kantongtangan.com: January 2018
  • Home
  • Tentang kantongtangan.com
  • Kumpulan Puisi
  • Kemiskinan dan Dilema

    A. Pengertian Kemiskinan
    Kemiskinan sebagai fenomena sosial selalu ada dalam setiap kehidupan masyarakat dimanapun. Menurut Suparlan kemiskinan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang rendah ini secara langsung nampak pengaruhnya terhadap tingkat keadaan kesehatan, kehidupan moral dan rasa harga diri mereka yang tergolong sebagai orang miskin.
    Menurut Ritonga memberikan definisi bahwa kemiskinan adalah kondisi kehidupan yang serba kekurangan yang dialami seorang atau rumah tangga sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan minimal atau yang layak bagi kehidupannya. Kebutuhan dasar minimal yang dimaksud adalah yang berkaitan dengan kebutuhan pangan, sandang, perumahan dan kebutuhan sosial yang diperlukan oleh penduduk atau rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak.
    Kemiskinan merupakan situasi serba kekurangan yang terjadi bukan dikehendaki oleh si miskin. Penduduk pada umumya ditandai oleh rendahnya tingkat pendidikan, produktivitas kerja, pendapatan, kesehatan, dan gizi serta kesejahteraannya sehingga menunjukkan lingkaran ketidak berdayaan. Kemiskinan disebabkan oleh terbatasnya sumber daya manusia yang dimiliki dan dimanfaatkan terutama dari tingkat pendidikan formal maupun nonformal dan membawa konsekuensi terhadap pendidikan informal yang rendah.
    Defenisi kemiskinan terbagi atas tiga yaitu kemiskinan relatif, kemiskinan absolut, kemiskinan struktural dan kultural. Kemiskinan relatif merupakan kondisi masyarakat karena kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan. Kemiskinan secara absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum. Kemiskinan struktural dan kultural merupakan kemiskinan yang disebabkan kondisi struktur dan faktor-faktor adat budaya dari suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang.
    Kemiskinan dapat diartikan sebagai keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, dan air minum. Hal tersebut sangat berhubungan erat dengan kualitas hidup. Secara ekonomi, kemiskinan dapat dilihat dari tingkat kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup serta meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang.
    Menurut Chambers, kemiskinan adalah suatu integrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu:
    a. Kemiskinan (proper)
    b. Ketidakberdayaan (powerless)
    c. Kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency)
    d. Ketergantungan (dependence)
    e. Keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis.
    Kemiskinan bukan hanya kekurangan uang ataupun tingkat pendapatan yang rendah, tetapi juga banyak hal lain seperti: keterbatasan sumber daya, tingkat kesehatan rendah, pendidikan rendah, perlakuan tidak adil dalam hukum, kerentanan terhadap ancaman tindak kriminal, ketidakberdayaan menghadapi kekuasaan, dan ketidakberdayaan dalam menentukan jalan hidupnya sendiri.
    B. Teori Kemiskinan
    Menurut Bank Dunia, ada tiga ciri yang menonjol dari kemiskinan di Indonesia:
    1) Banyak rumah tangga yang berada disekitar garis kemiskinan nasional, yang setara dengan AS$1,55 per hari, sehingga banyak penduduk yang meskipun tergolong tidak miskin tetapi rentan terhadap kemiskinan.
    2) Ukuran kemiskinan didasarkan pada pendapatan, sehingga tidak menggambarkan batas kemiskinan yang sebenarnya. Banyak orang yang mungkin tidak tergolong miskin dari segi pendapatan dapat dikategorikan sebagai miskin atas dasar kurangnya akses terhadap pelayanan dasar serta rendahnya indikator-indikator pembangunan manusia.
    3) Mengingat sangat luas dan beragamnya wilayah Indonesia, perbedaan antar daerah merupakan ciri mendasar dari kemiskinan di Indonesia.
    Kemiskinan merupakan masalah sosial yang senantiasa hadir di tengah-tengah masyarakat, kemiskinan merupakan konsep dan fenomena yang berwayuh wajah, bermatra multidimensional. SMERU, misalnya menunjukkan bahwa kemiskinan memiliki beberapa ciri (menurut Suharto) yakni sebagai berikut:
    1) Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (papan, sandang, pangan).
    2) Ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya seperti:
    a. Kesehatan
    b. Pendidikan
    c. Sanitasi
    d. Air bersih
    3) Transportasi
    4) Ketiadaan jaminan masa depan (karna tiada investasi untuk pendidikan dan keluarga).
    5) Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun masal.
    6) Rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan keterbatasan sumber alam.
    7) Ketidakterlibatan dalam kegiatan social masyarakat.
    8) Ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharia yang berkesinambungan.
    9) Ketidakmampuan untuk berusaha karna cacat fisik maupun mental.
    10) Ketidakmampuan dan ketidak beruntungan social seperti :
    a. Anak terlantar
    b. Wanita korban tindak kekerasan rumah tangga (KDRT)
    c. Janda miskin
    d. Kelompok marjinal dan terpencil
    Kemiskinan dapat dibagi dengan empat bentuk (Suryawati, 2005), yaitu :
    1) Kemiskinan Absolut
     Bila pendapatannya di bawah garis kemiskinan atau tidak cukup untuk memenuhi pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja.
    2) Kemiskinan Relatif
    Kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat, sehingga menyebabkan ketimpangan pada pendapatan.
    3) Kemiskinan Kultural
    Mengacu pada persoalan sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif meskipun ada bantuan dari pihak luar.
    4) Kemiskinan Struktural
      Situasi miskin yang disebabkan karena rendahnya akses terhadap sumber daya yang terjadi dalam suatu sistem sosial budaya dan sosial politik yang tidak mendukung pembebasan kemiskinan, tetapi sering kali menyebabkan suburnya kemiskinan.
    Menurut teori development of underdevelopment atau teori ketergantungan dominasi ( dominasi – dependency) dinyatakan bahwa sebab-sebab kemiskinan dan keterbelakangan bukanlah sekedar faktor-faktor yang terdapat pada masyarakat yang bersangkutan seperti kurangnya modal, pendidikan yang rendah, kepadatan penduduk dsb. Lebih dari itu faktor-faktor tersebut hanyalah merupakan atribut kemiskinan saja, tetapi kemiskinan itu sendiri berakar dari sejarah eksploitasi, terutama yang dilakukan kekuatan kapitalis asing atau internasional yang melakukan penetrasi, dominasi dan pengerukan keuntungan dari daerah pinggiran ke pusat-pusat metropolis.
    C. Analisis Buku Dilema Tionghoa Miskin
    Buku ini merupakan pengembangan dari tesis penulis yang berjudul Keresahan Identitas Kaum Tionghoa Miskin ketika ia mengambil program Pasca Sarjananya pada Program Studi Pembangunan di Universitas Kristen Satya Wacana.
    Buku ini mengkaji kompleksitas persoalan kemiskinan di antara etnis Tionghoa tersebut dengan menempatkan nilai-nilai etnis sebagai kunci penjelas yang utama. Identitas ideal bagi orang yang terlahir sebagai etnis Tionghoa, , salah satunya adalah sukses secara materi. Apabila dalam kenyataannya orang Tionghoa tidak berhasil menjadi seperti yang diidealkan (sehingga hidup miskin) ketidaksesuaian antara identitas ideal dengan realitas tersebut akan menyebabkan krisis identitas. Krisis identitas akan mendorong orang-orang Tionghoa yang hidup miskin tersebut untuk mencari identitas baru. Dalam kasus penelitian di buku ini, disebutkan bahwa mereka kemudian mendefinisikan dirinya sebagai kaum kelas bawah. Justru karena telah mendefinisikan diri sebagai kaum kelas bawah, orang-orang Tionghoa tersebut mengasingkan diri dan dan tidak mau membangun jejaring dengan sesame etnis Tionghoa yang kaya. Tiadanya jejaring tersebut mengakibatkan tertutupnya akses mereka terhadap modal dan informasi. Dengan demikian karena secara ekonomi mereka pada dasarnya sudah lemah di tambah lagi dengan tiadanya modal non-ekonomi akibat tidak adanya jejaring merekapun akhirnya benar-benar tak punya seluruh modal guna menolong diri mereka untuk mentas dari kemiskinan.
    Dalam kajian ini ditemukan bahwa redefinisi identitas kaum Tionghoa miskin (dari etnis ke kelas) menjadi factor ketidakmampuan mereka dalam menolong diri sendiri untuk mentas dari kemiskinan, namun temuan ini harus juga dibaca dalam keterbatasan.
    Salah satu keterbatasan dari buku ini adalah belum dikajinya secara mendalam tentang pengaruh gender. Masyarakat amat kuat menganut paham perbedaan pekerjaan maskulin dan feminine. Di dalam paham itu, perempuan cenderung berkewajiban melakukan pekerjaan domestic sedangkan laki-laki berkewajiban melakukan pekerjaan produktif. Dalam kenyataannya, sering pula terjadi bahwa perempuan Tionghoa selain tetap melakukan pekerjaan domestic sebagai ibu rumah tangga memiliki pekerjaan sambilan seperti menjahit, berjualan kecil-kecilan, dan sebagainya. Persoalannya dalam konteks masyarakat miskin dimana penghasilan suami (dari pekerjaan non-formal) tidak menjanjikan, bukan tidak mungkin pekerjaan sambilan si istri justru lebih prospektif dan bahkan memberikan hasil yang lebih besar. Sebagai missal pada kasus Oei Biauw Nio yang menolak tawaran modal untuk mengembangkan usaha border yang selama ini ia geluti sebagai pekerjaan di rumah dengan alasan ia harus mengurus anak-anaknya. Hipotesisnya kemudian seandainya ketika itu ia menerima tawaran tersebut dan fungsi mengasuh anak serta menyelesaikan pekerjaan domestic digantikan oleh suaminya mungkinkah ia bisa hidup lebih mapan dan tidak semiskin sekarang.
    Disamping itu buku ini juga belum mengkaji sejauh mana pengaruh budaya dan sikap hidup nenek moyang (orangtua atau kakek-kakek) non- Tionghoa (Jawa) terhadap pembentukan sikap prejudice dan perilaku pengasingan diri yang tampak pada sebagian komunitas Tionghoa miskin di Jagalan. Sebab di antara mereka yang hingga sekarang tetap terejerembab dalam kemiskinan ditemukan fakta bahwa secara historis terdapat suku jawa dalam garis nenek moyang mereka. Hal yang sama tidak ditemukan pada kelompok lain yang berhasil mentas dari kemiskinan. Faktor pendidikan juga patut diberikan perhatian karena dalam penilitian ini ditemukan bahwa mereka yang tetap miskin rata-rata berpendidikan formal SLTP ke bawah. Sementara mereka ynag berhasil mentas dari kemiskinan berpendidikan SLTA atau bahkan sarjana. Sekalipun demikian bukti empiris yang mudah ditemukan adalah bahwa berpendidikan SLTPpun bukan merupakan penghalang seorang Tionghoa untuk sangat sukses secara materi.
    DAFTAR PUSTAKA
    Musa, Asy’arie. 2016. Dialektika Islam Etos Kerja dan Kemiskinan. Yogyakarta: LESFI.
    Rahardjo, M. Dawam. 1985. Esai-Esai Ekonomi Politik. Jakarta : LPES.
    Sudantoko, Djoko dan Hamdani, Muliawan. 2009. Dasar-Dasar Pengantar Ekonomi Pembangunan. Jakarta : PT. PP. Mardi Mulya.
    Supriatna, Tjahya. 2000. Strategi Pembangunan dan Kemiskinan. Jakarta : P.T. Rineka Cipta.
    World Bank, 2006. Era Baru Pengentasan Kemiskinan di Indonesia. Jakarta : Gradasi Aksara.
    Yulianto Kadji, Kemiskinan dan Konsep Teoritisnya. http//repository.ung.ac.id. Diakses pada 17 Oktober 2017 pukul 19.27.
    Rahayo, Stefanus, 2010. Dilema Tionghoa Miskin. Yogyakarta: Tiara Wacana.

