatian karena dalam penilitian ini ditemukan bahwa mereka yang tetap miskin rata-rata berpendidikan formal SLTP ke bawah. Sementara mereka ynag berhasil mentas dari kemiskinan berpendidikan SLTA atau bahkan sarjana. Sekalipun demikian bukti empiris yang mudah ditemukan adalah bahwa berpendidikan SLTPpun bukan merupakan penghalang seorang Tionghoa untuk sangat sukses secara materi.
    DAFTAR PUSTAKA
    Musa, Asy’arie. 2016. Dialektika Islam Etos Kerja dan Kemiskinan. Yogyakarta: LESFI.
    Rahardjo, M. Dawam. 1985. Esai-Esai Ekonomi Politik. Jakarta : LPES.
    Sudantoko, Djoko dan Hamdani, Muliawan. 2009. Dasar-Dasar Pengantar Ekonomi Pembangunan. Jakarta : PT. PP. Mardi Mulya.
    Supriatna, Tjahya. 2000. Strategi Pembangunan dan Kemiskinan. Jakarta : P.T. Rineka Cipta.
    World Bank, 2006. Era Baru Pengentasan Kemiskinan di Indonesia. Jakarta : Gradasi Aksara.
    Yulianto Kadji, Kemiskinan dan Konsep Teoritisnya. http//repository.ung.ac.id. Diakses pada 17 Oktober 2017 pukul 19.27.
    Rahayo, Stefanus, 2010. Dilema Tionghoa Miskin. Yogyakarta: Tiara Wacana.

    No comments:

    Post a Comment

    Review Lengkap Notebook ASUS Vivobook S14 S433: Membawa Spirit Dare To Be You

    Review Lengkap Notebook ASUS Vivobook S14 S433: Membawa Spirit Dare To Be You Menjadi diri sendiri adalah salah satu kunci sukses menggapa...