kantongtangan.com: Waktu Shalat Fardu
  • Home
  • Tentang kantongtangan.com
  • Kumpulan Puisi
  • Waktu Shalat Fardu

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang
    Agama Islam adalah agama penyempurna dari agama-agama sebelumnya. Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah SWT telah memberikan kontribusinya untuk islam. Al-Qur’an sebagai mukjizat utama Nabi Muhammad sangat penting kedudukannya bagi umat islam. Semua hal yang di dalam dunia sudah diatur ketentuannya dalam al-Qur’an.
    Al-Qur’an sebagai pedoman hidup seorang muslim, yang di dalamnya terdapat berbagai hukum islam yang disebut dengan islam. Ilmu fiqh adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang produk-produk hukum islam. Di dalamnya dikaji berbagai pendapat-pendapat imam madzhab mengenai hukum muamalah, ibadah, munakahah, jinayah dll.
    Semua hal sudah diatur dalam al-Qur’an, termasuk waktu-waktu shalat, serta kewajiban menghadap kiblat dalam shalat. Dalam makalah ini,pemakalah akan membahas mengenai waktu-waktu shalat dan kewajiban menghadap kiblat beserta dalil-dalilnya.

    B. Rumusan Masalah
    1. Apa saja ketentuan-ketentuan waktu dalam shalat fardhu?
    2. Bagaimana pendapat para imam madzhab mengenai kewajiban menghadapkiblat, apakah ainul ka’bah atau jihadul ka’bah?
    3. Apa saja dalil-dalil yang menguatkannya?

    C. Tujuan
    1. Untuk mengetahui tentang waktu-waktu shalat fardhu
    2. Untuk menjelaskan tentang kewajiban menghadap kiblat
    3. Untuk mengetahui dalil-dalil tentang waktu shalat fardhu dan kewajiban menghadap kiblat


    PEMBAHASAN

    1. Waktu Shalat
    Waktu shalat termasuk dalam syarat sahnya shalat. Oleh sebab itu siapa saja yeng melakukan shalat sedang dia tidak mengetahui waktunya, maka shalatnya tidak sah meskipun diakukan dalam waktunya. Adapun dasar hukum keharusan melakukan shlalat pada waktu yang ditentukan yaitu  terdapat dalam QS. An-Nisa:103.
    فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ ۚ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ ۚ إِنَّ الصَّلَاةَ
     كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
    “Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”

    جَاءَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ زَالَتْ الشَّمْسُ فَقَالَ قُمْ يَا مُحَمَّدُ فَصَلِّ
    الظُّهْرَ حِينَ مَالَتْ الشَّمْسُ ثُمَّ مَكَثَ حَتَّى إِذَا كَانَ فَيْءُ الرَّجُلِ مِثْلَهُ جَاءَهُ لِلْعَصْرِ فَقَالَ قُمْ يَا مُحَمَّدُ
    فَصَلِّ الْعَصْرَ ثُمَّ مَكَثَ حَتَّى إِذَا غَابَتْ الشَّمْسُ……مَا بَيْنَ هَذَيْنِ وَقْتٌ كُلُّهُ
    “Jibril mendatangi Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam ketika matahari telah tergelincir ke arah tenggelamnya kemudian dia mengatakan, “Berdirilah wahai Muhammad kemudian shola zhuhur lah. Kemudian ia diam hingga saat panjang bayangan seseorang sama dengan tingginya. Jibril datang kemudian mengatakan, “Wahai Muhammad berdirilah sholat ‘ashar lah”. Kemudian ia diam hingga matahari tenggelam………….diantara dua waktu ini adalah dua waktu sholat seluruhnya.”