    ISLAMIC BANKING AND INTEREST

    ISLAMIC BANKING AND INTEREST
    A. Perkembangan Bank Islam
    Banyak faktor yang melatar belakangi muculnya bank-bank islam yang mucul sekitar tahun 1960-an dan 1970-an. Diantara faktor yang penting adalah sebagai berikut: upaya neo-Revivalis dalam memahami hukum tentang bunga sebagai riba, adanya kekayaan negara akan minyak yang melimpah, permintaan terhadap interprestasi tradisional tentang riba untuk dipraktekan oleh bebrapa negara islam sebagai wujud kebijaksanaanya.
    Pada abad XIX, barat mulai mendirikan bank berdasarkan bunga di negara-negara islam. Keberadaan bank-bank ini berdiri sendiri secara mandiri. Hal ini menggugah kepedulian beberapa figur seperti Muhammad Rashid dan juga Muhammad Abduh yang berusaha melakukan akomodasi terhadap beberapa masalah bunga. Pertumbuhan gerakan kebangkitan islam (islamic Revivalism) yang dilakukan oleh para ulama dan pembaharu menentang adanya bank berdasarkan bunga.
    Gelombang pemikiran dunia islam modern mulai bergairah setelah munculnya gerakan kebangkitan islam (Islamic Revavalism) sebagai pioner dalam memberantas kejumudan berpikir yang mencengkram dunia islam setelah mengalami stagnasi yang panjang. Berawal dari gerakan revivalismeinilah yang neginspirasikan munculnya beberapa gerakan islam beriutnya, diantara gerakan modernise (nodernsme) dan neo- Revivalisme (neo- Revivalisme). Gerakan modernis lebih menekan pada perhatiannya terhadap aspek moral dan spiritual dalam memahami prinsip syari’ah, dan beusaha menginterprestasikan al-Qur’an dan sunnah berdasarkan pancaran nilainya dengan pemahaman yang luas terhadap kandungan dasar-dasarnya. Sedangkan gerakan neo-Revivalisme menfokuskan perhatiannya terhadap aspek pelaksanaan dari prinsip syari’ah dengan tanpa melakukan penafsiran kembali terhadap pesen pesen ekplisit yang terkandung dalam teks, baik al-Qur’an maupun sunnah.
    Bank-bank konvensional yang berdasarkan bunga sebagaimana telah menyebar ke negara-negara islam telah menjadi bahan perdebatan oleh para cendekiawan muslim, khusunya masalah hukum bunga itu riba atau tidak. Para pendukung neo-Revivalisme menganggap bahwa hukum bunga termasuk riba dan menyarankan untuk menghilangkannya. Sedangkan pendukung modernis menganggap bahwa tidak semua bunga bank itu termasuk riba dan kalau bunga yang dimaksud adalah yang meimbulkan ketidakadilan maka itu yang masuk kedalam kategori riba.
    B. Pandangan Para Modernis tentang Riba dan Bunga
    Para modernis seperti Fazlur Rahman (1964), Muhammad Asad (1984), Said al-Najjar (1989) dan Abd Al – mun’im al namir (2989) menekankan perhatiannya pada aspek moral sebagai bentuk pelarangan riba yang mengesampingan aspek legal formal dari lapangan riba sebagaimana yang dijelaskan dalam hukum islam. Arguentasi mereka adalah sebab dilarangnya riba karena menimbulkan ketidak adilan, sebagaimana disebutkan dalam al-qur’an diungapkan “la tazhlimuna wa-la tuzhlamun” ( kamu tidak menganiaya dan tidak pula teraniaya). Para modernis juga mendasarkan pandangan mereka dengan pandangan para ulama klasik, seperti ar razi, Ibn Qayyim, dan Ibn Taimiyah. Razi mengatakan bahwa pemberi pinjaman akan semakin kaya, sedangkan peminjam akan semakin miskin, ini dapat membuka jalan bagi si kaya untuk memeras yang miskin.
    Secara kasarnya dapat dikatakan, bahwa kekejaman riba ( dalam pengertian digunakan dalam al-qur’an dan hadits nabi) terletak pada keuntungan yang diperoleh melalui pembebanan (tangguhan) bunga pinjaman yang mencerminkan tindakan eksploitasi terhadap golongan yang perekonomiannya lemah.
    C. Pandangan neo- Revivalis tentang riba dan Bunga
    Pandangan ini adalah sesuatu yang dominan dalam perdebatan kontemporer. Pandangan ini menekankan bentuk legal dari riba sebagaimana diungkapkan dalam hukum islam, dan menegaskan bahwa pernyataan yang ditetapkan dalam al-qur’an harus diambil makna harfiahnya, tanpa memperhatikan apa yang dipraktekkan pada masa pra islam. Pandangan ini mengungkapkan tidak diperbolehkan didalam transaksi yang dianggap mengandung riba adalah ketidakadilan, hal tersebut yang membuat riba menjadi dilarang.
    Mawdudi mendefinisikan riba dengan jumlah yang diterima oleh pemberi pinjaman dari penerima pinjaman dengan angka bunga yang pasti. Laporan CII (council of Islamic ideologi) lebih eksplist : Tidak ada kebulatan secara sepenuhnya diantara berbagai madzhab pemikiran didalam islam bahwa istilah riba menunjuk pada bunga dalam semua type dan bntuknya. Chapra menyatakan bahwa riba mempunyai makna yang sama dengan bunga. Muhammad Uzair, seorang teoritisi Perbankan Islam menegaskan bahwa Bunga dalam semua bentuknya adalah sama dengan riba.
    D. Bunga, Deposito dan Muslim
    Bank Islam biasanya memandang bahwa simpanan sangat diperlukan bahkan sebuah kewajiban di dalam pencarian sekarang ini bagi pembangunan ekonomi dan sosial komunitas Muslim, dimana mengarahkan simpanan untuk sektor produktif ekonomi dipandang sebagai salah satu dari faktor yang paling penting yang kondusif bagi pembangunan. Banyak negara Muslim termasuk diantara negara-negara paling lambat berkembang dengan pendapatan per kapita yang rendah. Meskipun beberapa negara itu menyimpan presentase yang relatif tinggi dari pendapatan nasionalnya, banyak diantara mereka simpanannya sangat rendah. Akibatnya, banyak negara-negara itu, dengan perkecualian eksportir minyak, menggantungkan aliran modal dari luar negeri untuk membantu pembangunan finansial.
    Menurut Siddiqi (1983b), seorang penggagas dari sebuah teori perbankan Islam, "salah satu alasan utama mengapa kebiasaan perbankan tidak pernah berakar secara mendalam di dalam masyarakat Muslim adalah bunga". Kalim Siddiqi perkiraan yang bisa dipercaya dari sejumlah Muslim yang menghindari sistem perbankan karena bunga adalah terdapat dalam literatur perbankan Islam meskipun ditegaskan bahwa sebagian besar masyarakat berada di luar sistem perbankan. Bank-bank Islam, dibandingkan bank tradisional berdasarkan bunga merupakan minoritas kecil bahkan di dunia Muslim, dan deposito bank-bank tradisional berdasarkan bunga. Pembagian seluruh deposito dari bank-bank Islam di dalam pasar deposito Bank Uang Deposito di negara-negara Islam dimana bank-bank Islam dan bank berdasarkan bunga beroperasi berdampingan adalah agak kecil. Pembagian pasar ini sejak dari lima hingga dua puluh persen, dan di dalam beberapa kasus kurang dari sepuluh persen. Meskipun secara agak langsung hal ini menunjukan bahwa hasil ada sektor minoritas dalam komunitas Muslim, yang menghindari bank-bank tradisional karena kayakinan mereka bahwa bunga itu dilarang. Adalah hampir dua puluh tahun sejak bank-bank Islam komersial pertama muncul, dan jika bunga adalah faktor penghalang, bank-bank Islam bisa meningkatkan pembagian deposito mereka secara berarti.
    Bahkan dalam kasus pakistan, menurut sarjana Pakistan Shahrukh R. Khan, ketika perbankan Islam diperkenalkan pada tahun 1980-an tidak terjadi perubahan yang tiba-tiba dari deposito pembagian untung rugi, terhadap beberapa bank. Uang yang memasukkan sistem pembagian untung rugi, terutama berasal dari adanya deposito dengan sangat sedikit dana pembagian untung rugi baru nasabah atas dasar pembagian untung rugi muncul sebagian besar yang didorong oleh Perolehan finansial bukan karena sebuah keyakinan agama bahwa bunga dilarang.
    Pemerintah Pakistan, dalam mendorong kemajuan perbankan Islam, telah memasikan bahwa keuntungan yang diberikan kepada nasabah pembagian untung rugi lebih tinggi dibandingkan dengan bunga yang tersedia, dengan memberikan insentif bagi nasabah untuk menabung simpanan mereka dalam deposito pembagian untung rugi.

    Ekonomi Islam dalam konteks Fiqh Al Bi’ah

    A. Pengertian Fiqh Al bi’ah
    Fiqh Al Bi’ah berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu kata fiqh dan al bi’ah. Secara bahasa “fiqh” berasal dari kata faqiha-yafqahu-fiqhan yang berarti al ilmu bis-syaii (pengetahuan terhadap sesuatu), al fahmu (pemahaman). Sedangkan secara istilah, fiqh adalah ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang diambil dari dalil-dalil tafshili (terperinci). Adapun kata “al bi’ah” dapat diartikan dengan lingkungan hidup,yaitu: kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan peri kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
    Dari sini, dapat kita berikan pengertian bahwa fiqh al bi’ah atau fiqh lingkungan adalah seperangkat aturan tentang perilaku ekologis manusia yang ditetapkan oleh ulama yang berkompeten berdasarkan dalil yang terperinci untuk tujuan mencapai kemaslahatan kehidupan yang bernuansa ekologis.
    B. Ekonomi Islam dalam konteks Fiqh Al Bi’ah
    a. Peran Ekonomi Islam Dalam Lingkungan
    Pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan telah menghasilkan krisis lingkungan hidup dunia yang ditandai dengan meningkatnya pemanasan global. Guna mengatasi masalah tersebut diperlukan suatu agenda pembangunan ekonomi yang berkelanjutan yaitu upaya yang menyerasikan antara pembangunan ekonomi dan lingkungan hidup. Di dalam pembangunan ekonomi dan lingkungan hidup umat Islam mempunyai peranan strategis karena dalam agama Islam telah diatur dalam Al Quran, pada: Q.S 16:97, Q.S 2:29, Q.S 6:95, Q.S 6:95, Q.S 10:6, Q.S 16: 66, 67, 68. Di dalam pemanfatan sumber daya alam harus memperhatikan unsur ekologis, pemeliharaan alam dan tidak membuat kerusakan dimuka bumi. Hal ini selaras dengan konsep pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
    b. Islam dan Lingkungan Hidup
    Pandangan agama Islam sangat positif terhadap lingkungan dan sangat preventif, bahkan konsep Islam terhadap lingkungan sudah ada sejak dulu saat Alquran diturunkan. Hal ini terlihat dari kontribusi Alquran terhadap lingkungan berikut ini: “Dialah Allah yang menciptakan kamu dari unsur tanah dan memerintahkan kalian untuk memakmurkan, mengelola lingkungan (Q.S 17:61). Pesan ayat ini menurut Ibnu Katsir, adalah melaksanakan pembangunan dan mengelola bumi artinya kemakmuran di bumi ini terjadi kalau manusia memanfaatkan lingkungan secara baik dan benar dalam perfektif ekologis. Konsep Alquran seperti itu diderivasikan dari ayat lingkungan seperti: “barang siapa yang berbuat baik, lelaki atau perempuan, asal ia beriman niscaya ia akan mendapatkan kehidupan yang bekualitas” (Q.S 16:97). Yang menjadi tolok ukur kualitas dan prestasi adalah berdasarkan produk final hasil karya pembangunan yang dilakukan.
    Berdasarkan konsep tersebut Islam tersebut sangat jelas bahwa semua orang di muka bumi ini dalam memanfaatkan sumberdaya alam untuk kemakmuran haruslah diikuti suatu kegiatan pemeliharaan dan menjaga jangan sampai terjadi kerusakan atas sumberdaya alam yang ada. Tujuan pemanfaatan sumber daya alam adalah mengembangkan keseimbangan antara upaya peningkatan kesejahteraan hidup dengan kelestarian ekosistem sehingga bermanfaat secara berkelanjutan bagi semua manusia. Sadar atau tidak pola pembangunan ekonomi di dunia kita saat ini sudah melanggar kaidah-kaidah Agama islam terhadap pemanfaatan sumberdaya alam. Hal ini terlihat dari ekploitasi sumberdaya alam yang berlebihan seperti : pembabatan hutan, eksploitasi pertambangan, industrialisasi yang selalu mengejar keuntungan yang setinggi-tingginya. Dampak yang ditimbulkan adalah seperti yang ditunjukan oleh para ilmuwan dari hasil penelitiannya bahwa planet bumi terancam akibat perubahan iklim, dan kehilangan habitat dan ekspansi ekonomi yang tak terbatas oleh manusia dan kepunahan spesies semakin tinggi.
    Memelihara lingkungan pada dasarnya bertujuan untuk mewujudkan keadilan yang universal. Konsep keadilan universal islam adalah meletakkan kemaslahatan sebagai tujuan utama dari aktivitas kemanusiaan. Peduli terhadap kelestarian lingkungan tidak saja berorientasi pada kemaslahatan lingkungan itu sendiri. Akan tetapi lebih dari itu sebagai jaminan terhadap kelangsungan hidup manusia. Islam memberikan kebebasan kepada manusia untuk mengelola alam, tetapi kebebasan itu adalah kebebasan yang bertanggung jawab dan berkeadilan.
    c. Peran Umat Islam Dalam Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup
    Secara demografis jumlah umat Islam relatif cukup besar yaitu sekitar 1,5 milyar dan jumlah tersebut diperkirakan akan terus bertambah, umat islam mempunyai potensi yang besar dalam penyelamatan lingkungan. Apabila umat Islam secara konsisten melaksanakan ajaran Alquran seperti yang telah disampaikan diatas maka kerusakan lingkungan akan dapat diminimalisir. Oleh karena itu gerakan umat Islam untuk mengatasi krisis lingkungan dapat dimulai dari budaya di tingkat keluarga, organisasi pemerintah, lembaga keagamaan, partai politik, pondok pesantren, Perguruan Tinggi, Sekolah dasar sampai menengah atas. Jumlah umat Islam yang besar merupakan modal yang besar untuk melaksanakan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dengan syarat umat Islam harus memahami dan mengetahui konsep-konsep Islam tentang hubungan antara pembangunan ekonomi dan lingkungan hidup serta melakukannya dalam tindakan riil dalam kehidupan sehari- hari. Kalau saja ada komitmen dari seluruh umat Islam di dunia dalam setiap tahun, tiap orang menanam pohon maka di dunia ini akan terjadi penambahan pohon baru sekitar satu setengah milyar tiap tahunnya. Gerakan tersebut selama enam tahun akan menghasilkan pohon baru sejumlah 9 milyar dan akan menyamai jumlah penduduk dunia. Langkah ini sangat efektif untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan hidup dunia. Penanaman pohon dapat dikonsentrasikan pada lahan kritis, lahan–lahan kosong di rumah tangga atau fasilitas umum. Jenis pohon dapat diupayakan pohon produktif sehingga dapat menunjang ekonomi masyarakat. Pada prinsipnya setiap umat Islam dari segala lapisan masyarakat harus berperan aktif dalam pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan bidang pekerjaannya atau sesuai dengan bidang keahliannya masing-masing yang didasarkan pada ajaran Islam. Meskipun kesadaran pemimpin Agama sudah menyadari akan pentingnya lingkungan hidup, gerakan umat Islam untuk mengkampanyekan perbaikan lingkungan amatlah sangat penting saat ini.
    d. Tantangan Umat Islam Dalam Globalisasi Ekonomi
    Untuk mewujudkan peranan umat Islam dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan ada beberapa tantangan yang harus dihadapi:
    i. Tantangan ekonomi global yang sangat berpihak pada kapital dan teknologi,
    ii. Munculnya perusahaan multi internasional yang berbasiskan sumberdaya alam sering memperdaya masyarakat negara berkembang khususnya umat Islam yang kehidupannya sangat tergantung pada sumber daya alam. Gempuran ekonomi global harus diwaspadai sebagai politik dagang negara-negara maju untuk memperluas pasar produk- produk mereka. Akibat ambisius negara industri dalam memepercepat pertumbuhan ekonomi, mereka sering melanggar etika dengan menekan negara berkembang untuk selalu melindungi lingkungan hidup padahal merekalah yang paling banyak menikmati pertumbuhan ekonomi dunia. Selayaknya mereka juga harus ikut bertanggung jawab terjadinya kerusakan lingkungan hidup dunia saat ini. Islam telah lebih dulu membuat konsep pembangunan ekonomi berkelanjutan dibandingkan konsep PBB tentang pembangunan berkelanjutan yang lahir saat tanda-tanda kerusakan lingkungan dunia mulai dirasakan. Segera menghentikan tindakan-tindakan pembangunan ekonomi yang merusak atau mengeksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan. Menyerukan kepada seluruh pemimpin umat Islam di dunia untuk segera mengevaluasi kebijakan pembangunan ekonominya, dan segera melaksanakan pembangunan ekonomi yang ramah lingkungan dengan dasar ajaran Islam. Memperingatkan negara industri untuk menyisihkan sebagian pendapatannya guna mengatasi krisis lingkungan di negara-negara berkembang.