    A. Waktu Shalat Subuh
    Hukum-hukum  syara’  banyak bergantung  pada fajar shodiq. Fajar shodiq adalah cahaya putih yang tampak terang berada sejajar dengan  garis lintang ufuk. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW :
    ثُمَّ جَاءَهُ لِلصُّبْحِ حِينَ أَسْفَرَ جِدًّا فصل فصلى العشاءفَصَلَّى الصُّبْحَ
    “Kemudian dia (Jibril) mendatanginya untuk Shalat Subuh ketika langit terang, lalu dia berkata, ‘Bangunlah dan shalatlah!’ maka Beliau (Rasulullah) melaksanakan Shalat Subuh.” (HR.  An Nasa’i No. 526 , Ahmad No. 14011, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 526)
    Dalam hadits ini disebutkan, “Hiina Asfara Jiddan” (ketika langit benar-benar menguning). Maksudnya ketika langit benar-benar terang. Inilah yang disebut dengan fajar shadiq dan inilah dimulainya waktu Subuh. Tetapi disukai untuk menyegerakannya. Adapun hadis lain tentang fajar,
    وَعَنِ ابْنِ عَبّاسٍ رَضِيَ اللّهَ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسولُ الله صلى الله عليه وسلم:  الفَجْرُ فَجْرَانِ, فًجْرٌ يُحَرّمُ الطّعَامَ وَتَحِلّ
    فِيه الصّلاَةُ, وَفَجْرٌ تَحْرُمُ فِيهِ الصّلاَةُ, أَيْ صَلاَةُ الصّبْحِ, وَيَحِلّ فِيهِ الطّعَامُ  رَوَاهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ
     وِالحَاكِمُ, وَصَحّحَاهُ
    ”Dari Ibnu Abbas ia berkata: Rasulullah saw telah bersabda: Fajar itu (ada) dua: Satu fajar mengharamkan makan tetapi halal (padanya) shalat; dan fajar yang haram (padanya) shalat – yaitu shalat Shubuh – dan halal padanya makan. (Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Hakim dan dishahkan oleh keduanya).”
    Hadis Abdullah bin Amru yang terdapat dalam shahih muslim menyebutkan bahwa waktu shalat subuh bermula dari naiknya fajar dan berlangsung hingga matahari belum naik. Waktu antara naiknya matahari hingga waktu dzuhur dianggap sebagai waktu yang tidak ada hubungannya dengan kewajiban shalat.




    B. Waktu Shalat Dhuhur
    Diriwayatkan oleh Muslim (612) bahwa Rasulullah SAW bersabda:
    وَقْتُ الظُّهْرِ اِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ، وَكَانَ  ظِلُّا لرَّجُلِكَ طُوْلِهِ ٬مَالَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ
    “Waktu Zhuhur adalah apabila matahari telah condong, dan (berlangsung sampai saat) bayang-bayang seseorang sepanjang tubuhnya, yakni selagi waktu ‘Ashar belum tiba. “
    Waktu dzuhur bermula dari tergelincir matahari hingga bayang-bayang suatu benda menjadi sama panjang dengannya. Ini adalah pendapat dua orang sahabat abu hanifah dan tiga imam lainnya. Menurut dzahir riwayat madzhab Abu Hanifah, akhir waktu Dzuhur adalah apabila bayang-bayang suatu benda menjadi dua kali lipat panjangnya dari benda asalnya. Tetapi sebenarnya waktu itu adalah waktu Ashar menurut seluruh ulama. Oleh karena itu shalat dilakukan sebelum waktu ini untuk berhati-hati, dan sikap seperti ini yang diutamakan dalam masalah ibadah.
    Adapun dalil al-Qur’an yang dipegang semua pihak dalam memnentukan permulaan waktu Dzuhur adalah
    أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَىٰ غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ ۖ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
     “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).”