    Analisi Buku dan Gambarannya

    Tugas Kapita Selekta Ekonomi Islam 7 ES A
    Nama : M Ugi Apriyadi
    NIM : 1423203017
    1. Judul Buku : Ekonomi Islam (Prinsip, Dasar, dan Tujuan)
    Pengarang : Abdullah Abdul Husain at-Tariqi
    Synopsis :
    Buku ini memberikan gambaran bahwa ekonomi Islam tidak hanya tampak dalam konsepsi global, namun juga tercermin dalam praktik-praktik aplikatif aktivitas ekonomi. Walaupun terdapat beberapa persamaan dengan sistem ekonomi yang lain, namun tetap ada perbedaan pandangan. Hal itu dapat dilihat dalam aktivitasnya, seperti idealitas transaksi, bagi hasil, asuransi, jaminan, deposito, pinjaman, jual beli,valas dah saham, premi dan transaksi perbankan. Dan aktivitas-aktivitas tersebut dapat bernilai ibadah manakala proses yang melingkupi sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh Islam.
    2. Judul Buku : Ekonomi Makro Islam (Pendekatan Teoritis)
    Pengarang : Nurul Huda, dkk.
    Synopsis :
    Buku ini adalah sebuah usaha konstruktif merespon perkembangan kontribusi terhadap pengembangan konsep dan teori ekonomi bernuansa Islam, khususnya dalam bidang makro ekonomi. Karenanya, tiga isu utama ekonomi makro (pertumbuhan ekonomi, inflasi dan pengangguran) akan menjadi fokus utama buku ini dan diuraikan dalam sembilan bab komprehensif. Bab I Konsep dasar ekonomi Islam, Bab 2 Pendapatan nasional dalam perspektif ekonomi Islam, Bab 3 dan 4 Sistem perekonomian tertutup dengan dan tanpa kebijakan pemerintah, Bab 5 dan 6 Konsep dasar permintaan uang dalam perspektif ekonomi Islam dan uraian tentang Dinar-Dirham, Bab 7 Keseimbangan pasar barang dan pasar uang, Bab 8 Inflasi, Bab 9 Keseimbangan antara Agregat Demand dan Supply. Buku ini juga menutup uraian penting tentang bunga bank dan riba yang selalu menjadi bahan perbincangan menarik ketika orang berbicara tentang praktik ekonomi Islam.
    3. Judul Buku : Ekonomi Mikro Islami
    Pengarang : Ir. Adiwarman A.Karim, S.E, M.B.A., M.A.E.P
    Sinopsis :
    Ekonomi islam bukan hanya terbatas pada soal bank syariah saja, namun harus mencakup pula ekonomi makro, ekonomi mikro, kebijakan moneter, kebijkan fiskal, pembiyaan publik hingga konsep pembangunan. Dalam buku ini, penulis menggali kembali konsep, variabel, dan teori-teori ekonomi yang telah diidentifikasi oleh para pemikir ekonom muslim, seperti Ibn Taimiyah, Ibn Khaldun dll, dimana pemikirannya masih sangat relevan dengan ekonomi modern.
    4. Judul Buku : Prinsip-prinsip Ekonomi Islam
    Pengarang : Muhammad
    Sinopsis :
    Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam merupakan salah satu mata kuliah profesi yang diajarkan pada Program Studi Ekonomi Syari’ah. Buku ini ditulis dalam rangka memenuhi kekurangan dan kelangkaan referensi atau acuan dalam mempelajari mata kuliah dimaksud. Meskipun penyajian materi dalam buku ini sederhana, namun tetap mengacu pada pada substansi dan inti kurikulum dan silabis yang diajarkan untuk mata kuliah bersangkutan. Buku ini terdiri dari enam bab yang saling terkait antara satu dengan lainnya. Bab pertama, menyajikan hakikat atau ontologi, konfigurasi dan azas-azas ekonomi Islam. Problematika ekonomi kontemporer yang diangkat dalam bab dua menyajikan beberapa sub bahasan meliputi problema paradigma keilmuan, problema ekonomi sebagai disiplin ilmu bebas nilai, problema ketimpangan sosial ekonomi antara negara. Pada bagian akhir bab ini mempresentasikan nilai-nilai Islam sebagai tawaran ke arah reorientasi ekonomi sejati. Bab tiga buku ini secara khusus membahas permasalahan aktual di seputar trend liberalisasi dan permasalahan ekonomi dengan sub bahasan berupa hakikat liberalisasi, isi liberalisasi dan implikasi terhadap ekonomi mikro. Bab empat menyajikan landasan Islam dalam pembangunan ekonomi yang terdiri dari landasan filosofis, landasan etika dan moral, landasan ekonomi dan bisnis dan landasan sosial. Dua bab terakhir yaitu bab lima dan bab enam menyoroti bagaimana nilai-nilai agama bisa memformat pembangunan ekonomi secara ideal. Secara khusus dalam bab enam menawarkan paradigma Islam dalam pemberdayaan ekonomi mikro.
    5. Judul Buku : Ekonomi Islam Analisis Mikro & Makro
    Pengarang : Abdul Aziz
    Sinopsis :
    Dalam buku ini dinyatakan bahwa sistem perekonomian yang berlangsung dewasa ini telah memasuki masa-masa sulit terutama kapitalis dan sosialis. Dimana kedua sistem tersebut telah gagal mensejahterahkan kehidupan manusia modern secara utuh. Hal ini nampak adanya kehampaan rohani yang telah melanda manusia-manusia modern sosialis dan kapitalis, sehingga memberikan peluang besar bagi homoeconomicus oriented yang hanya memandang kehidupan hanya dinilai dari aspek materi, sehingga menciptakan mainstream bahwa kesejahteraan hanyalah diukur dari keberhasilannya memperbanyak materi dan kekayaan semata. Akibatnya, manusia cenderung materialistis dan mengahalalkan segala cara untuk mengabulkan keinginannya. Kehadiran ekonomi islam dan sistem perekonomiannya yang mulai menggeliat ditengah kehidupan kapitalis global dan pemerintahan yang otoriter diharap mampu menyuguhkan kesejahteraan hakiki, antara aspek duniawi maupun ukhrawi baik secara individu, kelompok, masyarakat bangsa, negara dan agama.
    6. Judul Buku : Hukum Ekonomi Syariah
    Pengarang : Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A.
    Sinopsis :
    Ekonomi Syariah adalah suatu studi yang mempelajari cara-cara manusia mencapai kesejahteraan dan mendistribusikannya berdasarkan hukum islam. Kesejahteraan adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai dan harga, mencakup harta dan kekayaan, dan jasa yang diproduksi dan dialihkan, baik dalam bentuk menjual dan dibeli oleh para pembisnis maupun dalam bentuk transaksi lainnya yang sesuai ekonomi syariah.
    7. Judul Buku : Prinsip Dasar Ekonomi Islam Prespektif maqashid al-syariah
    Pengarang : Dr. Abdul Kadir Riyadi, Lc., M.S.Sc dkk
    Sinopsis :
    Pada dasarnya maqashid al-syariah merupakan dasar ekonomi islam yang berasal dari Allah SWT yang bertujuan memberikan kemaslahatan pada manusia berupa kebutuhan dlaruriyah, hajuyah, dan tahsiniyah supaya manusia dapat hidup dalam kebaikan dan menjadi hamba-Nya yang baik. Produksi barang kebutuhan dasar secara khusus dipandang sebagai kewajiban sosial sehingga dapat memwujudkan kesejahteraan masyarakat melalui keadilan pendistribusian. Dalam buku menyatakan bahwa “prinsip dasar ekonomi islam ini tidak saja menjadi tujuan dan esensi ekonomi islam, tetapi juga sebagai dasar bangunan ekonomi islam.
    8. Judul Buku : Ekonomi Makro; Tinjauan Ekonomi Syariah
    Pengarang : Naf'an
    Sinopsis :
    Buku Ekonomi Makro; Tinjauan Ekonomi Syariah ini merupakan wujud pengembangan konsep Ekonomi Islam yang dianggap sebagai konsep pilihan untuk mewujudkan semua itu. Buku ini terdiri dari 15 bab yang dimulai dari Sejarah Ekonomi Makro, Konsep Sumber Daya dalam Ekonomi Islam, Analisis Kegiatan Ekonomi Klasik Keynes dan Masa Kini, Uang dalam Ekonomi Islam, Pandangan Para Ekonom Muslim Tentang Uang, Teori Permintaan Uang dalam Islam, Inflasi dalam Ekonomi Islam, Inflasi dan Pengangguran, Pengangguran dan Pertumbuhan Ekonomi, Kebijakan Moneter Islami, Kebijakan Fiskal dan Distribusi Ekonomi dalam Islam, Pendapatan Nasional, Baitul Mal: Apbn dalam Perspektif Ekonomi Islam, Pertumbuhan dalam Ekonomi Pembangunan Islam dan Perdagangan Internasional dalam Literatur Islam. Buku ini disajikan dengan pendekatan komparasi antara konsep ekonomi konvensional dengan konsep ekonomi Islam sehingga pembaca bisa membandingkan perbedaan-perbedaan antara kedua konsep, serta bisa mencari celah untuk mengembangkan lebih lanjut konsep ekonomi Islam secara makro. Sehingga pantas jika sumbangan pemikiran ini sepatutnya disambut dengan hangat oleh umat muslim dan juga seluruh lapisan masyarakat yang telah lama merindukan terwujudnya kesejahteraan hakiki dalam hidup berekonomi.
    9. Judul Buku : Falsifikasi Kebijakan Fiskal di Indonesia Perspektif Islam; Menemukan Relevansi Pemikiran Ibnu Taimiyah Tentang Keuangan Publik Sebagai Potret Khazanah Kebijakan Fiskal Periode Klasik Islam.
    Pengarang : Minarni., S.E.I., M.Si.
    Sinopsis :
    Kesejahteraan ekonomi akan selalu menjadi dambaan bangsa Indonesia. Dalam usaha mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan sosial, pemerintah Indonesia menjadikan kebijakan moneter dan fiskal sebagai senjata utama. Tentu saja kondisi yang ada saat ini sudah jauh lebih baik jika dibandingkan dengan masa awal kemerdekaan. Namun, sepanjang guratan jejak kehidupan bangsa masih tidak sedikit kelompok masyarakat yang belum mampu menikmatinya secara layak.
      Buku ini ditulis untuk mendiskusikan tema kesejahteraan ekonomi dari sudut pemikiran Islam klasik milik seorang ulama besar, Ibnu Taimiyah. Pemikiran beliau tentang keuangan publik disandingkan dengan “pemikiran” pengambil kebijakan fiskal di Indonesia sehingga diperoleh pembandingan yang logis dan berimbang. Melalui goresan pena beliau, Ibnu Taimiyah mengusahakan adanya transformasi sosial ke arah yang lebih baik. Berangkat dari kegelisahan akademik tentang kesejahteraan ekonomi di Indonesia, buku ini juga salah satu usaha transformasi sosial, mengingat Islam telah menawarkan pedoman umum solusi seluruh permasalahan manusia. Pada akhirnya, tergantung upaya manusia itu sendiri dalam memilih jalan hidupnya. Manusia hendaknya selalu ingat bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak pernah menyia-nyiakan usaha hamba-Nya.
    10. Judul Buku : Ekonomi Islam; Sebuah Pendekatan Ekonomi Mikro Perspektif Islam.
    Pengarang : Sumar'in, S.EI.,M.Si.
    Sinopsis :
    Hadirnya ekonomi Islam dimuka bumi bukanlah sebuah ilmu baru yang timbul oleh pemikiran dan buah karya manusia. Ekonomi islam sesungguhnya telah ada bersama hadirnya Islam di muka bumi, dalam hal ini konsep ekonomi dalam perspektif Islam menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari ajaran dan pedoman Islam itu sendiri. Ekonomi Islam telah diajarkan dan dipraktekkan oleh Rasulullah SAW sebagai pembawa risalah Islam. Karena bagaimanapun Islam dan ekonomi adalah sebuah bagian yang utuh yang tidak bisa dilepaskan. Sehingga didalamnya kajian ilmu ekonomi Islam tidak akan bisa dilepaskan antara kajian ekonomi normative yang diterjemahkan dalam ilmu ekonomi positif perpaduan antara nilai normative dan teori ilmu positif merupakan body of Islamic economic itu sendiri.
      Buku ini disusun secara umum dalam dua kategori besar yakni tentang Kajian tentang Fundamental Ekonomi Islam yang meliputi Bab I Konsep Dasar Ekonomi Islam, Bab 2 Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Bab 3 Mazhab Ekonomi dan Rancang Bangun Ekonomi Islam serta Bab 4 Perbandingan Sistem Ekonomi Dunia. Adapun bagian kedua yakni tentang kajian Ekonomi Mikro Islam secara lebih ekplisit. Yakni Bab 5 Teori Konsumsi dalam Perspektif Islam, Bab 6 Teori Permintaan Islami, Bab 7 Teori Penawaran Islami, Bab 8 Teori Produksi Islami dan Ba.b 9 Mekanisme Pasar Islami sebagai bab akhir dari tulisan ini.
    11. Judul Buku : Paradigma, Metodologi & Aplikasi Ekonomi Syariah
    Pengarang : Muhammad
    Sinopsis :
    Nilai-nilai moral dan religius dalam sistem ekonomi konvensional seringkali tidak mempunyai wibawa dan nilai apa-apa, bahkan dianggap sebagai rintangan untuk mencapai tujuan-tujuan dalam kegiatan ekonomi dan bisnis. Akibatnya, pembangunan ekonomi menghasilkan disorientasi nilai-nilai (moral dan religius), yang pada gilirannya menimbulkan depresi mental dan keterasingan diri. Fenomena ini memunculkan kekhawatiran secara luas dikalangan ilmuwan yang berhaluan kritis.
    12. Judul Buku : Konsep Kelembagaan Bank Syariah
    Pengarang : Sumar'in, S.EI, M.S.I
    Sinopsis :
    Sesungguhnya embrio kemunculan Bank Islam (red: Syariah) sudah dimulai pada tahun 1940-an, dengan dimulainya diskusi dan tulisan tentang gagasan keuangan yang berdasarkan bagi hasil. Setidaknya ditemukan beberapa penulis awal tetang konsep keuangan berbasis bagi hasil dan mencoba menghilangkan praktik bunga di antara lain Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1948) dan Mahmud Ahmad (1952). Uraian dan ide yang lebih terperinci mengenai gagasan mengenai perbankan Islam dilanjutkan oleh ulama besar Pakistan, yakni Abul A'la Al-Mawdudi (1961) serta Muhammad Hamidullah (1944-1962)
      Lahirnya Bank Syariah sebagai sebuah institusi bisnis yang menjadikan system dan mekanisme operasional berdasarkan nilai dan prinsip islam, mengacu kepada ketentuan-ketentuan Al-Qur'an dan Hadits. Merupakan sebauh konsekwensi dari sebuah pemahanan utuh tentang Islam itu sendiri yang merupakan ajaran komperhensif dan universal dalam kehidupan manusia.
      Atas dasar ini bagi para praktisi maupun akademisi maupun para pengkaji bank syariah (mahasiswa) dituntut untuk mempunyai pemahaman yang luas dan menyeluruh tentang Islam maupun bank Syariah. Untuk itu kajian tetang, Islam dan ekonomi, prinsp transasksi dalam Islam, konsep riba, aspek hukum bank syariah, peluang dan tantangan, maupun bentuk kelembagaan bank syariah yang terkait dengan produk dan pengembangan serta pola kelembagaan dan manajemen sangat penting untuk terus dikaji dan diperdalam. Atas dasar itu pula buku ini berusaha untuk menjawab dan menjadi literature atas permasalahan dan tema kajian diatas.
      Akhirnya buku ini merupakan salah satu referensi untuk melengkapi kebutuhan dalam pengkajian dan pengayaan pemahaman lembaga perbankan Syariah. Penulis berusaha untuk mendekatkan sebuah kajian filosofis normative menuju pendekatan empiric praktis yang menjadi tuntutan dan kebutuhan dalam pengembangan kelembagaan bank Syariah itu sendiri.
    13. Judul Buku : Lembaga Ekonomi Syariah
    Pengarang : Muhammad
    Sinopsis :
    Lembaga Ekonomi Islam adalah salah satu keahlian yang diajarkan pada Program Studi Ekonomi Syari'ah. Buku Lembaga Ekonomi syariah ini adalah salah satu buku yang dapat dijadikan referensi.Buku ini terdiri dari delapan bab yang saling terkait antara satu dengan lainnya. Dua fokus utama yang menjadi titik tekan pembahasan buku ini, yaitu lembaga ekonomi dan keuangan Islam, Bank dan lembaga ekonomi dan keuangan Islam non-Bank yang meliputi bait al mal, pegadaian syari'ah, asuransi syari'ah dan koperasi syari'ah. Semoga kehadiran buku ini dapat memberi nilai yang bermanfaat bagi pembaca yang budiman, terutama bagi mahasiswa jurusan ekonomi dan keuangan syari'ah.
    14. Judul Buku : Fikih Ekonomi Islam
    Pengarang : Prof. Dr. Shalah ash-Shawi dan Prof. Dr. Abdullah al-Mushlih
    Sinopsis :
    Buku ini merupakan satu upaya besar yang dilakukan oleh dua orang ulama kontemporer untuk mengupas, membahas, dan menyajikan sistem serta metode Islam dalam memandu bisnis modern sekarang ini. Isi buku ini amat sulit untuk diungkapkan dengan ringkas, namun baru bisa dirasakan manfaatnya yang amat besar bila dibaca secara runtut dan dipahami secara benar.
    15. Judul Buku : Kapita Selekta Ekonomi Indonesia
    Pengarang : H. Soeharsono Sagir, dkk.
    Sinopsis :
    Kehidupan manusia dibumi semakin lama dihadapkan pada masalah kelangkaan sumber daya yang semakin terbatas, seperti halnya keberadaan minyak bumi dan hutan tropis yang banyak terdapat di Indonesia. Sementara sumber daya yang ada semakin terbatas, kebutuhan manusia untuk memenuhi kepuasannya menjadi semakin banyak. Dapat dilihat dari semakin beraneka ragamnya kebutuhan dari hari ke hari. Hal ini menyebabkan Ilmu Ekonomi yang sudah berkembang sejak abad XVII semakin diperlukan oleh manusia.
    Pembangunan yang dilakukan oleh banyak negara di dunia ini kebanyakan juga memprioritaskan pembangunan di bidang ekonomi. Apalagi bagi negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Pembangunan di Indonesia menitikberatkan pada pembangunan ekonomi. Kondisi seperti ini menuntut masyarakat untuk lebih memahami aspek-aspek ekonomi atau segala sesuatu yang berhubungan dengan ilmu ekonomi.
    16. Judul Buku : Akuntansi Perbankan Syariah
    Pengarang : Osmad Muthaher
    Sinopsis :
    Buku ini membahas materi Akuntansi Perbankan Syariah yang disampaikan secara rinci disesuaikan dengan pedoman standar akuntansi yang berlaku disertai dengan gambar/alur produk-produk bank syariah sehingga memudahkan dalam memahami isi dari materi buku ini. Di samping itu juga disertakan contoh-contoh soal kasus dalam akuntansi perbankan syariah pada setiap akad-akad produk bank syariah sehingga memperjelas proses pencatatan, penyajian dan pelaporan akuntansinya. Buku ini juga bisa digunakan pembaca untuk memperdalam kemampuan akuntansi bank syariah sebagai bekal dalam menyongsong dunia kerja pada bank-bank syariah.
    17. Judul Buku : Ekonomi Makro Islam (Pendekatan Teoritis)
    Pengarang : Nurul Huda, dkk.
    Sinopsis :
    Buku ini adalah sebuah usaha konstruktif merespon perkembangan kontribusi terhadap pengembangan konsep dan teori ekonomi bernuansa Islam, khususnya dalam bidang makro ekonomi. Karenanya, tiga isu utama ekonomi makro (pertumbuhan ekonomi, inflasi dan pengangguran) akan menjadi fokus utama buku ini dan diuraikan dalam sembilan bab komprehensif. Bab I Konsep dasar ekonomi Islam, Bab 2 Pendapatan nasional dalam perspektif ekonomi Islam, Bab 3 dan 4 Sistem perekonomian tertutup dengan dan tanpa kebijakan pemerintah, Bab 5 dan 6 Konsep dasar permintaan uang dalam perspektif ekonomi Islam dan uraian tentang Dinar-Dirham, Bab 7 Keseimbangan pasar barang dan pasar uang, Bab 8 Inflasi, Bab 9 Keseimbangan antara Agregat Demand dan Supply. Buku ini juga menutup uraian penting tentang bunga bank dan riba yang selalu menjadi bahan perbincangan menarik ketika orang berbicara tentang praktik ekonomi Islam.
    18. Judul Buku : Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam
    Pengarang : Prof. Dr. H. Boedi Abdullah
    Sinopsis :
    Buku ini membahas urgensi peradaban perekonomian Islam dari masa Arab pra-Islam, Nabi, Khulafaur Rasyidin, Bani Umayyah, Bani Abbasiyah sampai Bani Fatimiyah. Selain itu, dijelaskan pula perbedaan sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi Barat yang konvensional. Dengan perbandingan tersebut, kelak keunggulan ekonomi sistem Islam akan diketahui dengan lebih jelas. Prinsip ekonomi Islam berpihak pada keadilan dan kesejahteraan untuk seluruh umat manusia. Islam tidak menghendaki kekayaan bertumpuk pada sekelompok orang tertentu. Islam mengajarkan juga agar kemitraan ekonomi dan ekonomi kemitraan dibangun diatas prinsip keadilan dan tolong-menolong antar-sesama umat Islam. Ajaran islam tentang ekonomi dan ekonomi pola kapitalisme juga dibahas khususnya mengenai sistem ekonomi yang harus dibangun dengan berprinsip pada sikap tolong-menolong, kejujuran, keadilan, persamaan derajat, hak dan kewajiban. Hal itu karena harta merupakan titipan Allah yang harus diperdayakan agar manfaatnya dapat dirasakan oleh semua golongan.
    19. Judul Buku : Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam
    Pengarang : Mustafa Edwin Nasution, dkk.
    Sinopsis :
    Buku ini hadir menjawab kebutuhan akan literatur ekonomi islam yang bernuansa akademis. Seluruh tema dibahas dalam 12 bab dan tampillah ke dalam 3 bagian utama. Bagian pertama (Bab I dan II) menjelaskan pandangan Islam tentang segala kegiatan ekonomi yang kemudian bermuara pada pembentukan definisi ekonomi Islam. Pandangan dan koreksi terhadap berbagai aspek kegiatan ekonomi menjadi fokus pembahasan bagian kedua (Bab III sampai Bab XI). Bagian ketiga yang merupakan penutup rangkaian pembahasan ini, menghadirkan perkembangan ekonomi Islam dalam tataran praktis, yakni terbentuknya lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan berbasis Islam.
    20. Judul Buku : Hadist Ekonomi (Ekonomi Dalam Perspektif Hadis Nabi)
    Pengarang : Prof. Dr. H. Idri. M.Ag.
    Sinopsis :
    Substansi penting buku ini membahas berbagai kaidah Ekonomi Islam dalam perspektif Hadis Nabi Muhammad SAW, yang disajikan dalam dua belas (12) bab: Nilai-nilai dasar ekonomi Islam; Motivasi dan tujuan ekonomi; Produksi; Konsumsi; Distribusi; Jual beli dan riba; Gadai; Penjualan jasa dan sewa-menyewa; Koperasi; Pemasaran; Kewirausahaan; dan Etika bisnis.
    Meskipun merupakan buku ajar (textbook), buku ini juga layak dibaca oleh siapa saja yang berminat untuk mengkaji ekonomi Islam. Baik bagi kalangan akademisi (dosen/pengajar dan mahasiswa) serta praktisi lembaga ekonomi syariah, maupun masyarakat pada umumnya karena didalamnya membahas intisari hadis nabi yang berkaitan dengan ekonomi.