    C. Waktu Shalat Ashar
    Waktu Ashar dimulai ketika bayang-bayang suatu benda bertambah dari panjang asalnya, yaitu pertambahan yang paling minimal, menurut jumhur ulama. Adapun menurut Abu Hanifah, waktu Ashar dimulai saat bayangan benda bertambah dua kali lipat dari benda asal. Sedangkan untuk berakhirnya waktu Ashar seluruh ulama sepakat, bahwa waktu Ashar berakhir ketika matahari tenggelam. Sabda Nabi SAW:
    وَمَنْ اَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الْعَصْرِ قَبْلَ اَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقَدْ اَدْرَكَ الْعَصْرَ
    “Barangsiapa dapat mengejar satu rakaat dari shalat ‘Ashar sebelum terbenamnya matahari, maka berarti dia telah dapat mengejar shalat ‘Ashar seluruhnya. (H.R. al-Bukhari: 554, dan Muslim: 608). “
    Kebanyakan ahli fiqh mengatakan bahwa shalat Ashar pada waktu matahari mulai menguning adalah makruh. Mereka menyandarkan pendapatnya berdasarkan sabda Nabi SAW,
    تِلْكَ صَلاَةُ الْمُنَافِقِ يَجْلِسُ يَرْقُبُ الشَّمْسَ حَتَّى إِذَا كَانَتْ بَيْنَ قَرْنَىِ الشَّيْطَانِ قَامَ فَنَقَرَهَا
    أَرْبَعًا لاَ يَذْكُرُ اللَّهَ فِيهَا إِلاَّ قَلِيلاً
    “Itulah shalat orang munafik. Ia duduk menanti matahari di antara dua tanduk setan lalu ia berdiri dan melaksanakan shalat empat raka’at dengan cepat. Tidaklah ia mengingat Allah kecuali sedikit.”(HR. Muslim no. 622).

    D. Waktu Shalat Maghrib
    Menurut pendapat yang disepakati seluruh ulama waktu shalat Maghrib bermula saat terbenamnya matahari. Menurut jumhur ulama (Hanafi, Hanbali, qaul qadim madzhab Syafi’i) ia berlangsung hingga hilang waktu syafaq, mereka menggunakan dalil hadist,
    وَقْتُ الْمَغْرِبِ مَالَمْ يَغِبِ الشَّفَقُ
    “Waktu Maghrib adalah selagi syafaq (cahaya merah) belum lenyap. (H.R. Muslim: 612.)”
    Menurut Abu hanifah, Syafaq adalah warna putih yang terus kelihatan diatas ufuk, dan biasanya ia ada setelah warna merah keluar. Kemudian setelah itu muncul warna hitam. Anatara dua syafaqah ada yang dihitung dengan tiga derajat. Satu derajat samadengan empat menit.
    Dalil Abu Hanifah adalah sabda Rasulullah SAW, yang artinya “Akhir waktu Maghrib adalah apabila ufuk menjadi hitam”.
    Sedangkan menurut Imam Syafi’i dan Imam Maliki, rentang waktu shalat maghrib tidak berlangsung lama hanya ukup untuk melaksanakan shalat maghrib saja, memenuhi syarat-syarat pelaksanaan shalatnya. Misal berthaharah, menutup aurat dan ditambah dengan adzan dan iqomah dilakukan sesuai dengan kebutuhan tidak terlalu lama dan tidak terburu-buru.


    E. Waktu Shalat Isya
    Menurut para Imam madzhab, waktu Isya bermula dari hilangnya Syafaq al-Ahmar seperti yang difatwakan Hanafi-hingga munculnya fajar Shadiq. Adapun waktu pilihan al-Waqtul Mukhtar untuk melaksanakan shalat Isya adalah sepertiga malam atau separuh malam. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah SAW.
    Waktu sholat Isya dibagi menjadi dua, yaitu waktu ikhtiyar adalah dari terbenamnya syafaq merah sampai tengah malam. Dalilnya adalah hadist Abdullah bin Amru radhiyallahu ‘anhusholahu ‘alaihi wa as- salam bersabda : bahwasanya Rosulullah
    وقت صلاة العشاء إلي نصف الّيل الأوسط
    “Waktu sholat isya adalah sampai pertengahan mala " . (HR.Muslim)
    Adapun yang kedua adalah waktu Isya' darurat yaitu sampai terbitnya fajar, sebagaimana yang terdapat dalam hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rosulullah sholahu ‘alaihi wa as- salam bersabda :
    ثمّ جاءه العشاء فقال قم فصلّه فصليّحين غاب الشّفق...ثمّ جاءه حبن ذهب نصف اليل فصلّي
    العشاء