    Kapita Selekta Ekonomi Islam (Keuangan Publik Islam)

    A. Pengertian Keuangan Publik Islam
    Keuangan publik adalah bagian ilmu ekonomi yang mempelajari aktivitas finansial pemerintah. Yang merupakan pemerintah disini adalah seluruh unit pemerintah dan institusi atau organisasi pemegang otoritas publik lainnya yang dikendalikan dan didanai oleh pemerintah. Keuangan publik menjelaskan belanja publik dan teknik-teknik yang digunakan oleh pemerintah untuk membiayai belanja tersebut. Keuangan publik juga menganalisis pengeluaran publik untuk membantu kita dalam memahami mengapa jasa tertentu harus disediakan oleh Negara dan mengapa pemerintah menggantungkannya pada jenis-jenis pajak tertentu. Keuangan publik mempelajari proses pengambilan keputusan oleh pemerintah, karena setiap keputusan mempunyai pengaruh pada ekonomi dan keuangan rumah tangga dan swasta. Sehingga, penting untuk mengembangkan model-model ekonomi yang membantu menjelaskan arti alokasi sumber daya yang efisien atau optimal, arti keadilan, dan antisipasi akibat finansial maupun ekonomi atas suatu keputusan publik. Dengan demikian, fokus keuangan publik adalah mempelajari pendapatan dan belanja pemerintah dan menganalisis implikasi dari kegiatan pendapatan dan belanja pada alokasi sumber daya, distribusi pendapatan, dan stabilitas ekonomi.
    B. Sumberdaya Keuangan Publik Islam
    Sumber daya keuangan publik merupakan salah satu objek penting dalam pengembangan prinsip-prinsip kepemilikan karena filosofi dan paradigma pemikiran kepemilikan sangat berimplikasi terhadap ketersediaan sumber daya keuangan. Menurut Baqr ash-Shadr, sumber daya terbagi dua bagian, yaitu sumber daya yang bersumber pada barang-barang material/al madiyah untuk produksi, dan distribusi sumber daya yang bersifat produktif/al muntijah.
    Banyak teori dan pendapat dari para pakar tentang sumber daya keuangan publik. M. Abdul Mannan menjelaskan bahwa sumber daya keuangan publik dapat dirujuk pada beberapa aspek pembayaran dalam sistem ekonomi islam, yang meliputi: zakat, jizyah, kharaj, ghanimah, rikaz, pajak atas pertambangan dan harta karun, serta bea cukai (‘usyr). Beberapa aspek tersebut merupakan contoh sekian banyak sumber pendapatan dalam negara islam yang dapat diberdayakan secara maksimal dan profesional.
    Berdasarkan pada tipe dan mekanisme pemasukan dalam fiskal, sumber daya keuangan publik islam diklasifikasikan pada empat unit sumber daya yaitu:
    1. Unit zakat-shadaqah
    Merupakan sumber daya keuangan yang secara spesifik terklasifikasikan pada unsur kewajiban bagi setiap muslim. Zakat secara bahasa merupakan lafadz mashdar (kata dasar) dari lafadz zakat yang berarti suci, tumbuh, barakah, dan baik. Zakat dalam istilah fiqh berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan oleh Allah Swt untuk diserahkan kepada orang orang yang berhak, disamping berarti mengeluarkan jumlah tertentu.
    Di Indonesia, ada beberapa peraturan perundang-undangan yang merupakan regulasi pemerintah Indonesia dalam usaha mengoptimalkan potensi zakat. Perundang-undangan tersebut tertuang dalam:
     Undang Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
     Undang Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
     Keputusan Menteri Agama Nomor 581 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
     Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor D/291 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat.
    2. Unit ghana’im
    Merupan unit dari proses penaklukan wilayah kekuasaan Islam (peperangan). Unit ghana’im merupakan sumber daya keuangan publik dalam bentuk fay’ dan ghanimah.
     Fay’, merupakn harta yang diperoleh oleh kaum muslimin dari orang orang kafir tanpa melakukan peperangan atau tanpa menyerbu kedaerah orang orang kafir dengan pasukan muslimin.
     Ghanimah, merupakan sumber keuangan publik yang dieksplorasi dari barang rampasan perang ketika bertempur dengan kaum kafir, dan barang tersebut berbentuk barang bergerak dan dapat dipindahkan.
    3. Unit Kharaj-Jizyah
     Kharaj atau bisa disebut dengan land taxes merupakan sumber pendapatan fiskal yang bersumber dari tanah tanah yang dimiliki oleh orang muslim ataupun non muslim.
     Jizyah atau bisa disut juga poll tax merupakan sumber daya fiskal yang kusus diberlakukan kepada masyarakat ahllul kitab (Nasrani, Yahudi dan Majusi).
    4. Unit Dharibah Milkiyyah ‘Ammah
    Dharibah dalam perkembangannya seperti pajak yang berlaku pada saat ini. Ketentuan ketentuanya hampir sama dengan perhitungan nishab dalam zakat, tetapi batasan batasannya sangat relatif dan berlainan satu nrgara dengan negara lain. Dalam masa pemerintahan Islam regulasi dharibah dalam bentuk pajak hanya dijadikan kebijakan pada saat tertentu saja, pada saat kondisi keuangan baitul maal atau defisit dan tidak cukup untuk menyediakan kebutuhan pokok masyarakat. Penarikan pajak ini pun bersifat temporal tidak berlaku terus menerus dan akan dihentikan apabila kondisinya sudah stabil kembali. Penarikan pajak dilakukan hanya kepada orang orang kaya saja, tidak kepada masyarakat yang tidak mampu.

    Waktu Shalat Fardu

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang
    Agama Islam adalah agama penyempurna dari agama-agama sebelumnya. Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah SWT telah memberikan kontribusinya untuk islam. Al-Qur’an sebagai mukjizat utama Nabi Muhammad sangat penting kedudukannya bagi umat islam. Semua hal yang di dalam dunia sudah diatur ketentuannya dalam al-Qur’an.
    Al-Qur’an sebagai pedoman hidup seorang muslim, yang di dalamnya terdapat berbagai hukum islam yang disebut dengan islam. Ilmu fiqh adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang produk-produk hukum islam. Di dalamnya dikaji berbagai pendapat-pendapat imam madzhab mengenai hukum muamalah, ibadah, munakahah, jinayah dll.
    Semua hal sudah diatur dalam al-Qur’an, termasuk waktu-waktu shalat, serta kewajiban menghadap kiblat dalam shalat. Dalam makalah ini,pemakalah akan membahas mengenai waktu-waktu shalat dan kewajiban menghadap kiblat beserta dalil-dalilnya.

    B. Rumusan Masalah
    1. Apa saja ketentuan-ketentuan waktu dalam shalat fardhu?
    2. Bagaimana pendapat para imam madzhab mengenai kewajiban menghadapkiblat, apakah ainul ka’bah atau jihadul ka’bah?
    3. Apa saja dalil-dalil yang menguatkannya?

    C. Tujuan
    1. Untuk mengetahui tentang waktu-waktu shalat fardhu
    2. Untuk menjelaskan tentang kewajiban menghadap kiblat
    3. Untuk mengetahui dalil-dalil tentang waktu shalat fardhu dan kewajiban menghadap kiblat


    PEMBAHASAN

    1. Waktu Shalat
    Waktu shalat termasuk dalam syarat sahnya shalat. Oleh sebab itu siapa saja yeng melakukan shalat sedang dia tidak mengetahui waktunya, maka shalatnya tidak sah meskipun diakukan dalam waktunya. Adapun dasar hukum keharusan melakukan shlalat pada waktu yang ditentukan yaitu  terdapat dalam QS. An-Nisa:103.
    فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ ۚ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ ۚ إِنَّ الصَّلَاةَ
     كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
    “Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”

    جَاءَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ زَالَتْ الشَّمْسُ فَقَالَ قُمْ يَا مُحَمَّدُ فَصَلِّ
    الظُّهْرَ حِينَ مَالَتْ الشَّمْسُ ثُمَّ مَكَثَ حَتَّى إِذَا كَانَ فَيْءُ الرَّجُلِ مِثْلَهُ جَاءَهُ لِلْعَصْرِ فَقَالَ قُمْ يَا مُحَمَّدُ
    فَصَلِّ الْعَصْرَ ثُمَّ مَكَثَ حَتَّى إِذَا غَابَتْ الشَّمْسُ……مَا بَيْنَ هَذَيْنِ وَقْتٌ كُلُّهُ
    “Jibril mendatangi Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam ketika matahari telah tergelincir ke arah tenggelamnya kemudian dia mengatakan, “Berdirilah wahai Muhammad kemudian shola zhuhur lah. Kemudian ia diam hingga saat panjang bayangan seseorang sama dengan tingginya. Jibril datang kemudian mengatakan, “Wahai Muhammad berdirilah sholat ‘ashar lah”. Kemudian ia diam hingga matahari tenggelam………….diantara dua waktu ini adalah dua waktu sholat seluruhnya.”












    A. Waktu Shalat Subuh
    Hukum-hukum  syara’  banyak bergantung  pada fajar shodiq. Fajar shodiq adalah cahaya putih yang tampak terang berada sejajar dengan  garis lintang ufuk. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW :
    ثُمَّ جَاءَهُ لِلصُّبْحِ حِينَ أَسْفَرَ جِدًّا فصل فصلى العشاءفَصَلَّى الصُّبْحَ
    “Kemudian dia (Jibril) mendatanginya untuk Shalat Subuh ketika langit terang, lalu dia berkata, ‘Bangunlah dan shalatlah!’ maka Beliau (Rasulullah) melaksanakan Shalat Subuh.” (HR.  An Nasa’i No. 526 , Ahmad No. 14011, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 526)
    Dalam hadits ini disebutkan, “Hiina Asfara Jiddan” (ketika langit benar-benar menguning). Maksudnya ketika langit benar-benar terang. Inilah yang disebut dengan fajar shadiq dan inilah dimulainya waktu Subuh. Tetapi disukai untuk menyegerakannya. Adapun hadis lain tentang fajar,
    وَعَنِ ابْنِ عَبّاسٍ رَضِيَ اللّهَ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسولُ الله صلى الله عليه وسلم:  الفَجْرُ فَجْرَانِ, فًجْرٌ يُحَرّمُ الطّعَامَ وَتَحِلّ
    فِيه الصّلاَةُ, وَفَجْرٌ تَحْرُمُ فِيهِ الصّلاَةُ, أَيْ صَلاَةُ الصّبْحِ, وَيَحِلّ فِيهِ الطّعَامُ  رَوَاهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ
     وِالحَاكِمُ, وَصَحّحَاهُ
    ”Dari Ibnu Abbas ia berkata: Rasulullah saw telah bersabda: Fajar itu (ada) dua: Satu fajar mengharamkan makan tetapi halal (padanya) shalat; dan fajar yang haram (padanya) shalat – yaitu shalat Shubuh – dan halal padanya makan. (Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Hakim dan dishahkan oleh keduanya).”
    Hadis Abdullah bin Amru yang terdapat dalam shahih muslim menyebutkan bahwa waktu shalat subuh bermula dari naiknya fajar dan berlangsung hingga matahari belum naik. Waktu antara naiknya matahari hingga waktu dzuhur dianggap sebagai waktu yang tidak ada hubungannya dengan kewajiban shalat.