    “Jibril mendatangi Nabi pada waktu isya'." Beliau pun mengerjakan shalat isya' ketika syafaq terbenam…kemudian pada pada hari kedua, jibril mendatangi beliau pada saat pertengahan malam telah berlalu, dan beliau pun mengerjakan shalat." ( HR. Ahmad, Turmudzi, dan Nasa'i)”.
    Untuk Riwayat mengenai memanjangkan waktu shalat Isya, Ibnu Hajar berkata :
    وَلَمْ أَرَ فِي امْتِدَادِ وَقْتِ الْعِشَاءِ إِلَى طُلُوعِ الْفَجْرِ حَدِيثًا صَرِيحًا يَثْبُتُ
    “Mengenai memanjangnya waktu Isya sampai terbit fajar, saya belum mengetahui ada hadits yang tegas dan shahih.”
    Dalam hadis lain disebutkan,




    كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُؤَخِّرُ الْعِشَاءَ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ، وَيَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَهَا، وَالْحَدِيثَ
    بَعْدَهَا
    “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat Isya sampai sepertiga malam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat Isya dan ngobrol setelahnya.” [HR. al-Bukhâri no. 547 dan Muslim no. 647]

    2. Kewajiban Menghadap Kiblat dalam Shalat
    Kiblat berasal dari kata “muqabalah” yang artinya “berhadapan (muwajahah). Ketika melaksanakan shalat, orang islam harus menghadap kiblat sebagai syarat sah shalat yaitu  menuju ka’bah di Makkah. Kecuali jika ada halangan yaitu karena sangat takut dalam peperangan  Dalam al-Qur’an kata “arah” diulang sebanyak empat kali. Sama dengan jumlah bilangan arah angin patokan (poin of the compass). Salah satu nya terdapat dalam al-qur’an surat al-Baqarah ayat 150:
    وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ لِئَلَّا يَكُونَ
     لِلنَّاس عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِي وَلِأُتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
    “Dan dari mana saja kamu (keluar) maka palingkanlah wajah mu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu kearahnya, agar tidakada hujjah bagi manusia atas kamu, keuali orang-orang yang dzholim diantara mereka. maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-ku (saja). Dan agar Ku sempurnakan nikmat Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.”
    Menurut madzhab Maliki orang yang tinggal di kota mekah dan sekitarnya, mereka diwajibkan untuk berqiblat ke bangunan ka’bah (‘ainulka’bah) hingga tubuhnya sejajar dengan bangunan tersebut. Dan ruang di atas maupun di bawah ka’bah tidak termasuk di dalamnya. Jadi beliau mewajibkan menghadap ka’bah sejajar secara horizontal.
    Adapun bagi mereka yang jauh darikota mekah mereka harus mengarahkan ke arah ka’bah (jihadul ka’bah) tidak harus tepat ke bangunannya, boleh sedikit tergeser ke sisi kanan atau kiri ka’bah. Karena syarat utama yang harus dipenuhi adalah arah posisi kewilayahan dengan ka’bah.
    Menurut madzhab Syafi’iah ‘ainul ka’bah adalah menghadap ke arah bangunan ka’bah, baik ruang di atas atau di bawahnya. Mereka harus menghadap ke arah bangunan ka’bah atau wilayah vertikalnya secara perkiraan saja tidak perlu secara pasti. Sementara untuk jihadul ka’bah tidak berbeda dengan madzhab maliki dan imam lainnya.
    Dalam Matan Al Ghoyat wat Taqrib (kitab Fiqih Syafi’iyyah), Abu Syuja’ rahimahullah mengatakan, “Ada dua keadaan seseorang boleh tidak menghadap kiblat. Ketika keadaan sangat takut dan ketika shalat sunnah di atas kendaraan ketika safar.”Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
    فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا
    “Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.” (QS. Al Baqarah [2] : 239)
    Yaitu jika seseorang tidak mampu shalat dengan sempurna karena takut dan semacamnya, maka shalatlah dengan cara yang mudah bagi kalian, bisa dengan berjalan atau dengan menaiki kendaraan. Ibnu Umar mengatakan,
    فَإِنْ كَانَ خَوْفٌ هُوَ أَشَدَّ مِنْ ذَلِكَ صَلَّوْا رِجَالاً ، قِيَامًا عَلَى أَقْدَامِهِمْ ، أَوْ رُكْبَانًا مُسْتَقْبِلِى الْقِبْلَةِ أَوْ غَيْرَ مُسْتَقْبِلِيهَا
    “Apabila rasa takut lebih dari ini, maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan dengan menghadap kiblat atau pun tidak.”
    لاَ أُرَى عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ ذَكَرَ ذَلِكَ إِلاَّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم
    Malik berkata (bahwa) Nafi’ berkata,“Aku tidaklah menilai Abdullah bin Umar (yaitu Ibnu Umar, pen) mengatakan seperti ini kecuali dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no. 4535)
    Ibnu Umar berkata,
    وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُسَبِّحُ عَلَى الرَّاحِلَةِ قِبَلَ أَىِّ وَجْهٍ تَوَجَّهَ ، وَيُوتِرُ عَلَيْهَا ، غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يُصَلِّى
    عَلَيْهَا الْمَكْتُوبَةَ
    “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat sunnah di atas kendaraan dengan menghadap arah yang dituju kendaraan dan juga beliau melaksanakan witir di atasnya. Dan beliau tidak pernah mengerjakan shalat wajib di atas kendaraan.” (HR. Bukhari no. 1098 dan Muslim no. 1652) (Lihat At Tadzhib fi Adillati Matnil Ghoyat wa At Taqrib – Matni Abi Syuja’, hal. 53 dan Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitab Al ‘Aziz, hal. 82-83, Dar Ibnu Rojab.
    Golongan Malikiyah dan Hanafiyah menguatkan pendapat mereka dengan mengemukakan dalil al-Kitab, as-Sunah, perbuatan sahabat dan dalil ma’qul.