    B. Waktu Shalat Dhuhur
    Diriwayatkan oleh Muslim (612) bahwa Rasulullah SAW bersabda:
    وَقْتُ الظُّهْرِ اِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ، وَكَانَ  ظِلُّا لرَّجُلِكَ طُوْلِهِ ٬مَالَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ
    “Waktu Zhuhur adalah apabila matahari telah condong, dan (berlangsung sampai saat) bayang-bayang seseorang sepanjang tubuhnya, yakni selagi waktu ‘Ashar belum tiba. “
    Waktu dzuhur bermula dari tergelincir matahari hingga bayang-bayang suatu benda menjadi sama panjang dengannya. Ini adalah pendapat dua orang sahabat abu hanifah dan tiga imam lainnya. Menurut dzahir riwayat madzhab Abu Hanifah, akhir waktu Dzuhur adalah apabila bayang-bayang suatu benda menjadi dua kali lipat panjangnya dari benda asalnya. Tetapi sebenarnya waktu itu adalah waktu Ashar menurut seluruh ulama. Oleh karena itu shalat dilakukan sebelum waktu ini untuk berhati-hati, dan sikap seperti ini yang diutamakan dalam masalah ibadah.
    Adapun dalil al-Qur’an yang dipegang semua pihak dalam memnentukan permulaan waktu Dzuhur adalah
    أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَىٰ غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ ۖ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
     “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).”

    C. Waktu Shalat Ashar
    Waktu Ashar dimulai ketika bayang-bayang suatu benda bertambah dari panjang asalnya, yaitu pertambahan yang paling minimal, menurut jumhur ulama. Adapun menurut Abu Hanifah, waktu Ashar dimulai saat bayangan benda bertambah dua kali lipat dari benda asal. Sedangkan untuk berakhirnya waktu Ashar seluruh ulama sepakat, bahwa waktu Ashar berakhir ketika matahari tenggelam. Sabda Nabi SAW:
    وَمَنْ اَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الْعَصْرِ قَبْلَ اَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقَدْ اَدْرَكَ الْعَصْرَ
    “Barangsiapa dapat mengejar satu rakaat dari shalat ‘Ashar sebelum terbenamnya matahari, maka berarti dia telah dapat mengejar shalat ‘Ashar seluruhnya. (H.R. al-Bukhari: 554, dan Muslim: 608). “
    Kebanyakan ahli fiqh mengatakan bahwa shalat Ashar pada waktu matahari mulai menguning adalah makruh. Mereka menyandarkan pendapatnya berdasarkan sabda Nabi SAW,
    تِلْكَ صَلاَةُ الْمُنَافِقِ يَجْلِسُ يَرْقُبُ الشَّمْسَ حَتَّى إِذَا كَانَتْ بَيْنَ قَرْنَىِ الشَّيْطَانِ قَامَ فَنَقَرَهَا
    أَرْبَعًا لاَ يَذْكُرُ اللَّهَ فِيهَا إِلاَّ قَلِيلاً
    “Itulah shalat orang munafik. Ia duduk menanti matahari di antara dua tanduk setan lalu ia berdiri dan melaksanakan shalat empat raka’at dengan cepat. Tidaklah ia mengingat Allah kecuali sedikit.”(HR. Muslim no. 622).

    D. Waktu Shalat Maghrib
    Menurut pendapat yang disepakati seluruh ulama waktu shalat Maghrib bermula saat terbenamnya matahari. Menurut jumhur ulama (Hanafi, Hanbali, qaul qadim madzhab Syafi’i) ia berlangsung hingga hilang waktu syafaq, mereka menggunakan dalil hadist,
    وَقْتُ الْمَغْرِبِ مَالَمْ يَغِبِ الشَّفَقُ
    “Waktu Maghrib adalah selagi syafaq (cahaya merah) belum lenyap. (H.R. Muslim: 612.)”
    Menurut Abu hanifah, Syafaq adalah warna putih yang terus kelihatan diatas ufuk, dan biasanya ia ada setelah warna merah keluar. Kemudian setelah itu muncul warna hitam. Anatara dua syafaqah ada yang dihitung dengan tiga derajat. Satu derajat samadengan empat menit.
    Dalil Abu Hanifah adalah sabda Rasulullah SAW, yang artinya “Akhir waktu Maghrib adalah apabila ufuk menjadi hitam”.
    Sedangkan menurut Imam Syafi’i dan Imam Maliki, rentang waktu shalat maghrib tidak berlangsung lama hanya ukup untuk melaksanakan shalat maghrib saja, memenuhi syarat-syarat pelaksanaan shalatnya. Misal berthaharah, menutup aurat dan ditambah dengan adzan dan iqomah dilakukan sesuai dengan kebutuhan tidak terlalu lama dan tidak terburu-buru.


    E. Waktu Shalat Isya
    Menurut para Imam madzhab, waktu Isya bermula dari hilangnya Syafaq al-Ahmar seperti yang difatwakan Hanafi-hingga munculnya fajar Shadiq. Adapun waktu pilihan al-Waqtul Mukhtar untuk melaksanakan shalat Isya adalah sepertiga malam atau separuh malam. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah SAW.
    Waktu sholat Isya dibagi menjadi dua, yaitu waktu ikhtiyar adalah dari terbenamnya syafaq merah sampai tengah malam. Dalilnya adalah hadist Abdullah bin Amru radhiyallahu ‘anhusholahu ‘alaihi wa as- salam bersabda : bahwasanya Rosulullah
    وقت صلاة العشاء إلي نصف الّيل الأوسط
    “Waktu sholat isya adalah sampai pertengahan mala " . (HR.Muslim)
    Adapun yang kedua adalah waktu Isya' darurat yaitu sampai terbitnya fajar, sebagaimana yang terdapat dalam hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rosulullah sholahu ‘alaihi wa as- salam bersabda :
    ثمّ جاءه العشاء فقال قم فصلّه فصليّحين غاب الشّفق...ثمّ جاءه حبن ذهب نصف اليل فصلّي
    العشاء

    “Jibril mendatangi Nabi pada waktu isya'." Beliau pun mengerjakan shalat isya' ketika syafaq terbenam…kemudian pada pada hari kedua, jibril mendatangi beliau pada saat pertengahan malam telah berlalu, dan beliau pun mengerjakan shalat." ( HR. Ahmad, Turmudzi, dan Nasa'i)”.
    Untuk Riwayat mengenai memanjangkan waktu shalat Isya, Ibnu Hajar berkata :
    وَلَمْ أَرَ فِي امْتِدَادِ وَقْتِ الْعِشَاءِ إِلَى طُلُوعِ الْفَجْرِ حَدِيثًا صَرِيحًا يَثْبُتُ
    “Mengenai memanjangnya waktu Isya sampai terbit fajar, saya belum mengetahui ada hadits yang tegas dan shahih.”
    Dalam hadis lain disebutkan,




    كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُؤَخِّرُ الْعِشَاءَ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ، وَيَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَهَا، وَالْحَدِيثَ
    بَعْدَهَا
    “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat Isya sampai sepertiga malam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat Isya dan ngobrol setelahnya.” [HR. al-Bukhâri no. 547 dan Muslim no. 647]

    2. Kewajiban Menghadap Kiblat dalam Shalat
    Kiblat berasal dari kata “muqabalah” yang artinya “berhadapan (muwajahah). Ketika melaksanakan shalat, orang islam harus menghadap kiblat sebagai syarat sah shalat yaitu  menuju ka’bah di Makkah. Kecuali jika ada halangan yaitu karena sangat takut dalam peperangan  Dalam al-Qur’an kata “arah” diulang sebanyak empat kali. Sama dengan jumlah bilangan arah angin patokan (poin of the compass). Salah satu nya terdapat dalam al-qur’an surat al-Baqarah ayat 150:
    وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ لِئَلَّا يَكُونَ
     لِلنَّاس عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِي وَلِأُتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
    “Dan dari mana saja kamu (keluar) maka palingkanlah wajah mu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu kearahnya, agar tidakada hujjah bagi manusia atas kamu, keuali orang-orang yang dzholim diantara mereka. maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-ku (saja). Dan agar Ku sempurnakan nikmat Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.”
    Menurut madzhab Maliki orang yang tinggal di kota mekah dan sekitarnya, mereka diwajibkan untuk berqiblat ke bangunan ka’bah (‘ainulka’bah) hingga tubuhnya sejajar dengan bangunan tersebut. Dan ruang di atas maupun di bawah ka’bah tidak termasuk di dalamnya. Jadi beliau mewajibkan menghadap ka’bah sejajar secara horizontal.
    Adapun bagi mereka yang jauh darikota mekah mereka harus mengarahkan ke arah ka’bah (jihadul ka’bah) tidak harus tepat ke bangunannya, boleh sedikit tergeser ke sisi kanan atau kiri ka’bah. Karena syarat utama yang harus dipenuhi adalah arah posisi kewilayahan dengan ka’bah.
    Menurut madzhab Syafi’iah ‘ainul ka’bah adalah menghadap ke arah bangunan ka’bah, baik ruang di atas atau di bawahnya. Mereka harus menghadap ke arah bangunan ka’bah atau wilayah vertikalnya secara perkiraan saja tidak perlu secara pasti. Sementara untuk jihadul ka’bah tidak berbeda dengan madzhab maliki dan imam lainnya.
    Dalam Matan Al Ghoyat wat Taqrib (kitab Fiqih Syafi’iyyah), Abu Syuja’ rahimahullah mengatakan, “Ada dua keadaan seseorang boleh tidak menghadap kiblat. Ketika keadaan sangat takut dan ketika shalat sunnah di atas kendaraan ketika safar.”Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
    فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا
    “Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.” (QS. Al Baqarah [2] : 239)
    Yaitu jika seseorang tidak mampu shalat dengan sempurna karena takut dan semacamnya, maka shalatlah dengan cara yang mudah bagi kalian, bisa dengan berjalan atau dengan menaiki kendaraan. Ibnu Umar mengatakan,
    فَإِنْ كَانَ خَوْفٌ هُوَ أَشَدَّ مِنْ ذَلِكَ صَلَّوْا رِجَالاً ، قِيَامًا عَلَى أَقْدَامِهِمْ ، أَوْ رُكْبَانًا مُسْتَقْبِلِى الْقِبْلَةِ أَوْ غَيْرَ مُسْتَقْبِلِيهَا
    “Apabila rasa takut lebih dari ini, maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan dengan menghadap kiblat atau pun tidak.”
    لاَ أُرَى عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ ذَكَرَ ذَلِكَ إِلاَّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم
    Malik berkata (bahwa) Nafi’ berkata,“Aku tidaklah menilai Abdullah bin Umar (yaitu Ibnu Umar, pen) mengatakan seperti ini kecuali dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no. 4535)
    Ibnu Umar berkata,
    وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُسَبِّحُ عَلَى الرَّاحِلَةِ قِبَلَ أَىِّ وَجْهٍ تَوَجَّهَ ، وَيُوتِرُ عَلَيْهَا ، غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يُصَلِّى
    عَلَيْهَا الْمَكْتُوبَةَ
    “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat sunnah di atas kendaraan dengan menghadap arah yang dituju kendaraan dan juga beliau melaksanakan witir di atasnya. Dan beliau tidak pernah mengerjakan shalat wajib di atas kendaraan.” (HR. Bukhari no. 1098 dan Muslim no. 1652) (Lihat At Tadzhib fi Adillati Matnil Ghoyat wa At Taqrib – Matni Abi Syuja’, hal. 53 dan Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitab Al ‘Aziz, hal. 82-83, Dar Ibnu Rojab.
    Golongan Malikiyah dan Hanafiyah menguatkan pendapat mereka dengan mengemukakan dalil al-Kitab, as-Sunah, perbuatan sahabat dan dalil ma’qul.