    a. Dalil yang berupa al-Kitab adalah pengertian yang tersurat dalam firman Allah SWT :
    فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسجِدِ الْحَرَامِ
    "Maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram".
    Allah SWT. tidak berfirman :  شطرالكعبة   (arah Ka’bah). Maka sebenarnya orang yang menghadap ke arah tempat Masjidil Haram berada, berarti dia telah melakukan apa yang diperintahkan, baik mengarah tepat ke ‘ainul Ka’bah atau tidak.
    b. Dalil yang berupa as-Sunah adalah sabda Rasulallah SAW :
    مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ. رواه ابن ماجه والترمذى عن أبى هريرة وقال الترمذىحسن
    صحيح
    "Arah di antara Timur dan Barat adalah kiblat.”  Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan At-Turmudzi dari Abi Hurairah, at-Turmudzi berkata : “Hadits ini nilainya hasan sahih.”
    Dan sabda beliau :
    اَلْبَيْتُ قِبْلَةٌ ِلأَهْلِ الْمَسْجِدِ، وَالْمَسْجِدُ قِبْلَةٌ ِلأَهْلِ الْحَرَمِ، وَالْحَرَمُ قِبْلَةٌ ِلأَهْلِ اْلأَرْضِ فِى مَشَارِقِهَا
    وَمَغَارِبِهَا مِنْ أُمَّتِيْ. أخرجه البيهقى فى سنـنه عن ابن عبّاس مرفوعا
    "Baitullah adalah kiblat bagi orang-orang yang berada di dalam Masjidil Haram, Masjidil Haram adalah kiblat bagi penduduk (orang-orang yang berada di) Tanah Haram dan Tanah Haram adalah kiblat bagi penduduk bumi di antara umatku, baik di Timur maupun di Barat.”  Ditakhrijkan oleh al-Baihaqi di dalam Kitab Sunannya dari Ibnu ‘Abbas dan keadaan hadits ini marfu’.
    c. Dalil yang berupa perbuatan sahabat adalah bahwa konon jama’ah Masjid Quba sedang melakukan Shalat Shubuh di Madinah dengan menghadap ke Baitul Maqdis, membelakangi Ka’bah. Lalu dikatakan kepada mereka : “Sebenarnya kiblat itu telah dipindahkan ke Ka’bah.” Maka mereka berputar di tengah-tengah shalat, tanpa mencari petunjuk. Nabi SAW. tidak menyalahkan mereka.






    No comments:

    Post a Comment

    Review Lengkap Notebook ASUS Vivobook S14 S433: Membawa Spirit Dare To Be You

    Review Lengkap Notebook ASUS Vivobook S14 S433: Membawa Spirit Dare To Be You Menjadi diri sendiri adalah salah satu kunci sukses menggapa...