    a. Dalil yang berupa al-Kitab adalah pengertian yang tersurat dalam firman Allah SWT :
    فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسجِدِ الْحَرَامِ
    "Maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram".
    Allah SWT. tidak berfirman :  شطرالكعبة   (arah Ka’bah). Maka sebenarnya orang yang menghadap ke arah tempat Masjidil Haram berada, berarti dia telah melakukan apa yang diperintahkan, baik mengarah tepat ke ‘ainul Ka’bah atau tidak.
    b. Dalil yang berupa as-Sunah adalah sabda Rasulallah SAW :
    مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ. رواه ابن ماجه والترمذى عن أبى هريرة وقال الترمذىحسن
    صحيح
    "Arah di antara Timur dan Barat adalah kiblat.”  Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan At-Turmudzi dari Abi Hurairah, at-Turmudzi berkata : “Hadits ini nilainya hasan sahih.”
    Dan sabda beliau :
    اَلْبَيْتُ قِبْلَةٌ ِلأَهْلِ الْمَسْجِدِ، وَالْمَسْجِدُ قِبْلَةٌ ِلأَهْلِ الْحَرَمِ، وَالْحَرَمُ قِبْلَةٌ ِلأَهْلِ اْلأَرْضِ فِى مَشَارِقِهَا
    وَمَغَارِبِهَا مِنْ أُمَّتِيْ. أخرجه البيهقى فى سنـنه عن ابن عبّاس مرفوعا
    "Baitullah adalah kiblat bagi orang-orang yang berada di dalam Masjidil Haram, Masjidil Haram adalah kiblat bagi penduduk (orang-orang yang berada di) Tanah Haram dan Tanah Haram adalah kiblat bagi penduduk bumi di antara umatku, baik di Timur maupun di Barat.”  Ditakhrijkan oleh al-Baihaqi di dalam Kitab Sunannya dari Ibnu ‘Abbas dan keadaan hadits ini marfu’.
    c. Dalil yang berupa perbuatan sahabat adalah bahwa konon jama’ah Masjid Quba sedang melakukan Shalat Shubuh di Madinah dengan menghadap ke Baitul Maqdis, membelakangi Ka’bah. Lalu dikatakan kepada mereka : “Sebenarnya kiblat itu telah dipindahkan ke Ka’bah.” Maka mereka berputar di tengah-tengah shalat, tanpa mencari petunjuk. Nabi SAW. tidak menyalahkan mereka.






    Analisis Perilaku Konsumen

    Nama   : Aina Makrifatul Khasanah
    NIM    : 1423203001
    Kelas   : 7 Ekonomi Syariah A

    Perilaku konsumen muncul karena adanya satu faktor yang paling utama yaitu motivasi konsumen, motivasi juga dapat ditumbuhkan dari pengaruh yang diciptakan oleh produsen kepada konsumen dengan kreativitas produsen menciptakan produk yang  diinginkan konsumen sesuai dengan kebutuhannya. Setelah produk yang diinginkan konsumen diciptakan oleh produsen maka akan timbul adanya keinginan konsumen terhadap produk tersebut, dari sinilah produsen bisa memunculkan rasa motivasi terhadap konsumen terhadap suatu barang sehingga dapat mempen`garuhi konsumen dalam penentuan pembelian produk. Penciptaan produk juga harus memperhatikan beberapa faktor seperti penilaian konsumen, pemikiran dan kein`ginan konsumen. Jika digambarkan maka :

    Perilaku Konsumen                Motivasi            Pengenalan konsumen


    Penentuan pembelian produk               terciptanya produk

    Produsen yang akan membuat supermarket dengan dampak positif pada konsumen maka harus memperhatikan faktor seperti produk yang ditawarkan, diman produk memiliki nilai saing dengan produk lain seperti memiliki desain, warna, ukuran dan bungkusan yang bisa memenuhi kebutuhan konsumen, selain faktor luar faktor lokasi juga sangat penting dalam pembentukan supermarket yang diminati banyak konsumen, karena lokasi yang strategis dan penempatan barang (tata ruang) yang mudah akan empengaruhi tingkat pengambilan keputusan konsumen. Dlam jurnal ini supermarket masuk dalam pedagang eceran.
    Secara garis besar macam pedagang eceran ada 3 yaitu :
    1.      Supermarket/pasar swalayan
    Di jaman sekarang supermarket mulai banyak dibangun di kota-kota kecil maupun kota besar seperti di Jogjakarta baik itu di Solo maupun Malioboro. Biasanya jenis toko ini berkembang menurut kebutuhan dengan desain interior yang menarik . jenis barang yan dijual juga semakin berkembang, bukan hanya kebutuhan rumah tangga saja tetapi juga obat-obatan, alat kecantikan, buku, majalah, alat musik, dll.
    2.      Departemen Store
    Perbedaan utama antara supermarket dan departmen store terletak pada kapasitas pemenuhan kebutuhan konsumen. Supermarket memenuhi kebutuhan konsumen akan makanan dan berbgai produk rumah tangga, sedangkan departemen store dirancang untuk memenuhi kebutuhan yang sama dan ditambah dengan kebutuhan yang lainya.
    3.      Discount house (toko potongan harga)
    Discount house dapat didefinisikan sebagai toko yang menjual aneka ragam barang-barang merek terkenal (perabotan, pakaian, perlengkapan olahraga, perlengkapan rumah dan perhiasan) dengan harga yang lebih rendah dari harga umum.

    HIPOTESIS
    “Adanya hubungan antara karakteristik supermarket seperti kelengkapan produk, pelayanan, situasi, serta kemudahan konsumen dalam berbelanja di supermarket”
    TUJUAN PENELITIAN
    Mengidentifikasi faktor yang mempengruhi perilaku konsumen dalam berbelanja di supermarket di daerah Jogjakarta dan faktor yang paling dominan dan memilih suatu supermarket unruk berbelanja di wilayah Jogjakarta.
    VARIABEL PENELITIAN
    Ø  Variabel Independent (bebas) sebagai motivasi konsumen
    Konsumen berbelanja di supermarket wilayah jogjakarta karena supermarket memiliki atribut yng memenuhi kebutuhan konsumen, sehingga konsumen memiliki motivasi untuk berbelanja :
    a.       Kemudahan berbelanja yang diberikan
    b.      Kenekaragaman produk yang ditawarkan
    c.       Situasi yang diciptakan
    d.      Pelayanan yang diberikan
    e.       Harga yang ditetapkan
    Ø  Variabel Dependent (terpengaruh) sebagai variabel perilaku
    a.       Kategori tinggi : sering berbelanja di supermarket
    b.      Kategori sedang : yang kadang berbelanja di supermarket
    c.       Kategori rendah : jarang membeli di supermarket
    POPULASI DAN SAMPLE
    Populasi konsumen ang berbelanja di supermarket Yogyakarta , sampel yang diambil 90 responden yang berbelanja di supermarket Yogyakarta, dengan metode accident sampling.
    METODE ANALISIS
    1.       Analisis Regresi dan Korelasi: Analisis ini digunakan untuk menguji hubungan antar variabel independen dengan variabel dependen
    2.        Uji Kontigensi Untuk menganalisis ada tidaknya hubungan antara variabel karakteristik konsumen dengan preferensi konsumen dalam berbelanja pada supermarket d
    KESIMPULAN
    A.      Berdasarkan analisis terhadap pengaruh berbagai atribut secara individual, masingmasing diketahui bahwa atribut kemudahan dalam berbelanja, keanekaragaman produk serta atribut harga mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap perilaku konsumen dalam berbelanja. Diantara variabel tersebut, atribut kemudahan adalah variabel yang paling besar pengaruhnya. Namun jika dilihat kelima variable tersebut secara simultan maka semua variabel tersebut mempunyai pengaruh yang signifikan sehingga layak sebagai variabel prediktor.
    B.      Hubungan karakteristik konsumen dengan manfaat yang dicari, ternyata ada hubungan yang dignifikan antara jenis pekerjaan dan perbedaan tingkat pendapatan dengan kecenderungan memilih atribut yang ada pada supermarket sehingga perbedaan karakteristik akan memberikan perbedaan tanggapan atas setiap atribut yang ditawarkan oleh supermarket.

    Review Lengkap Notebook ASUS Vivobook S14 S433: Membawa Spirit Dare To Be You

    Review Lengkap Notebook ASUS Vivobook S14 S433: Membawa Spirit Dare To Be You Menjadi diri sendiri adalah salah satu kunci sukses menggapa...